TABLE MANNER
Sepanjang
malam, Kuzan tidak henti-hentinya memandangi keempat foto yang dia temukan di
studio fotonya. Dia coba mengingat kembali, kenapa dia mengambil foto-foto itu.
Kenapa dia memotret mereka? Siapa mereka? Semuanya perempuan dan sejauh yang
dia ingat, dia tidak pernah berpikir dalam tentang wanita. Dalam arti kata, dia
sendiri lupa kapan dia punya hubungan khusus dengan seorang wanita, sebagai
pacar atau setidaknya orang yang dia suka. Sebelumnya dia tidak tertarik untuk
membahas apalagi disibukan dengan hal-hal seperti itu. ‘Cinta’ adalah anugerah
yang belum pernah dia rasakan. Dia pernah pacaran, tapi hubungan itu hanya
berjalan seumur jagung. Dia tidak tahan dengan sifat posesif pacarnya saat itu.
Memiliki pacar sudah seperti analogi air dan minyak jika dibandingkan dengan
pemahaman dan cara dia berpikir. Parahnya, dia sendiri lupa siapa nama lengkap
pacarnya saat itu.
Foto-foto
itu dia ambil saat dia sedang jalan-jalan. Deadline
yang diberikan oleh majalah itu adalah minggu depan. Majalah itu meminta
sepuluh foto darinya untuk dipublikasikan di majalah edisi bulan Maret.
Sekarang masih awal Februari, dia masih punya waktu untuk mencari enam foto
lagi. Yaaa.., itu juga kalau si pemilik majalah tidak meng-cancel job yang sudah
diberikan kepadanya. Sampai sekarang belum ada kabar dari si pemilik majalah.
Foto
pertama, si cewek preman, dia ambil saat sedang berjalan di Jalan Pajajaran.
Cewek itu terlihat gelisah sambil sesekali menutupi wajahnya dengan topi. Dia
memperhatikan cewek itu hampir setengah jam sebelum akhirnya dia putuskan untuk
mengambil fotonya dari seberang jalan tempat si cewek ‘nongkrong’. Tidak lama
setelah difoto, cewek itu pergi dengan naik angkot. Setelah cewek itu pergi,
tidak lama kemudian datang sekelompok orang, lima pria berpakaian preman.
Gerombolan itu kebingungan dan salah seorang anggotanya melampiaskan kekecewaan
dengan menendang tempat sampah umum sampai seluruh isinya berhamburan keluar.
Foto
kedua, si cewek populer, dia ambil saat dia sedang olahraga lari sore di salah
satu daerah lingkungan perkuliahan yang banyak dipadati oleh
mahasiswa-mahasiswi. Saat dia sedang lari, sekelompok orang menghalangi
jalannya sambil tertawa dan berlompat-lompat. Mereka bahkan tidak sadar kalau
tindakan mereka itu menyebabkan seorang anak kecil jatuh dan menangis karena
tersenggol oleh salah satu dari mereka yang berlompat seperti bugs bunny yang baru saja diberikan
wortel saking girangnya. Dia bisa mendengar salah satu dari mereka berteriak
‘Kau berhasil! Kau berhasil!’ terus-menerus. Diantara mereka, cuma ada satu
orang yang tidak berlompatan dan berteriak, yaitu cewek yang berada di
tengah-tengah mereka, cewek yang dia foto. Cewek itu hanya tersenyum kecil
sementara teman-temannya yang lain bersorak untuknya.
Foto
ketiga, si cewek drama, saat itu sedang ada festival di salah satu dorm atau auditorium terkenal di
Bandung. Sebagai alumni dan mantan ketua MPM kampus yang menjadi penyelenggara
acara, dia diundang oleh panitia acara untuk datang ke acara tersebut. Di rundown acara, ada segmen di mana acara
akan diisi dengan sebuah drama musikal selama 45 menit. Dia yang tidak terlalu
tertarik dengan pertunjukan-pertunjukan seperti itu akhirnya memutuskan untuk
diam-diam pergi ke belakang panggung. Di belakang panggung dia bertemu dengan
‘si cewek drama’. Cewek itu mondar-mandir sambil sesekali membaca naskah yang
diberikan kepadanya. Lalu seseorang -terlihat-seperti-sutradara- menyuruhnya
untuk bersiap-siap. Cewek itu langsung pergi ke ruang make-up. Dia diam-diam mengikuti cewek itu. Di ruang make-up, penata rias terlalu sibuk
mengurus –mungkin-pemeran-utama- sehingga tidak ada yang membantunya berias.
Cewek itu akhirnya melakukan semua sendiri. Sementara dia menangani
kebutuhannya sendiri, dia masih sempat-sempatnya menuruti perintah dari si
–mungkin-pemeran-utama- seperti mengambilkan air mineral atau memakaikan
sepatu. Alhasil, ketika si –terlihat-seperti-sutradara- memanggilnya untuk
segera ke belakang panggung, dia belum sempat memakaikan eyeliner dan sepatunya dengan baik. Ketika cewek itu dengan
terburu-buru keluar dari ruang make-up menuju
backstage, si cewek drama
menabraknya. Cewek itu minta maaf dan langsung bangkit, berlari sekuat tenaga
menuju si –terlihat-seperti-sutradara-. Saat cewek itu menabraknya, sebuah bros
jatuh ke arahnya, bros milik si cewek drama. Dia tidak sempat mengembalikan
bros itu karena si cewek drama sudah terlanjur naik ke atas panggung.
Beruntung, tepat sebelum cewek itu naik ke panggung, dia sempat menngambil
sebuah foto. Meskipun sedikit buram karena difoto dari kejauhan, ekspresi gugup
dan cemas si cewek drama cukup terlihat jelas. Setelah itu dia pulang sambil
membawa bros tersebut. Bros itu sekarang masih tersimpan di dalam dashboard mobilnya.
Foto
keempat, si siswi dermawan, dia ambil saat dia sedang berteduh di sebuah
warung. Hujan turun sangat deras saat itu. Saat sedang berteduh, tiba-tiba
seorang siswi SMA berlari ke arah warung tempat dia berteduh. Cewek itu basah
kuyub, namun demikian, buku yang ada di dekapannya berhasil dia buat tetap kering,
meskipun masih sedikit terkena air hujan di beberapa bagian, sepertinya dia
berusaha melindungi buku-buku itu dengan tubuhnya. Tubuh dan seragam cewek itu
basah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia lalu melepas sepatunya dan
mengambil sebuah plastik hitam dari dalam ranselnya. Dia bungkus sepatunya
dengan plastik lalu mengikatkan plastik tersebut ke ransel yang sudah penuh
dengan buku, yang tidak bisa dia selamatkan, mungkin kalau tangannya cukup
untuk mendekap semua buku-buku itu, dia akan melindungi buku-buku itu dengan
tubuhnya sebagaimana yang dia lakukan dengan buku-buku yang ada di dekapannya.
Kuzan memperhatikan semua tindakan si siswi dermawan. Karena kebetulan dia
membawa plastik bening besar yang biasa dia gunakan untuk menyimpan hasil foto-fotonya,
dia pun menawarkan plastik tersebut ke si siswi dermawan untuk membungkus
buku-bukunya. Si siswi dermawan mengucapkan ‘terima kasih’ sampai belasan kali
kepadanya. Si siswi dermawan bilang buku-buku itu sangat penting baginya karena
buku-buku itu dia pinjam dari perpustakaan sekolahnya. Hujan masih belum reda
tapi siswi itu sudah harus pergi, dia tampak terburu-buru. Sebelum si siswi
dermawan pergi, sekali lagi dia mengucapkan ‘terima kasih’. Jarak beberapa
meter dari tempatnya berteduh, ada seorang anak kecil yang menggigil kedinginan
sambil memeluk gitar ‘ukelele’ yang biasa digunakan oleh pengamen untuk mencari
uang. Si siswi dermawan menerobos hujan dan berjalan ke arah anak kecil itu
lalu memberikan selembar uang ke anak kecil tersebut. Nalurinya memaksanya
untuk mengeluarkan kamera dan mengabadikan moment tersebut.
Dia
menemukan persamaan yang ada di keempat foto itu. Foto-foto itu dia ambil
secara tidak sengaja. Kejadian-kejadian yang dia temukan secara tidak sengaja.
Berbeda dengan foto-fotonya yang lain karena biasanya ketika dia ingin memoto
sesuatu, semuanya sudah terkonsep. Foto-foto itu dia dapat lebih karena
‘kebetulan’ dia sedang membawa kamera. Sekarang dia menamai foto-foto itu
dengan sebutan ‘si cewek preman’, ‘si cewek populer’, ‘si cewek drama’, dan ‘si
siswi dermawan’.
“Kamu sudah mau pergi? Tidak sarapan
dulu?”, tanya Paman Thomas.
“Tidak, Paman. Terima kasih. Aku mau
olahraga dulu. Sudah lama aku tidak lari pagi.”
“Langsung ke makam?”
“Ya. Aku pergi dulu, Paman.”
Dia melesat keluar rumah sambil
mengendarai mobilnya. Dia hanya tidur sebentar tadi malam. Foto-foto itu
sedikit mengganggu pikirannya sehingga menyebabkan dia sulit tidur. Sekarang
saja dia keluar sambil membawa foto-foto itu.
Hari
ini adalah hari Jumat. Biasanya setelah salat Jumat, aku pergi ke makam ibu.
Itu seperti sudah menjadi jadual rutinku setiap minggu. Saat masih di
restaurant, atau di studio, atau di organisasi, aku selalu meluangkan waktu
untuk berziarah ke makam ibu dengan membatalkan pertemuan dan mengosongkan
jadual di hari Jumat. Sekarang aku tidak perlu lagi repot-repot mengosongkan
jadual, setidaknya itu nilai positif dari semua kejadian yang terjadi beberapa
hari belakangan.
Pagi
itu seperti biasa, lapangan Sabuga sudah banyak dipenuhi mahasiswa-mahasiswi
ITB baik yang sedang olahraga ataupun yang berangkat kuliah. Setidaknya sekali
dalam seminggu dia selalu menyempatkan waktu untuk berolahraga di sana seperti jogging atau skipping. Lapangan Sabuga adalah tempat favoritnya untuk olahraga,
sejuk, rindang, dan jauh dari keramaian. Suasana itu berlanjut sebelum datang
sebuah mobil mini cooper berwarna
merah yang parkir di dekat tempat dia sedang skipping. Si pemilik mobil pun turun dan seketika suasana menjadi
riuh oleh sekelompok orang. Orang-orang langsung mengelilingi si pemilik mobil
yang baru turun, yang ternyata adalah si cewek popular.
‘Bagaimana?
Apa kau berhasil mendapat sponsor untuk acara kita nanti?’, ‘Berapa banyak yang
kau dapat kali ini?’, ‘Siapa saja artis yang berhasil kau undang?’, ‘Apa konsep
kita untuk acara kali ini? Pasti lebih meriah dari sebelumnya dong!’ Si cewek
populer diberondong dengan belasan atau mungkin puluhan pertanyaan dari orang-orang
yang mengerumuninya. Cewek itu sudah seperti artis hollywood yang sedang
dikerubungi oleh paparazzi. Luar biasanya, cewek itu bisa tetap tersenyum tanpa
menunjukan rasa kesal, atau mungkin malah cenderung menikmati keadaan itu.
Cewek itu berbakat untuk jadi artis papan atas. Selain karena parasnya yang
cantik, dia tahu caranya menghadapi orang banyak.
“Nanti saja aku jelaskan di rapat.”,
jawabnya berkali-kali. Berkali-kali dia menjawab, berkali-kali pula dia
diserang dengan pertanyaan yang sama.
Tiba-tiba seorang laki-laki datang dan
menyusup di balik keramaian. Tubuhnya yang besar menghancurkan formasi
orang-orang yang sedang berkerumun.
“Terima kasih atas perhatian
teman-teman. Tapi kami akan menjelaskan semuanya di ruang rapat. Kalau
teman-teman mau tahu, silahkan teman-teman datang ke ruang rapat.”, ucap si
pria penyusup sambil melindungi si cewek populer dari orang-orang yang
berkerumun. Entah bagaimana dari sudut pandang orang lain, tapi dari sudut
pandang Kuzan, pria itu lebih terlihat seperti ‘pahlawan kesiangan’.
Sambil berusaha mengusir kerumunan,
pria itu berjalan mendekat ke arahnya. “Ayo ikut aku! Kamu aman bersamaku.”,
ucap si ‘pahlawan kesiangan’.
“Tidak apa-apa. Aku harus bertemu
temanku di kantin.”, balas si cewek populer. Semakin si cewek populer menolak,
semakin si pahlawan kesiangan memaksa. Si pahlawan kesiangan menarik tangan si
cewek populer dengan paksa, menjauh dari keramaian.
Mereka berdua semakin mendekat ke
arahnya. Kemudian,
PLETAAAK
……..
Tali skippingnya menyabet wajah si pahlawan kesiangan. Dengan wajah
polos tidak berdosa, dia tetap saja melanjutkan kegiatan skippingnya yang sempat terganggu.
“ANJI**! PAKE MATA DONG!!!”, teriak si
pahlawan kesiangan kepadanya. Dia menatap sebentar si pahlawan kesiangan yang
sewot lalu melanjutkan skippingnya
seperti tidak terjadi apa-apa.
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah. Biarkan saja.”, si cewek
populer berusaha meredam emosi si pahlawan kesiangan.
Namun, sekali lagi…
PLETAAAAK
………. Kali ini lebih keras.
“ANJI**!”
Si pahlawan kesiangan mendorongnya
lalu menarik kerah bajunya. Si pahlawan kesiangan mencacinya dengan sumpah
serapah dan memaksanya untuk minta maaf. Dia diam saja malah berusaha mengambil
tali skippingnya yang tadi sempat
terjatuh karena dorongan si pahlawan kesiangan, meskipun kerahnya masih
dicengkeram oleh si pahlawan kesiangan.
“Hei, aku tahu kau. Kau penyebab
kerusuhan di Gedung Sate beberapa hari yang lalu itu, kan? Ngapain kau di sini?
Seharusnya kau di penjara.”, semburnya lagi. Si pahlawan kesiangan akhirnya
melepas cengkeramannya. Dia tidak kuasa menahannya yang berusaha mengambil tali
skipping. Postur tubuh mereka tidak
terlalu berbeda, sama-sama besar dan berotot.
“Sudahlah. Ayo kita pergi!”
“Kau pikir kau siapa, hah? Melakukan
kudeta? Reformasi? Hahahahaa… Orang sepertimu ……”, kalimatnya terhenti karena
melihat lawan bicaranya malah lanjut bermain skipping.
“BANGS*T..!!!”
Si pahlawan kesiangan melayangkan
tinju ke arahnya, tepat mengenai pipinya. Dia pun jatuh terjerambab.
“STOP!!! SUDAH! KITA PERGI!”, teriak
si cewek populer.
“HAHAHAA… ITU SAJA YANG KAU PUNYA,
HAH? ANJI**! ORANG SEPERTIMU BERANI-BERANINYA BICARA TENTANG KUDETA DAN
REFORMASI. DASAR B*NCI..!!”
Si cewek populer berhasil mendorong si
pahlawan kesiangan menjauh. Mereka pun pergi. Sebelum menjauh, mereka saling
bertatapan. Saat mereka bertatapan, dia bisa melihat jelas ekspresi kebingungan
yang tergambar di wajah si cewek populer.
Dia
berdiri dan membersihkan debu dari bajunya, seakan tidak terjadi apa-apa. Dia
raih skippingnya dan berjalan kembali
ke arah dia memarkirkan mobilnya.
“Ada kapas, mang?”, tanyanya kepada
pedagang asongan yang berada di dekat situ dengan maksud membeli kapas untuk
mengobati pipinya.
“D.., dia benar. P.., pria tadi benar.
Kau Kuzan. Kau yang bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi beberapa hari
lalu…”, ucap si pedagang asongan sambil gemetaran. Entah takut atau apa, yang
jelas wajah pedagang itu memucat saat dia mendekat. “P.., pergi! Tidak ada
kapas. Sekalipun ada, aku tidak akan menjualnya kepada orang sepertimu. K..,
kau sudah melakukan kesalahan besar dan memalukan kota Bandung.”
Pedagang itu mengambil sebilah kayu
diam-diam. Tubuhnya yang kecil dan wajahnya yang lugu ditambah badannya yang
gemetaran lebih terlihat seperti anak kecil yang berusaha melindungi diri saat
berhadapan dengan anjing liar. Tidak ada gunanya berurusan dengan orang-orang
seperti itu.
“Ya sudah. Terima kasih kalau
begitu.”, dia berjalan santai melewati pedagang tersebut. Pedagang itu masih
memegang kayu di tangannya yang bergeretak karena takut. Wajahnya saja sudah
basah oleh keringat dingin, waspada berlebihan. Padahal Kuzan hanya bertanya
apakah dia menjual kapas atau tidak. Imagenya
di masyarakat seperti sudah menjadi stereotype
negatif. Mau gimana lagi?
Dia
kembali ke mobil. Diambilnya foto kemarin yang dia simpan di dalam dashboard. Gambar yang ada di foto kedua
sama persis dengan cewek tadi. Di foto itu juga ada si pahlawan kesiangan yang
sedang berusaha menjadi pahlawan kesiangan, persis seperti tadi.
Selesai
salat Jumat, dia pergi ke salah satu tempat pemakaman umum di mana ibunya
disemayamkan. Sesuai permintaan ibunya, dia ingin dimakamkan di kampung
halamannya, di Bandung. Ibunya adalah wanita yang tegar dan kuat. Sebelum
ibunya meninggal, sudah satu tahun lebih ibunya mengidap kanker sel darah putih
alias leukeumia. Penyakitnya itu berhasil disembunyikan selama enam bulan
sebelum ibunya akhirnya collapse dan
harus menginap di rumah sakit. Beberapa bulan setelah itu, ibunya harus
melakukan terapi rutin ke rumah sakit. Dia dan ayah selalu setia untuk menemani
ibu menjalani terapi.
Perjuangan
itu harus berakhir karena ibunya tidak bisa bertahan. Itu adalah pukulan
terberat yang pernah dia alami seumur hidupnya. Berbulan-bulan setelah kematian
ibunya, dia semakin sering menyendiri dengan mengurung diri di kamar. Ayahnya
semakin jarang ada di rumah. Hubungan dia dengan ayahnya pun semakin renggang
dan hampir satu tahun mereka tidak berkomunikasi. Ketika dia memutuskan untuk
menjalankan bisnis, itu seperti menjadi benang merah baru bagi mereka berdua.
“Ibu, apa kabarmu?”, bisiknya ke salah
satu makam yang tersusun dari marmer putih dan ditumbuhi rumput hijau.
Bunga-bunga segar bertebaran di rumput makam, ayahnya kemarin pasti
menyempatkan waktu untuk berziarah ke sini. Nisan bertuliskan ‘Andhara Nuvia
Harihara’ terpajang juga di atasnya.
Makam
ibunya terawat dengan baik. Dia harus berterima kasih kepada kuncen yang
ditugaskan khusus oleh ayahnya untuk merawat makam ibunya. Biasanya kuncen itu
ada di sekitar sini. Kuncen itu sedang tidak ada.., ya sudahlah.
Di depan tempat pemakaman, banyak
orang berjualan bunga dan air siraman yang biasa digunakan peziarah ketika
mereka akan berziarah. Dia mendatangi salah satu kios yang ada di situ, “Maaf,
teh, saya mau bertemu dengan Pak Dedi (nama kuncen yang menjaga makam ibunya),
apa beliau ada?”
“Ooh, Pak Dedinya sedang pulang
kampung. Hari Minggu baru pulang katanya. Ada pesan? Nanti biar saya
sampaikan.”, balas si penjaga kios ramah.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih,
teh. Mungkin minggu depan saja saya kembali lagi ke sini.”
Dia pun berbalik dan kembali ke mobil.
“Kang, tunggu sebentar!”, seseorang
memanggilnya ketika dia baru ingin membuka pintu mobil. “Kita pernah ketemu,
kan?”
Orang yang memanggilnya adalah si
penjaga kios tadi. Suaranya terdengar familiar, tapi dia tidak ingat di mana
pernah bertemu wajah itu.
“Waktu itu sedang turun hujan dan
akang memberikan plastik untuk saya? Akang masih ingat?”, kata si penjaga kios.
Wajahnya tidak menunjukan tanda-tanda kalau dia mulai ingat. “Saya belum sempat
bilang ‘terima kasih’. Saya benar-benar terima kasih ke akang karena berkat
plastik yang akang kasih, buku saya bisa kering sampai rumah.”
Dia masuk ke dalam mobil dan meraih
foto yang ada di dalam dashboard.
Foto keempat, si siswi dermawan, memang sih
mirip, tapi cewek yang ada di foto itu tidak secantik dengan cewek yang
sedang mengucapkan ‘terima kasih’ padanya saat ini. Di foto itu, si cewek
dermawan terlihat kucel, kotor, dan lusuh, rambutnya acak-acakan, tapi cewek
yang ada sekarang, cantik, bersih, dan rambutnya panjang terurai indah.
Dia kembalikan lagi foto itu ke dalam dashboard. “K.., kamu…”, ucapnya masih
sambil berusaha meyakinkan diri kalau cewek itu adalah si siswi dermawan.
“Sekali lagi, saya sangat terima kasih
untuk waktu itu, kang.”
Caranya mengucapkan ‘terima kasih’,
itu satu-satunya persamaan yang dia temukan. Pada saat itu, si siswi dermawan
berkali-kali mengucapkan ‘terima kasih’, sama seperti cewek si penjaga kios
bunga sekarang. Meskipun si cewek bilang kalau dia belum sempat mengucapkan
‘terima kasih’, tapi dia yakinkan sekali kalau dia sudah mengucapkan terima
kasih sampai belasan kali.
“Kamu tinggal di sini?”, tanyaku
setelah yakin kalau cewek yang ada di hadapannya sekarang adalah si siswi
dermawan.
“Ooh, tidak. Aku cuma jualan bunga di
sini.”, jawabnya super ramah. “Akang sering datang ke sini?”
“Ya. Makam ibu saya ada di sini.”,
balasnya. Sekarang dia menemukan ekspresi ‘bersalah’ di wajah gadis itu.
“M.., maaf.”, kata si siswi dermawan
merasa tidak enak.
“Tidak apa. Itu sudah bertahun-tahun,
sudah lewat. Tidak perlu disedihkan lagi. Ngomong-ngomong, kamu tidak sekolah?”
“Hari Jumat aku pulang sebelum salat
Jumat dan setelah salat Jumat aku datang ke sini untuk jualan bunga.”, jawab si
siswi dermawan masih merasa tidak enak.
“Setiap hari?”
“Tidak. Cuma hari Jumat atau waktu
libur sekolah saja.”
“Hmm… Kalau begitu, aku harus pergi
karena ……”
“Oh iya, nanti akan saya sampaikan
kepada Pak Dedi kalau akang menanyakan beliau.”
“Oh, begitu. Saya terima kasih sekali
kalau begitu.”, jawabnya datar.
“S.., saya yang terima kasih. Dan..,
maaf soal pertanyaan saya tadi.”, ucap si siswi dermawan sambil menundukan
kepala.
Dia tidak merasa perlu menanggapi. Dia
pun masuk ke dalam mobil. Gadis itu masih terus mengamati sampai akhirnya dia
hilang dari pandangan.
Di
dalam mobil, dia kembali mengamati foto-foto yang dia temukan di studio
kemarin. Si siswi dermawan, dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis itu
ternyata cantik karena saat pertama bertemu, gadis itu tampak kotor terkena
cipratan air, bajunya yang sedikit kebesaran terlihat lusuh karena basah kuyub,
rambutnya yang acak-acakan lebih terlihat seperti kuntilanak yang ada di
film-film horor Indonesia.
Sebelum
pulang, dia berniat untuk membeli bahan-bahan masakan di pasar. Dia berniat
untuk belajar memasak. Ucapan Pak Iman kemarin, ‘rasa pada makanan bukan untuk
dipelajari, tapi untuk didapatkan’, dia tidak mengerti sama sekali apa
maksudnya, tapi itu berhasil membuatnya penasaran. Rasa penasaran mendorongnya
untuk pergi ke pasar Kosambi, pasar yang selalu ramai di Bandung.
Di
luar perkiraan, ternyata tidak sulit menemukan bahan-bahan makanan yang
tertulis di resep milik ibunya, yang diberikan oleh Pak Iman kemarin. Dia cukup
sering menemani Pak Iman membeli bahan-bahan makanan di pasar, tapi dia hanya sekedar
menemani, tidak pernah dia membeli bahan-bahan itu dan berhadapan langsung
dengan penjualnya. Mungkin itu yang menyebabkan sikapnya yang kaku ketika harus
melakukan tawar-menawar. Lebih sulit berhadapan dengan penjual di pasar
daripada berhadapan dengan investor atau petugas bank ketika dia ingin
mengajukan pinjaman.
Dia
meletakan tas kameranya di atas wadah sayur-sayuran ketika dia sedang melakukan
tawar-menawar dengan salah satu pedagang sayuran, ke manapun dia pergi, dia
selalu membawa tas dan kameranya. Si pedagang sayuran sepertinya sebentar lagi
akan memenangkan ‘pertarungan’, dia pasrah saja, sebelum tiba-tiba seseorang
menggaet tas kameranya. Orang itu melesat kencang sambil membawa tas kameranya.
“Hei.., Hei.., mau ke mana? 2500
sekilo! Atau 2000..?? Okee, DEAL sesuai yang kau mau! 1500!!... Aku tidak
peduli kau itu pemberontak atau bukan! Hei, beli di sini saja! Anakku lagi
sakiiiiiiiiiiittt…!!!”, teriak putus asa dari si penjual sayuran kepadanya
ketika dia lari mengejar orang yang mencuri kameranya.
Lari orang itu kencang juga ternyata.
Dia sampai harus susah payah untuk mengikuti lari orang itu. Keramaian pasar
diterobosnya tanpa peduli apa yang ada di depan. Tindakan mereka menyebabkan
kekacauan di pasar. Mereka menjatuhkan banyak barang dagangan orang lain.
Mereka
berhenti di sebuah gang kecil. Orang itu terjebak sekarang. Tidak ada jalan
lagi karena di depannya berdiri tembok tinggi, di kanan dan kiri juga tembok.
Orang itu pun berbalik ke satu-satunya arah yang tersisa, ke belakang. Kuzan
berhasil mengejar orang itu, meskipun itu menyebabkan nafasnya sedikit
tersengal-sengal.
“Kembalikan!”, ucapnya sambil berusaha
mengambil sebanyak mungkin udara untuk masuk ke dalam paru-paru.
Orang itu akhirnya berbalik,
menunjukan wajahnya. Dia seorang perempuan. Topi yang dia kenakan tidak bisa
menutupi rambutnya yang panjang. Bajunya yang semerawut, seperti preman, tidak
bisa menyembunyikan postur tubuh ‘khas’ perempuan. Selain itu, wajahnya sama
sekali tidak terlihat seperti laki-laki meskipun dipenuhi coretan. Wajahnya
terlalu girly untuk disamarkan.
Gadis
itu tersengal-sengal, nafasnya memburu. Namun demikian, harus diakui kalau
gadis itu punya stamina yang sangat baik untuk ukuran seorang perempuan. Gadis
itu menatapnya, itu si gadis preman, gadis yang ada di foto pertama. Kalau yang
ini, dia tidak mungkin lupa, wajah gadis itu terlalu khas. Matanya yang bulat,
hidungnya yang mancung, bibir tipis dan pipi sedikit tirus, lebih dari cukup
untuk menjadi ciri khas.
Gadis itu tersenyum dan berkata sambil
kelelahan, “Hebat juga kau… Haaah.., haaah… Sebelumnya.., tidak ada yang bisa
mengejarku sampai ke sini… Haaah… Haaaaahh…”
“Terima kasih. Tapi kembalikan tas
itu. Kau tidak bisa membawanya sambil berlarian seperti tadi.”, balasnya.
Staminanya sudah kembali. Ada sedikit rasa gengsi kalau dia sampai terlihat
lelah. Dia tidak mau kalah untuk urusan seperti ini dari seorang wanita.
“Oh yah? Memang apa isinya?”, kata si
cewek preman dengan nada mengejek.
“Kau sudah kalah. Kau sudah tidak bisa
ke mana-mana lagi. Cukup kembalikan dan masalah selesai.”
“Kau yakin sekali sepertinya.”
Si gadis preman bertingkah seperti
tepuk tangan. Yang terjadi selanjutnya, lima orang pria datang mengepung.
Mereka menggeretakan jari-jarinya, seperti seorang petinju.
“Setidaknya aku sudah berusaha
menyelesaikannya secara baik-baik.”
“Habisi dia!”, perintah si gadis
preman kepada lima orang itu.
BAAK!
BUUK! BUGH! DUAAGGH! BLETAAAKKK! DESSS! KRETAAAKK!!!
Tidak
lebih dari lima menit, kelima orang itu sudah terkapar sambil merintih minta
ampun. Seketika itu juga, gaya mereka yang awalnya terlihat seperti sekumpulan
rentenir dan penagih hutang, berubah menjadi seperti anak kecil yang jatuh dari
sepeda. Tidak ada pukulan, meskipun hanya satu, yang berhasil mereka layangkan
ke dirinya.
“Aku sudah bilang, kan?”
Dia mendekati si cewek preman lalu
mengambil tasnya dari lengan si cewek preman. Tidak ada perlawanan, gadis itu
mematung. Matanya menatapi ‘jagoan-jagoan’nya yang jontai tidak berdaya
menghadapi Kuzan. Mulutnya menganga seperti orang yang tidur dengan mulut
terbuka.
“Sekarang aku harus belanja lagi dari
awal.”
“A.., aku ikut!”, sahut si cewek
preman. “S.., setidaknya.., anggap saja ini permintaan maaf.”
“Terserah kau lah.”
Dia kembali ke pasar. Si cewek preman
mengikutinya dari belakang. Satu per satu dia meminta maaf dan mengganti
kerugian pedagang-pedagang yang sudah dia jatuhkan barang dagangannya. Si cewek
preman menatapnya dengan penuh keheranan.
Si
cewek preman mengantarnya kembali ke tempat terakhir tadi dia belanja. Gadis
itu sudah hafal benar dengan tata letak pasar.
“Jadi, berapa sekilonya, mang?”
“Tiga ribu.”, jawab si pedagang sayur.
“Apa? Bukannya tadi seribu lima
ratus?”
“Tadi yaa tadi. Sekarang yaa
sekarang.”, ketus si pedagang sayur.
“Terserahlah.”, dia pasrah.
Tiba-tiba… BRAAAKKK!!!
“SERIBU LIMA RATUS ATAU KITA PERGI!”,
gertak si cewek preman sambil memukulkan tangannya ke kios si pedagang sayur.
“I.., iya, baik. M.., maaf…”, seketika
itu juga si pedagang sayur merubah pikirannya. “S.., sepuluh kilo. Jadi lima belas
ribu.”
Dia ditemani si cewek preman membeli
barang belanjaan yang lain. Berkat itu, dia berhasil mendapat separuh harga
untuk setiap daging dan setiap barang yang dia beli.
Semuanya
sudah lengkap. Dia berhasil mengumpulkan semua bahan yang tertulis di resep
masakan ibunya. Tidak bisa dipungkiri, dia sangat terbantu oleh bantuan si
cewek preman.
“Kau ahli sekali dalam hal ini.”
“Dan kau payah sekali.”, balas si
cewek preman sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Si cewek preman bahkan membantunya
membawakan barang belanjaan sampai ke tempat parkir. Dia terlihat cukup
kesulitan ketika harus membawanya sendirian.
“Terima kasih.”
“Sudah yaa. Aku pergi.”
“Tunggu! Kau mau datang ke rumahku?”
“APA?”, teriak si cewek preman dengan
suara toa.
“Sekarang aku yang berhutang kepadamu.
Anggap saja ini sebagai permintaan terima kasih.”
“TIDAK!”
“Sayang sekali, padahal malam ini aku
akan masak seafood dan steak. Aku hanya tinggal berdua dengan pamanku. Dengan
bahan makanan sebanyak ini, pasti akan banyak yang terbuang, sayang sekali.”
“S.., seafood?”
“Ya…”
Tanpa banyak berdebat, gadis itupun
masuk ke dalam mobil. Dia pun menjalankan mobilnya.
“Aku mau tanya.”, ucap si cewek
preman. Sepanjang perjalanan dia merokok terus di dalam mobil.
“Apa?”
“Kenapa kau tidak teriak saat aku
mencuri tasmu? Kau bisa saja teriak dan orang-orang di pasar akan membantumu.”
“Kenapa? Itu bukan urusan mereka. Itu
urusan kau dan aku.”
“Kau ini gila, ya?”
“Lagipula, kau bisa mati kalau
tertangkap oleh mereka.”
“Aku tidak pernah gagal kalau sudah menetapkan
target. Lagipula kalau aku salah, mungkin aku memang pantas mati.”
“Benar atau salah, itu urusanmu.
Seperti yang aku bilang, aku cuma mau tasku kembali.”
Si cewek preman terdiam sebentar. Dia
kembali bertanya, “Apa isi tas itu?”
“Kamera.”
“Berapa harganya?”
“Dua puluh juta.”
“ANJI**! KAU BENAR-BENAR GILA!”
Dia berhenti sebentar untuk salat
maghrib. Si cewek preman bilang kalau dia tidak salat. Gadis itu menunggu di
dalam mobil sambil merokok.
“Aku pikir kau kabur.”
“Ya. Aku juga berniat seperti itu.”
“Kenapa kau mau ikut denganku?”
“Kenapa?”
“Ya. Kau belum kenal denganku dan aku
baru saja menangkapmu saat sedang mencuri. Kenapa kau tetap mau ikut
bersamaku?”
“Kau bilang malam ini kau masak
seafood.”
“Hanya karena itu?”, dia terkejut dengan
ekspresi ‘sangat’. “Hanya karena seafood kau mau ikut denganku? Kau ini gila
atau apa?”
Si cewek preman membuang puntung
rokoknya yang baru dia hisap setengah. Dia melotot dan menarik nafas
dalam-dalam.
“KAU BILANG AKU GILA? AKU TIDAK MAU
DIBILANG GILA OLEH ORANG YANG PERGI KE PASAR DENGAN MEMBAWA KAMERA SEHARGA DUA
PULUH JUTA LALU MELETAKANNYA SEMBARANGAN DI ATAS SAYUR-SAYURAN…”, si cewek
preman berteriak sekuat tenaga sambil memukul-mukulkan tangannya ke kepala
Kuzan.
“Hei.., hei.., awas!! Aku tidak bisa
lihat jalan. Kita bisa mati kalau seperti ini.”
Kuzan berusaha menghindar dari pukulan
si cewek preman. Semakin dia menghindar, semakin sakit terasa pukulan yang dia
terima.
“Ampun… Ampun… Maafkan aku…”
Mereka
akhirnya sampai di rumah jam tujuh tepat. Tidak biasanya dia pulang jam segitu.
Biasanya dia masih berkeliaran di jalan atau masih sibuk di studio fotonya.
“Ada apa, Paman?”, sapanya ketika
melihat Paman Thomas sudah menunggunya di depan pintu.
“Dia selamat. Al-Jazeera sedang
menayangkan beritanya.”
Dia langsung berlari menuju ruang
keluarga. Barang belanjaan yang dia bawa sampai terjatuh di depan pintu.
Dikencangkannya volume TV sampai terdengar di seluruh ruangan.
Suara
pembawa berita Al-Jazeera terdengar seperti sedang berteriak karena volume TV.
Dia bahkan tidak mendengar suara si cewek preman yang berteriak bertanya, “MAU
DITARO DI MANA INI…???”
Paman Thomas mengambil alih tugas
membawa barang belanjaan dari tangan si cewek preman. Paman tersenyum kecil
sambil mengucapkan ‘terima kasih’ ke si cewek preman.
Perhatiannya
masih tersedot penuh ke arah TV. Suara presenter berita yang bicara dengan
bahasa Arab lebih terdengar seperti orang yang sedang mengaji menggunakan
pengeras suara. Si cewek preman menyingsingkan lengan jaket lalu berjalan ke
arahnya.
“BEEERRRIIIISSSSIIIIIIIKKKKKKKKKKKK
……………!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Suara gadis itu lebih kencang daripada
volume TV. Kalau di film kartun, teriakannya itu pasti berhasil memecahkan
jendela dan menghancurkan guci. Lebih parah lagi, gadis itu teriak tepat di sebelah
gendang telinganya. Gadis itu merebut remote TV lalu mengecilkan volume dengan
tangannya sendiri.
“APA SIH YANG KAU TONTON? ORANG SEDANG
KUMUR-KUMUR? AKU TIDAK MENGERTI…”
“Dia selamat. Kau dengar? Dia selamat…
Akhirnya dia sampai di Gaza. Aku yakin dia pasti senang sekali.”
“Hah???”, dengan wajah mengkerut
kebingungan, si cewek preman mematung seperti ketika dia tadi melihat
‘jagoan-jagoan’nya dilumpuhkan oleh Kuzan hanya dalam waktu beberapa menit.
Berita itu akhirnya selesai. Itu
terlihat lebih seperti sebuah anugerah bagi si cewek preman. Kontras dengan
Kuzan, gadis itu melihat Kuzan yang tadinya senang, sekarang meringkuk di sofa
sambil membenamkan wajah ke lutut.
“M.., maaf… Aku tidak bermaksud…”,
ucap si cewek preman sambil berusaha menghibur Kuzan meskipun dia sendiri tidak
mengerti kesalahan apa yang sudah dia lakukan.
Lagi-lagi si cewek preman dikejutkan
oleh reaksi Kuzan. Kuzan tiba-tiba bangkit dan teriak-teriak kegirangan seperti
orang gila. Si cewek preman itu berpikir kalau mungkin tidak seharusnya dia
mengikuti Kuzan. Dia merasa sudah masuk ke dalam Rumah Sakit Jiwa.
Si
cewek preman hendak pergi setelah melihat kegilaan yang terjadi. Tapi Kuzan
tiba-tiba menarik tangannya. Dia menarik gadis itu sampai masuk ke dalam
pelukannya. Dia memeluk si cewek preman sampai membuatnya berputar-putar.
Anehnya, si cewek preman tidak memberontak. Mungkin dia sudah tidak tahu lagi
harus bagaimana menghadapi keadaan ini. Begitu Kuzan melepaskan pelukannya, dia
langsung berlari menuju pintu keluar.
“Dia selamat, Paman. Paman dengar,
kan? Dia selamat. Dia selamat. Dia selamat.”, dia mengucapkan kalimat itu
berkali-kali sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ya, Paman ikut senang mendengarnya.
Untuk merayakannya, Paman akan buatkan seafood dan steak yang paling enak untuk
kalian berdua.”
“Seafood?”, kata si cewek preman
pelan. Dia langsung berhenti ketika mendengar kata itu. Seketika itu juga, dia
mengurungkan niatnya untuk pergi dari ‘Rumah Sakit Jiwa’.
“Aku yang masak, Paman.”
“Tidak! Jangan dia! Dia gila.”, bantah
si cewek preman.
“Ngomong-ngomong, Paman belum pernah
bertemu denganmu. Siapa nama temanmu ini, Kuzan?”
Mereka seperti baru saja disadarkan
akan satu hal penting yang belum sempat terpikir oleh mereka sebelumnya.
Setelah kejadian di pasar dan di mobil tadi, mereka bahkan belum saling
berkenalan.
“Aku ‘Auryn’. Panggil aku ‘Ryn’. Aku
tidak suka dipanggil ‘Auryn’ apalagi ‘Au’.”, terang si cewek preman.
“’Auryn’? Nama yang sangat bagus untuk
wanita secantik kamu. Namaku Thomas. Kamu bisa memanggilku ‘Thomas’ atau
‘Paman’ saja. Aku bekerja di sini sebagai pengurus rumah.”
“Aku Kuzan.”
“Kuzan ini adalah pemilik rumah di
sini dan sekaligus majikan Paman.”, Paman Thomas menambahkan.
“Kuzan? Hahahahaaa… Nama macam apa
itu?”, ejek si cewek preman sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kau ini… Kau benar-benar membuatku
kesal.”
“Oh ya? Bagus kalau begitu.”, balas si
cewek preman balik menantang.
“Sudah… Sudah…”, Paman Thomas berusaha
melerai pertengkaran mereka. “Naah.., Auryn, apa kamu akan menginap di sini?”
“Dia pencopet. Tentu saja dia tidak
punya tempat tinggal. Mulai sekarang dia akan tinggal di sini.”, ucap Kuzan
berusaha memanas-manasi suasana.
“Kata siapa? Aku punya rumah. Lagian,
siapa yang mau tinggal di sini? Jangan seenaknya memutuskan!”
“Di rumah ini aku yang putuskan.
Kenapa? Tidak suka?”
“Jangan seenaknya ya!”
“Sudah… Sudah… Ayo, Paman antar kau ke
kamarmu.”
Paman membawa si cewek preman ke kamar
yang ada di lantai dua. Si cewek preman itu menuruti saja apa yang Paman Thomas
katakan.
“Tuh kan.., apa aku bilang. Dia tidak
punya tempat tinggal, Paman.”
“Eeerrggghhh… Aku sudah tidak tahan.
Aku pergi saja.”, gerutu si cewek preman seperti anak kecil yang kesal karena
tidak dibelikan mainan yang dia mau.
“Dia memang seperti itu. Biarkan saja!
Itu hanya cara dia menyembunyikan rasa senangnya.”
“Siapa yang senang?”, gerutu Kuzan
tidak berbeda seperti ekspresi si cewek preman. Paman Thomas seperti dihadapkan
dengan dua anak kecil yang sedang ngambek-ngambekan.
“Ayo, Paman antarkan kamu ke kamarmu!
Kalau kamu tidak suka dengannya, Paman harap kamu bisa melakukannya demi Paman.
Rumah ini jarang sekali kedatangan tamu dan setiap hari Paman harus berhadapan
oleh orang yang menjengkelkan seperti dia. Paman harap kamu bisa menemani Paman
malam ini.”
“’Orang yang menjengkelkan’?”, gerutu
Kuzan sekali lagi.
Si cewek preman akhirnya mengalah. Dia
menuruti permintaan Paman Thomas dan mengikuti Paman Thomas yang membawanya ke
kamar.
“Dia mau datang ke sini cuma gara-gara
seafood, Paman.”
“Eeeeeerrrgggghhhhhh… Dia itu
benar-benar menjengkelkan. Pantas saja Paman tidak tahan tinggal berdua di
rumah ini dengannya.”, bisik si cewek preman kepada Paman Thomas.
Paman Thomas tersenyum menanggapi,
“Paman harap kamu menemukan kesenangan di rumah ini. Sama seperti kesenangan
yang memaksa Paman untuk tetap bertahan tinggal di rumah ini.”
Setengah jam sudah Kuzan berdiri di
dapur. Belum ada satupun makanan yang selesai dia masak. Paman Thomas akhirnya
turun tangan membantunya setelah selesai membersihkan kamar untuk si cewek
preman.
“Kau ini benar-benar payah.”, ucap
Paman Thomas saat datang ke dapur. Dia mengambil alih seluruh pekerjaan.
“Apa dia mau tinggal di sini?”, tanya
Kuzan sambil bisik-bisik.
“Tenang saja. Kamu tidak perlu
bisik-bisik seperti itu. Dia sedang mandi.”, ucap Paman Thomas sambil tertawa
melihat tingkah aneh Kuzan. “Entahlah. Dia bilang dia hanya akan menginap malam
ini. Besok pagi dia pulang.”
“Ya sudahlah…”
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?”
“Sebenarnya.., ada yang ingin aku
jelaskan kepadamu, Paman.”
Kuzan mengambil tas kameranya lalu
mengeluarkan keempat foto yang dia dapat dari studio. Dia tunjukan foto-foto
itu ke Paman Thomas lalu menjelaskan semuanya. Dia berharap Paman Thomas setuju
dengan semua yang dia katakan.
“Bagaimana, Paman?”
“Auryn, dia gadis yang baik. Paman
suka dengannya dan Paman akan senang sekali mengikuti rencanamu. Paman akan
membantumu.”
“Tapi bagaimana dengan yang lain?
Paman belum bertemu dengan mereka.”
“Sekalipun Paman bilang ‘tidak’, Paman
tidak yakin itu akan mengubah keputusanmu.”
Tidak ada yang membuatnya senang
selain mendengar ucapan Pamannya itu. Pamannya memang orang paling bijaksana
yang dia kenal.
“Aku akan mencari yang lainnya besok.
Aku pasti akan membawa mereka ke sini.”
“Lalu apa tujuanmu? Kenapa tiba-tiba
kamu merencanakan semua ini?”
“Paman.., aku sudah mengambil
keputusan.”
“Apa kau yakin bisa mengajak mereka?”
“Yakin adalah langkah pertama dalam
mengambil keputusan.”
Dia menjelaskan keputusan yang sudah
dia ambil kepada Paman Thomas. Cukup sulit untuk meyakinkan Paman Thomas untuk
keputusannya yang satu ini. Setelah menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan
Paman Thomas, Paman Thomas pun akhirnya mengerti. Paman Thomas akhirnya berkata
kalau dia tidak bisa menyalahkan keputusan yang diambil oleh Kuzan. Lebih tidak
mungkin lagi Paman Thomas berkata kalau dia tidak akan bisa mengubah dan
menghalangi jalan yang sudah diambil oleh Kuzan. Kuzan sudah meyakinkan
keputusannya.
“Terima kasih, Paman. Apapun yang
terjadi, Paman sudah banyak membantuku. Aku tidak mungkin bisa membalas semua
kebaikan Paman.”
“Paman hanya melakukan apa yang Paman
harus lakukan.”
“Lama sekali sih. Masakannya belum jadi juga? Aku sudah lapar. Lagian, orang
sepertimu mana mungkin bisa masak. Paling-paling juga masak air panas.”, ucap
si cewek preman dari lantai atas.
“I’m
gonna beat her some manner!”
“Eeh.., eeh.., kamu mau apa? Jangan
berani-berani ya!”
Kuzan berlari menyusuri tangga menuju
lantai atas, meninggalkan Paman Thomas sendirian di dapur. Dia sudah menyerah
untuk belajar memasak sepertinya.
“Jangan macam-macam! Aku cuma pakai
handuk. Aku belum pakai baju. Hei…! Hei…! Paman, tolong aku! Orang gila ini mau
berbuat jahat kepadaku!”
Lalu suara pintu dibanting terdengar
keras sampai ke seluruh rumah. Derap kaki Kuzan terdengar sampai ke dapur.
“Buka pintunya!”
“Tidak! Kau pasti mau memperkosa aku!
Paman, tolong!”
“Eeeerrggghhhh…, kau benar-benar
membuatku kesal!”
Sementara mereka bertengkar di depan
pintu kamar, Paman Thomas menangis di dapur.
Satu
jam kemudian, makanan sudah siap. Paman Thomas sudah menyiapkan semuanya di
meja makan, lengkap dengan dekorasi candlelier.
Kuzan sudah bersiap-siap di meja makan sedangkan si cewek preman masih belum
mau keluar dari kamarnya.
“Auryn, makanannya sudah siap! Ayo
turun!”, teriak Paman Thomas agar suaranya terdengar sampai ke kamar si cewek
preman.
“Tidak mau! Orang gila itu mau
memperkosaku!”, sahut si cewek preman.
“Biarkan saja, Paman. Kalau dia tidak
mau makan, ya sudah. Kita habiskan saja semuanya berdua. Sayang kalau tidak
dimakan.”
Suasana menjadi senyap sejenak.
Beberapa menit kemudian, si cewek preman itu akhirnya turun. Dia masih
mengenakan pakaian premannya, jaket kulit dan celana jeans bolong-bolong. Hanya
saja sekarang dia tidak memakai topi. Rambutnya yang hitam, panjang sedada,
sedikit ikal di bagian bawah, semakin menambah aura cantik yang sebenarnya
sudah terpancar jelas di wajahnya.
“Ayo duduk di sini!”, ajak Paman
Thomas.
“T.., tapi.., d…, dia……”
“Ayo makan! Nanti bagianmu keburu
dihabiskan olehnya.”
Tanpa pikir panjang, si cewek preman
langsung menyerbu meja makan. Godaan dari aroma sedap seafood yang tercium
sampai ke kamar, tidak kuasa dia lawan. Selain itu, Paman Thomas juga ada di
sana. Jadi, dia tidak perlu takut.
Tidak
ada yang terkejut dengan cara makan si cewek preman. Benar-benar tidak memikirkan
tata karma, meskipun di sana ada Paman Thomas. Sementara Kuzan dan Paman Thomas
makan dengan tenang, si cewek preman ribut dengan makanan yang sedang dia
lahap.
“Waaahhh… Enak sekali. Aku belum
pernah makan makanan seenak ini… Yang ini enak… Yang ini juga enak… Yang satu ini
kelihatannya aneh, tapi enak… Aaaahhhh.., beruntung sekali aku datang ke sini.”
Satu per satu makanan yang ada di meja
makan dilahap si cewek preman. Dengan tangan, dia mengambil sekaligus makanan
yang ada di setiap piring. Dia lahap makanannya itu dengan tangan juga. Kuzan
dan Paman Thomas belum selesai dengan piring pertama mereka, si cewek preman
sudah selesai dengan piring ketiga yang porsi di setiap piringnya terlihat
seperti orang yang belum makan tiga hari.
“Uuwweeeekkkk! Makanan apaan nih? Gag
enak banget! Dagingnya gosong begini.”, celetuk si cewek preman dengan mulut
yang penuh dengan nasi.
“Berisik! Sudah makan saja! Kalau
tidak suka, ya sudah tidak usah dimakan!”, ucap Kuzan kesal.
Si cewek preman yang juga kesal karena
mendengar ucapannya lalu menumpahkan daging gosong itu ke piringnya.
“Kau saja yang makan kalau begitu. Kau
sendiri yang bilang ingin menghabiskan semuanya, kan?”
“Kau harus menghabiskan masakanmu
sendiri, Kuzan. Kau sendiri yang bilang kalau kau ingin belajar memasak.
Sebelum orang lain yang merasakan masakanmu, lebih baik kau merasakan masakanmu
sendiri dulu.”, Paman Thomas mendukung tindakan si cewek preman.
“Jadi, ini masakanmu? Pantas saja aneh
begini. Sudah kubilang, kau masak air saja!”
“Kau ini… Apa kau tidak pernah diajari
tentang table manner?”
“Table
manner? Makanan apaan tuh?”
“Itu bukan makanan, bodoh! Itu tata
krama bagaimana makan di meja makan.”
“Tata krama?”
“Itu salah satu peraturan tentang
kesopanan ketika kamu sedang makan bersama orang lain.”, tambah Paman Thomas.
“Peraturan? Untuk makan saja ada
aturannya?”
“Tentu saja, bodoh!”
“Jadi, kamu tidak tahu?”, lanjut Paman
Thomas.
“Tidak! Lebih baik aku tidak tahu. Aku
capek dengan aturan. Sudah banyak aturan yang aku langgar supaya perutku bisa
kenyang. Kalau untuk makan saja pakai aturan, walau banyak makanan seperti
sekarang ini, bisa-bisa aku tidak kenyang.”, jawab si cewek preman dengan
polos. Mulutnya masih penuh dengan nasi.
“Dia mirip sekali denganmu, Kuzan.
Paman semakin ingin dia tinggal di sini bersama kita.”, ucap Paman Thomas
sambil tertawa karena akhirnya dia bisa menemukan persamaan antara Kuzan dengan
Auryn.
Mereka akhirnya selesai makan, atau
lebih tepatnya, Kuzan dan Paman Thomas akhirnya selesai menunggu si cewek
preman selesai makan. Setengah porsi makanan yang ada di meja dihabiskan oleh
mereka, setengah porsi lagi dihabiskan sendirian oleh si cewek preman.
“Aaaaahhhh.., enaaaaaakkk… Kenyang
sekali rasanya… Eeeee ~ … !”, ucap Auryn sambil sesekali bersendawa. Wajahnya
masih belepotan oleh makanan yang dia lahap.
“Malam ini kamu tidur di kamar atas
saja, di sebelah kamar Kuzan. Paman sudah menyiapkan baju ganti untukmu.”
“Terima kasih, Paman. Paman baik
sekaliii.” Auryn memeluk paman Thomas. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa
senangnya lagi.
“Tanganmu itu masih kotor. Nodanya
kena baju Paman.”
“Biar saja. Nanti biar aku sendiri
yang cucikan untuk Paman. Paman saja tidak keberatan, kenapa jadi kamu yang
susah?”
“Paman senang sekali kamu ada di sini,
Ryn.”
“Eeerrhhh, menjijikan. Aku capek. Aku
tidur duluan.”
Kuzan meraih tas kameranya lalu
berjalan menuju kamar. Si cewek preman membantu Paman Thomas membereskan meja
makan. Saat menyusuri tangga, dia mendengar percakapan mereka.
“Apa dia selalu seperti itu, Paman?”
“Hmm.., Paman juga tidak terlalu
mengenalnya. Paman hanya mengenalnya saat dia sedang berada di rumah saja.
Sayangnya, rumah ini jarang kedatangan tamu jadi Paman tidak tahu bagaimana
sifatnya kalau sedang bersama orang lain.”
“Huh! Aku tidak suka dengan dia.”,
ketus si cewek preman.
“Tapi ini untuk pertama kalinya dia
mengajak perempuan untuk makan malam di rumah ini.”
Dia berkaca di depan cermin besar yang
ada di dalam kamarnya. Di depan cermin itu dia berkata,
“Aku akan memulai semuanya dari awal.
Ini sudah menjadi keputusanku. Aku akan mengejarmu. Tunggu saja!”
Keesokan paginya, waktu sudah
menunjukan pukul delapan pagi. Tidak biasanya dia bangun jam segini, dia bahkan
melewatkan salat subuh. Dia pun langsung bergegas ke kamar mandi dan
bersiap-siap.
Pakaiannya
sudah dikenakan rapih. Hari ini rencananya dia akan mulai menjalankan rencana
yang dia beritahukan kepada Paman Thomas kemarin malam. Tas kameranya tidak
ada. Dia tidak bisa menjalankan rencananya tanpa tas itu. Dibongkarnya isi
kamar, tapi tetap dia tidak menemukan tasnya.
“PAMAAAANNNN!!!”, dia berteriak dari
depan pintu kamarnya.
“Ada apa pagi-pagi sudah ribut?”,
sahut Paman Thomas sedikit kesal.
“Paman lihat tas kameraku?”
“Bukankah kemarin malam kamu bawa ke
kamarmu?”
“Tidak ada.”
“Tidak mungkin. Kamu selalu mengunci
kamarmu kalau tidur.”
“Ryn… Di mana dia?”
“Paman belum melihatnya pagi ini. Dia
mungkin masih tidur.”
Dia menggedor pintu kamar yang berada
di sebelah kamarnya. Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda kalau ada orang
di dalamnya. Dia tarik gagang pintu kamar tersebut, tidak terkunci.
Kamar
itu kosong, rapih, seperti tidak ada yang memakainya untuk tidur tadi malam.
Dia memaksa masuk ke dalam kamar itu dan menemukan secarik kertas di meja yang
berada di sebelah tempat tidur.
“Aku pulang. Terima kasih untuk makanannya.
Dan terima kasih untuk kameranya juga.”
Hanya itu yang tertulis di kertas
tersebut. Ditambah tanda tangan atas nama Auryn di sudut kanan bawah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar