Minggu, 15 April 2012

Berbincang di Antara Para Pelangi: Chapter 1


PIKIRAN RADIKAL
               
Dunia selalu berputar. Perubahan akan selalu terjadi karena tidak ada satupun makhluk ataupun insan yang sama, walaupun dalam hitungan detik. Semua pasti berubah, namun, yang terpenting adalah apakah perubahan itu membawa kita menjadi lebih baik atau lebih buruk. Kehidupan yang statis akan membentuk pikiran yang pragmatis. Lain hal dengan kehidupan yang fluktuatif. Sebuah pikiran kreatif akan timbul ketika dihadapkan kepada sebuah permasalahan. Masalah apapun itu, masalah akan memaksa pikiran kita untuk bekerja, untuk membuat perubahan. Seperti perputaran dunia, kehidupan akan selalu dinamis sehingga setiap pergerakan harus dijalani dengan perjuangan dan pengorbanan.
                Tidak ada yang lebih mengerti diri kita kecuali diri kita sendiri. Pemikiran itu yang terkadang memaksa seseorang untuk berpendapat bahwa mereka tahu mana yang terbaik untuk diri kita sendiri. Itu tidak salah, benar sekali bahkan. Seorang filsuf Yunani pernah berpendapat, kurang lebih seperti ini, ‘Tidak ada benar atau salah. Semua adalah benar karena setiap orang bertindak berdasarkan kebenaran menurut mereka masing-masing’. Jika kita perhatikan kutipan ini, keadilan menjadi hal yang samar. Positifnya, tidak akan ada hal ambigu yang meragukan. Jika ada seseorang yang memiliki pemikiran seperti itu, maka pendapat itu menjadi sangat benar. Tentu saja, karena bagaimana kita bisa menyalahkan? Orang tersebut akan membenarkan setiap pernyataan kita yang menyalahkan.
                Apakah keadilan itu? Di mana kita menemukannya? Mempelajarinya? Memahaminya? Apakah hukum cukup untuk menciptakan keadilan? Hukum siapa? Untuk siapa? Maka keadilan adalah mematuhi semua peraturan yang berlaku, meskipun kita sendiri tidak tahu untuk apa peraturan itu ada atau bagaimana peraturan itu ada. Kalau begitu, adil adalah apa yang atasan kita katakan, bukankah begitu? Kita tidak mungkin membuat peraturan. Yang membuat peraturan adalah atasan kita. Untuk apa? Untuk mengatur ‘kita’? Untuk mengatur sistem? Untuk mengatur dirinya sendiri? Kalau untuk mengatur ‘kita’, lalu di mana keadilan ‘versi kita’? Apakah seorang ‘bawahan’ tidak punya keadilan untuk disuarakan? Apakah seseorang yang memiliki kuasa lebih juga berarti memiliki pemahaman tentang keadilan yang lebih pula sehingga mereka berhak menentukan mana yang adil dan mana yang tidak dengan membuat peraturan? Ini bukan masalah demokrasi atau rasa ingin dihargai. Ini adalah jalan mencari ‘kebebasan’.
                Sebagai seseorang yang memiliki pikiran luas dan terbuka, pertanyaan tentang ‘kebebasan’ tidak pernah hilang dari pikiran Kuzan. Kapan seseorang bisa merasa dia ‘bebas’? Atau setidaknya kapan seseorang bisa berpikir ‘bebas’? Demokrasi mungkin salah satu cara yang tepat.., mungkin. Namun, kalau demokrasi saja masih belum cukup, metode apa lagi? Pencarian tentang arti dari kata ‘kebebasan’ mungkin tidak bisa lepas dari agama. Sebagai peraturan –diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa- yang absolut dan tidak terbatas, agama akan selalu menjadi pembatas manusia untuk berpikir dan bertindak ‘bebas’.
                Dia bukan seorang pagan, yang tidak beragama atau sejenisnya. Dia percaya akan adanya Tuhan. Dia masih bisa berpikir benar kalau agama adalah ‘kebutuhan’ mutlak setiap insan, setiap makhluk, setiap manusia. Tanpa agama, seseorang tidak akan punya pedoman. Tanpa agama, seseorang tidak akan bisa menentukan arah. Namun, yang paling penting, tanpa agama, seseorang tidak akan punya tujuan.
                Sebuah kutipan akhirnya berhasil dia temukan. ‘Apa artinya kebebasan kalau kita masih memikirkan orang lain? Apa artinya kebebasan kalau kita masih tergantung dengan orang lain? Apa artinya kebebasan kalau kita tidak bisa menguasai pikiran kita dari pikiran-pikiran orang lain? Kebebasan adalah milik Tuhan Yang Maha Esa? DIA adalah Dzat yang menguasai segalanya.’ Kutipan itu setidaknya berhasil mempertahankan keyakinannya, atau setidaknya menghindari dirinya dari berpikir filsafat secara tidak terbatas. Jadi, bagaimana memperoleh kebebasan tanpa –secara tidak mungkin- melampaui Dzat Yang Maha Kuasa tersebut? Kuzan masih berusaha mencari jawabannya.
                Cinta adalah makna yang banyak ditinggikan oleh mereka. Namun, bagaimana kita bisa memperoleh kebebasan jika masih ada cinta di dalam hati kita? Cinta akan memaksa kita untuk memikirkan orang lain yang secara langsung ataupun tidak langsung, memaksa kita untuk berketergantungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, itu benar. Dia pun menyadari dan sangat memahami hal itu. Dia membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Untuk menjadi orang yang bebas, bukan berarti menjadi orang yang bisa melakukan semuanya sendirian, itu tidak mungkin. Tapi adalah bagaimana setiap manusia bisa saling bantu-membantu untuk melakukan semua hal yang mereka mau, tanpa adanya perintah yang terkadang membuat mereka bertindak secara terpaksa. Jadi, bagaimana? Jawaban sementara yang bisa dia terima adalah, seorang manusia tidak akan bisa menemukan ‘kebebasan’ kalau dia belum menemukan ‘cinta’. Berlandaskan cinta, seseorang bisa bertindak seperti apa yang mereka mau untuk bisa dan membantu membahagiakan orang lain. Dia hanya belum bisa mengaplikasikan pemahaman tersebut menjadi suatu bentuk dan tindakan nyata.
                Pikiran radikal ini masih terus berdebat di dalam kepalanya. Di usia yang mulai menginjak 25 tahun, dia berjuang untuk menemukan jawaban yang bisa menjawab semua pertanyaan di kepalanya. Perjuangan seperti apa? Dia sendiri tidak tahu harus menamakan perjuangannya ini dengan sebutan apa. Yang jelas, dia bertindak seperti apa yang dia mau. Melawan kediktatoran, melawan peraturan, dan melawan pikiran-pikiran radikal yang tidak sesuai dengan pikiran radikalnya.
                Seorang sahabat pernah mengklaim bahwa dia sudah bisa menemukan ‘kebebasan’. Sahabat yang dia temui sejak pertama menginjakan kaki di perguruan tinggi dan satu-satunya yang orang yang bisa memahami cara berpikirnya. Dia adalah orang yang memiliki jalan pikiran yang sama sepertinya. Mereka sudah banyak menjalani kehidupan ini bersama-sama, melakukan apa yang mereka mau bersama-sama. Semua kenangan seperti berpetualang berdua, mencari uang bersama, berkelahi dengan ‘geng’ lain, bahkan sampai menantang maut bersama hanya demi mencari kepuasan akan kebebasan bersama sudah sering mereka lakukan.
Pertemuan mereka diawali dari sebuah perdebatan organisasi. Mereka adalah anggota organisasi di kampusnya. Pada saat itu sedang terjadi bencana alam berupa gunung berapi di Magelang, Yogyakarta. Letusan Gunung Merapi yang cukup besar dan dikategorikan sebagai bencana alam terdahsyat yang terjadi di Indonesia pada tahun itu.
“Kita harus segera mengumpulkan bantuan untuk saudara-saudara kita di Yogya!”, ucap ketua organisasi yang sedang memimpin rapat saat itu. “Teguh, aku minta kau siapkan logistik dan kendaraan untuk kita! Rani, sebagai ketua divisi humas, segera informasikan teman-teman yang lain tentang program ini! Dan Kuzan, sebagai ketua MPM (Majelis Perhimpunan Mahasiswa atau OSISnya kampus), aku minta kau untuk mengumpulkan sumbangan dari setiap kelas! Beritahukan kalau setiap mahasiswa wajib mengumpulkan pakaian dan uang untuk disumbangkan! Aku ingin semua orang di kampus ini tahu, termasuk dosen, rektor, dan dekan, tentang program ini.”
“Aku tidak bisa!”, ucapku dengan lantang sehingga berhasil membuat ruangan hening. “Aku tidak mau! Aku lebih suka bekerja di belakang layar. Aku tidak ingin muncul di depan teman-teman yang lain, meminta sumbangan, seakan-akan aku pahlawan yang ada dan siap membantu orang lain.”
“A.., apa maksudmu?”, tanya ketua organisasi, sekaligus senior, yang mengadakan program bakti sosial itu dengan kebingungan.
“Sebagai ketua MPM, aku menyetujui kegiatan organisasi ini karena program dan dedikasi tinggi yang kalian miliki untuk membantu sesama. Aku juga tidak menolak untuk ikut terjun langsung membantu terlaksananya program ini. Akang pasti mengerti cara kerjaku, kan? Aku mau melakukannya dan membantu karena aku senang melakukannya. Tapi kalau untuk meminta sumbangan ke teman-teman, maaf aku tidak bisa.”
“Kenapa? Sebagai ketua MPM, aku yakin kita pasti banyak mendapat dukungan dari teman-teman kalau kamu yang terjun langsung menghadapi mereka.”
“Untuk hal yang satu ini, aku berharap teman-teman membantu karena memang mereka mau membantu. Bukan karena ketua MPM yang meminta mereka untuk membantu.”
“A.., aku benar-benar tidak mengerti maksudmu.”
“Aku ingin bertindak seperti yang aku mau. Maaf saja, kalau aku harus memikul tanggung jawab yang diberikan teman-teman karena mempercayakan sumbangan mereka kepada kita, aku tidak bisa.”
“Tidak bisa seperti itu. Kamu itu ketua MPM.”
“Benar. Makannya biarkan aku bertindak seperti yang aku mau.”
“Bagaimana mungkin? Sudah seharusnya kamu memikul tanggung jawab yang diberikan oleh teman-temanmu dan melakukan apa yang mereka ingin kamu lakukan.”
“Mereka memilihku karena mereka mau. Aku tidak pernah meminta mereka untuk memilihku. Jadi, aku akan melakukan apa yang aku mau karena mereka mempercayakanku untuk bertindak seperti itu.”
“Jadi, apa usulmu?”
“Kita tidak perlu mendatangi kelas-kelas untuk meminta sumbangan. Cukup informasikan kepada mereka tentang program bakti sosial ini. Bagi mereka yang ingin memberikan sumbangan, mereka bisa datang dan menitipkannya di sekretariat.”
“Kita tidak punya banyak waktu. Kalau seperti itu caranya, sumbangan hanya akan terkumpul sedikit. Itu tidak akan cukup.”
“Kalau begitu hanya segitulah sumbangan yang mampu kita berikan.”
“Tidak bisa! Kamu tahu? Berapa banyak kebutuhan para korban yang kehilangan sanak saudara dan harta bendanya? Lagipula apa ruginya mewajibkan setiap mahasiswa untuk menyumbangkan sebagian uang dan pakaian mereka untuk korban-korban di Yogya sana. Aku yakin mereka tidak akan keberatan. Toh, kalau memang mereka tidak mampu, kami mengerti dan tidak akan memaksa mereka.”
“Tapi mereka melakukannya karena kita memintanya, bukan karena mereka mau melakukannya.”
“Itulah tugas kita. Organisasi kami adalah berusaha menjadi tangan dan kaki teman-teman yang ingin memberikan bantuan.”
“’Ingin memberikan bantuan’… Bukan diminta memberikan bantuan!”
“Ini bukan meminta. Astaga… Kami hanya ingin mereka memberikan bantuan. Toh, pahalanya juga untuk mereka, kan, karena mereka ikut membantu saudara-saudara kita yang sedang kesulitan di Yogya sana?”
“Ya, kau benar. Tapi akang tidak memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih.”
“Hahahaaa…”, dia pun tertawa, reaksi yang sudah cukup sering dia lihat ketika dia membahas tentang ‘kebebasan’. “Kebebasan? ‘Kebebasan’ apa? Jadi, maksudmu kita tidak perlu mengajak teman-teman kita untuk menyumbang meskipun kita tahu mereka mampu? Kita biarkan saja mereka melakukan kesalahan?”
“Mereka sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang benar dan salah. Kita tidak perlu ‘memaksa’nya.”
“KAU…!!!”, bentaknya. Kuzan bisa melihat kalau kesabaran si ketua organisasi sudah habis. Sudah tidak ada ‘alasan’ baginya untuk terus berdebat.
“CUKUP!!! SEBAGAI KETUA MPM, SEHARUSNYA KAMU MENGAJAK TEMAN-TEMANMU UNTUK BERTINDAK BENAR!!! PEMIMPIN MACAM APA KAMU!!!”
“Sudahlah, kang. Biarkan dia bekerja dengan caranya sendiri dan kita bekerja dengan cara kita sendiri.”, ucap seseorang, memotong perdebatan.
“TIDAK! TIDAK BISA! MAAF SAJA.., AKU TIDAK MENGERTI KENAPA ORANG SEPERTIMU BISA TERPILIH MENJADI KETUA MPM.”
“Maaf kalau aku mengintervensi, tapi kita tidak bisa menyalahkan tindakannya.”, lanjut orang tersebut memotong perdebatan tepat sebelum sang senior, ketua organisasi, akan melompat dan sepertinya siap untuk menerjang Kuzan.
“TIDAK BISA? JANGAN KONYOL KAU, TAN! KAMU SETUJU DENGAN PENDAPAT DIA…?”, teriak si ketua organisasi kepada salah satu anggotanya.
“Kita tidak bisa berdebat dengan orang yang menilai sesuatu tanpa berorientasi pada benar dan salah…”
                Si anggota yang memotong perdebatan kami terdiam. Dia berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. Aku kenal dia. Namanya Tristan. Pada hari pertama saat ospek dulu, dia adalah teman sekelompokku. Aku tidak terlalu mengenalnya karena aku hanya masuk ospek pada hari pertama saja. Aku tidak bisa mengikuti kegiatan yang tidak ber’alasan’ seperti ospek yang diadakan di kampusku itu. Lebih terlihat seperti ajang balas dendam.
“Aku tidak setuju dengan pendapatnya. Tapi aku juga tidak setuju dengan pendapatmu.”
“JADI APA PENDAPATMU…???”
“Kalau aku boleh bertindak, untuk program ini, aku akan mengumpulkan sumbangan dengan caraku sendiri, kalau memang itu inti masalahnya. Hasil dari sumbangan yang kukumpulkan, akan aku gabungkan dengan sumbangan yang tim akang kumpulkan. Tapi kalau akang tidak setuju denganku, kalau begitu maaf.., aku akan melakukannya sendiri.”
“AKU INI KETUA. KALIAN HARUS MENDENGAR APA YANG AKU KATAKAN!!!”
“Maaf, kang. Aku percaya kepadamu, tapi untuk hal yang satu ini, tujuan kita berbeda.”
“YA SUDAHLAH… TERSERAH KALIAN! LAKUKAN APA YANG KALIAN MAU. TAPI PROGRAM INI AKU YANG MEMBUATNYA. JADI, MAAF.., AKU TIDAK BUTUH KONTRIBUSI KALIAN BERDUA UNTUK PROGRAM INI. KALAU KALIAN TIDAK KEBERATAN, SILAHKAN KELUAR!”
Mereka berdua pun mengambil tasnya dan keluar dari ruangan rapat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tepat ketika Kuzan akan menarik pintu, seseorang menarik lengan tasnya dan ‘BUUKK!
“JANGAN PERNAH DATANG LAGI! PIKIRAN RADIKAL SEPERTIMU HANYA AKAN MENCEMARI KEGIATAN SOSIAL YANG KITA LAKUKAN…”
Si ketua organisasi masih memelototkan matanya ke arah Kuzan. Dia hanya tersenyum lalu bangkit dan mengambil kembali tasnya yang sedikit robek karena ditarik paksa dengan cukup keras tadi. Tristan sudah tidak ada di depan pintu. Orang yang tidak punya empati, begitu mungkin penilaian kilat yang diberikan Kuzan kepada orang yang memotong perdebatannya tadi.
                Tristan sudah meninggalkannya cukup jauh. Ada sesuatu yang aneh, yang harus dia perjelas. Maka dari itu, dia harus mencarinya. Sudah hampir setengah jam dia mencari, tidak ketemu. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sehingga dia masih terus mencari Tristan. ‘Sesuatu’ yang dia yakin ada hubungannya dengan pertanyaan yang selama ini dia cari.
                Malam akhirnya datang. Kampus sudah sepi, hanya menyisakan beberapa mahasiswa yang sedang berlatih tae kwon dwo. Memar di pipinya mulai berwarna kebiruan. Dia belum sempat mengobatinya. Pikirannya masih terus memaksanya untuk mencari Tristan.
                Tidak ada gunanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Sudah tidak mungkin menemukan Tristan, secara dia juga sudah berkeliling kampus untuk mencarinya. Dia pun berjalan ke arah tempat parkir, masuk ke dalam mobil, dan mengendarainya pulang. Di pinggiran jalan Dago, pusat keramaian kota Bandung saat malam, Kuzan berhenti dan memarkirkan mobilnya. Dia kemudian mendatangi sebuah gerobak nasi goreng yang sepi, belum ada konsumen yang datang membeli.
“Nasi goreng satu, kang! Jangan pedas.”
“K.., kau? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Kau duluan yang jawab!”
“Seperti yang kau lihat, aku sedang jualan nasi goreng.”, jawab Tristan.
Kuzan menjelaskan maksudnya. Dia juga bilang kalau dia sudah mencari Tristan sejak sore tadi. Tidak sengaja, akhirnya dia menemukannya di pinggir jalan, sedang berjualan nasi goreng. Benar-benar tidak diduga.
“Aku langsung pulang. Seperti yang kau lihat, aku harus jualan nasi goreng. Tidak ada waktu untuk berlama-lama di kampus.”
“Di mana rumahmu?”
“Itu bukan tujuanmu datang ke sini, bukan?”
Tanpa pikir panjang, Kuzan menghabiskan makanan yang dia pesan, dibuatkan oleh Tristan sendiri. Mungkin dia lapar karena hari ini baru makan sekali, tidak butuh 10 menit baginya untuk menghabiskan semangkuk nasi goreng.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku sedang berjualan nasi goreng. Sudah jelas, kan?”
“Kau mengerti pertanyaanku. Sudahlah.., tidak perlu kau sembunyikan. Aku bukan orang yang senang bercerita. Anggap saja rahasiamu aman bersamaku.”
“Bagaimana bisa aku beranggapan seperti itu?!”, ketusnya.
“Kau sudah melihatnya di rapat tadi sore. Aku yakin kau tahu, kita punya pemikiran yang sama. Jadi, untuk apa kau sembunyikan?!”
“Baiklah. Aku sedang mengumpulkan uang.”
“Untuk apa?”
“Ini caraku. Bagaimana denganmu? Aku dengar kau ingin membantu dengan caramu sendiri?”
“Jadi, benar dugaanku. Kau bukan benar-benar penjual nasi goreng. Nasi gorengmu tidak enak.”
“Aku tidak butuh pendapatmu.”
“Tentu saja kau butuh. Aku pelangganmu. Kau harus mengerti. Ikutlah denganku ke Yogya!”
Dia tertawa mendengar ajakan Kuzan. Itulah kenapa Kuzan mencari-carinya daritadi, dia ingin mengajak Tristan untuk pergi ke Yogya bersama. Mereka berdua sudah sama-sama dikeluarkan oleh ketua organisasi dari program ‘bakti sosial’ kampus.
“Ikut bersamamu? Aku tidak punya ‘alasan’ untuk ikut denganmu.”
Tristan tampak pura-pura tidak peduli dan terus mengulek rempah-rempah yang dia jadikan untuk bumbu nasi gorengnya, meskipun rempah-rempah itu sudah menjadi halus seperti debu. Cobek terlihat masih baru. Gerobaknya juga, memang tidak terlihat masih baru, tapi menu dan spanduk yang terpasang masih bersih, seperti jarang digunakan.
“Jadi, ini yang kau maksud dengan ‘mengumpulkan uang sumbangan dengan caramu sendiri’? Menarik… Aku bisa menggunakannya.”
“Hahahahahaaa… Jadi, ini bakti sosial pertamamu?”, dia tertawa mengejek.
“Tidak juga. Hanya saja, tidak pernah terpikir olehku kalau aku bisa menjual nasi goreng untuk mengumpulkan uang.”
“Apa yang biasa kau lakukan?”
Bazaar, yard sale, tapi kalau waktunya mepet seperti sekarang, terpaksa hasil jualanku yang lain yang ku pakai.”
“Memangnya kau jualan apa?”
“Baju. Outlet, distro dan studio foto.”
“Orang kaya rupanya.”
“Terserah kau menilainya seperti apa. Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Atau apa perlu aku berbohong kalau aku juga punya restoran berbintang?”
Kuzan menunggui dia sampai selesai. Di luar dugaan, makanannya habis terjual. Meskipun, cukup lama juga dia menunggu sampai semuanya habis.
“Bekerja di balik layar, hah?... Lucu sekali… Baru kali ini aku mendengar ada orang yang berkata seperti itu. Kau pikir kau siapa? Bajak laut?”, ucap Tristan sambil mencuci piring, sendok, dan garpu kotor dengan air dari keran taman yang ada di dekat tempat jualan.
“Katakan saja aku produser. Tapi nama perusahaanku tidak ku cantumkan di opening, ending, ataupun di filmnya.”
“Kalau begitu, mau kau cantumkan di mana?”
“Semauku. Kalau aku mau itu dicantumkan, maka akan kucantumkan. Kalau tidak, yaa tidak. Siapa yang bisa menolak? Tanpa seorang produser, film sebagus apapun tidak akan bisa tayang di bioskop. Tapi apa mereka peduli namaku dicantumkan? Tidak! Bagi mereka, film mereka bisa ditayangkan saja sudah cukup. Sekalipun dicantumkan, itu hanya untuk kepentingan promosi saja. Beruntunglah jika namaku tidak punya nilai promosi sama sekali.”
“Jauh sekali pemikiranmu.”
“Entahlah. Mauku seperti itu. Jadi…, yaaa.., harus kupikirkan.”
“Sebegitu tidak inginnya kah kau dianggap sebagai pahlawan?”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Tidak mau? Cukup beralasan.”
“Atau anggap saja aku bukan orang yang bisa berempati.”
Malam saat itu cukup ramai. Malam minggu di bilangan jalan Dago memang selalu ramai. Mereka berdua duduk di pinggir trotoar, menyaksikan anak-anak muda, seumuran mereka, sedang menghisap shisa, mabuk, tertawa lantang bersama kawannya, dan bahkan ada yang teler, mungkin sedang nge’fly’. Pedagang bunga mawar menawarkan bunga ke setiap mobil yang lalu lalang, cukup laris karena banyak pasangan muda-mudi yang juga ke’luyur’an saat malam minggu ini. Tatapan mereka hampa melihat pemandangan seperti itu.
“Kenapa tidak kau balas?”, tanya Tristan sambil memakan sepiring nasi goreng yang sengaja dia sisakan untuk dirinya sendiri.
“Apa?”
“Kau tidak terlihat seperti orang lemah yang tidak bisa bela diri. Kau dihajarnya, bukan?”
“Oh.., yaa. Bukan masalah.”
“Bukan masalah?”
“Aku tidak berpikir kalau dia sedang menghalangi jalanku. Tidak ada ‘alasan’ bagiku untuk meributkan hal sepele.”
“Kau ini benar-benar orang aneh.”
“Menurutmu, apa aku salah?”
“Maksudmu caramu atau pikiranmu?”
“Semuanya.”
“Hmm.., aku bukan orang yang menilai sesuatu berdasarkan benar atau salah. Aku buta akan benar dan salah. Aku lebih senang memilih antara suka atau tidak suka.”
“Kau bilang ‘tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang menilai sesuatu tanpa berorientasi dengan benar atau salah’.”
“Aku bilang ‘tidak bisa’.”
“Terserah. Tidak ada bedanya lagipula.”
“Tidak ada gunanya berdebat dengan orang yang sudah memiliki paradigma. Pikiranmu tentang apa yang benar dan salah sudah tertutup. Kau hanya mau melakukan apa yang kau mau.”
“Kau mengerti?”
“Tentu saja. Aku kurang lebih sama sepertimu. Bedanya, aku melakukan apapun yang aku suka, tapi kau melakukan apapun yang kau mau.”
“Terserah. Tidak ada bedanya. Yang jelas kau mengerti.”
Tristan bercerita panjang lebar tentang propaganda dan konspirasi. Kuzan tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tapi dia bilang, materi tersebut yang membentuk pikirannya sehingga dia memutuskan untuk tidak mempermasalahkan benar dan salah. Dia membentuk sifat otoriter bagi dirinya sendiri dan membentuk diri menjadi seorang yang terkesan tidak memiliki simpati dan empati karena selalu bertindak berdasarkan apa yang dia suka.
“Tapi kenapa kau ikut bergerak di bidang sosial? Membantu orang-orang?”
“Kau pikir aku lebih suka seperti orang-orang itu? Keluar malam minggu untuk tertawa dan bersenang-senang? Aku pernah mencobanya dan aku tidak suka. Seperti inilah yang aku suka.”
“Rela berkorban untuk orang lain.”
“Jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri karena aku menyukainya.”
“Ya, kau suka melihat orang lain bahagia. Pemikiran itu jadi terlihat berbeda kalau dimiliki oleh orang yang suka melihat orang lain bahagia.”
“Apa maksudmu?”
“Bayangkan saja kalau pemikiran sepertimu itu dimiliki oleh orang yang suka membunuh, merampok, atau ‘penjahat kelamin’. Kau bisa jadi psikopat.”
“Pikiranku terbatas. Pak Ustadz yang bilang.”
Kuzan tertawa kecil mendengar kata-kata Tristan yang terakhir. Dia mengambil tasnya dan berkata, “Baiklah kalau begitu. Aku pulang.”
Pandangan Tristan tampak kosong. Dia memandangi piringnya yang kosong, bekas dia makan nasi goreng, di tangannya. Wajahnya berkeringat, meskipun cuaca sedang dingin-dinginnya. Kuzan sudah beberapa langkah pergi dari tempatnya.
 “Tunggu!”, perintahnya. “A.., apakah makananku tidak enak?”
“Ya. Aku pesan nasi goreng yang tidak pedas, tapi kau memberikanku nasi goreng pedas. Aku tidak tahan pedas. Jelas saja tidak enak. Tapi toh, makananmu habis terjual. Mungkin lidahku saja yang sedikit ‘terganggu’.”
“Dari mana kau tahu aku punya restoran?”
“Piring dan sendokmu. Itu bukan barang-barang yang biasa digunakan oleh pedagang nasi goreng keliling. Analisisku, siang kau bekerja di restoran, malam kau jualan nasi goreng. Karena kau bisa menggunakan piring dan sendok restoran sesukamu, jadi aku anggap kau orang yang cukup penting di restoran. Banner di gerobakmu itu terlihat bersih, jadi aku pikir kau tidak terlalu sering jualan nasi goreng. Selain itu, kau cukup pandai menggunakan alat-alat masak aku lihat.
Seperti yang kau bilang, ini caramu mengumpulkan uang. Itu juga yang ku maksud dengan ‘caraku’ saat debat di kampus tadi. Aku tidak peduli apakah orang lain mau memberikan sumbangan atau tidak, selama aku berusaha memberikan sumbangan sebanyak yang aku mampu, itu cukup. Berpikir positif, seberapa banyak sumbangan yang terkumpul, setidaknya itu yang terbaik yang sudah mereka berikan.”
“Kalau kau bisa melakukan apapun yang kau suka…”
“Kalau kau bisa melakukan apapun yang kau mau…”
“K.., kau menyebut pikiran radikalmu itu dengan ……”
Kebebasan…”, ucap Tristan dan Kuzan bersama-sama. Mereka saling bertatapan seperti sepasang kekasih yang kencan di sebuah taman romantis.
“Maaf kalau tadi aku menolak ajakanmu. Tapi, aku akan ikut denganmu ke Yogya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah menemukan alasannya.”
“Aku sudah bilang kalau pemikiran kita sama, kan?”
“Tujuan kita sama dan aku pikir akan lebih mudah mencarinya berdua daripada sendiri.”
“Aku bisa pastikan itu.”
Mereka akhirnya pulang. Kuzan mengantar Tristan sampai ke rumahnya sambil membantunya mendorong gerobak nasi goreng. Rumahnya tidak jauh dari Dago. Benar perkiraannya, Tristan adalah orang kaya, kaya sekali bahkan. Rumahnya besar dan garasinya terisi dengan mobil-mobil mewah. Semakin banyaklah persamaan antara dia dan Tristan.
“Aku pikir dengan menjadi ketua MPM, tidak ada lagi orang yang akan memerintah-merintah aku di kampus. Aku tidak mengerti, kenapa ketua OKM (Organisasi Kegiatan Mahasiswa) bisa seenaknya saja memerintah ketua MPM?”
“Kau pikir aku peduli?”
“Aku tidak peduli kau peduli atau tidak. Aku hanya tidak mengerti dengan sistem seperti ini. Seharusnya aku tidak pernah mencalonkan diri menjadi ketua MPM. Percuma. Tidak ada gunanya.”
“Kau dengar aku!”, tiba-tiba ekspresi Tristan berubah, lebih serius dan.., marah mungkin. “Tidak masalah siapa yang menjadi ketua. Tidak masalah siapa yang memberi perintah. Sebagai pemimpin, kau diberikan kepercayaan oleh mereka yang mempercayaimu untuk memimpin. Apakah bisa dikatakan perintah kalau kau menolak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu? Kau bilang ‘kebebasan’? Maaf saja.., tapi ucapanmu tadi hampir merubah keputusanku untuk ikut bersamamu ke Yogya.”
Dadanya seperti dibalut dengan es batu yang mencair. Panasnya hati menjadi hangat. Seketika dadanya terasa sejuk. Perasaan aneh yang baru kali itu dia rasakan. Dia merasa akhirnya ada yang benar-benar mengerti dengan pemikirannya. Ada yang mendukung pemikirannya. Ada yang membenarkan pemikirannya. Senang sekali rasanya. Tidak tahu bagaimana diungkapkan. Diam adalah cara mengungkapkannya.
                Sekarang dia duduk sendiri di sebuah kursi kayu memanjang seperti yang banyak terdapat di taman-taman kota, di dalam ruangan berukuran 2 x 3 meter. Tembok ruangan itu penuh goresan, segala macam goresan, pisau, pensil, pulpen, bahkan bekas geretan gigi dan kuku. Tidak ada jendela, tidak ada pintu, yang ada hanya pagar besi yang membatasi dirinya dari dunia luar. Dia terkungkung di dalamnya, tidak tahu harus berbuat apa. Ada dua ruangan lain yang sama persis seperti ruangan yang sedang dia diami, di sebelah kiri dan kanan ruangannya. Sayang, kedua ruangan itu sedang ‘tidak berpenghuni’. Ini adalah hari kedua dia bermalam di ruangan tersebut.
“Orang yang akan menjaminmu datang.”, ucap sipir yang menjaga di ruangan tersebut.
                Ini akan menjadi sebuah titik di dalam hidupnya. Sebuah titik terang yang akan menjadi pengalaman berharga baginya dalam menjalani hidup. Pengalaman, yang dia jamin, tidak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun. Titik terang itu justru dia dapatkan dari ayahnya, pria yang selalu mengatur dan menghalangi dirinya untuk mencapai kebebasan. Titik terang itu tidak hanya menjadi pencerahan baginya, tapi juga menjadi batu loncatan untuk memulai tindakan. ‘Tindakan radikal’ bagi paham dan paradigma yang selalu dia pegang teguh.
“Tinggalkan kami berdua.”, ucap pria yang baru datang kepada si sipir. Pria itu bertubuh tinggi dan atletis, persis seperti dirinya, memakai jas formal yang terlihat seperti anggota dewan yang terhormat.
                Si sipir menuruti perintah pria tersebut. Si pria berjas itu lalu berjalan ke arah ruangannya. Dia berdiri menatap Kuzan yang tertunduk di kursinya. Bagi Kuzan, tatapan pria itu adalah tatapan paling menyeramkan, yang paling tidak bisa dia hadapi. Tatapan itu seperti pedang yang siap menghujam siapa saja yang berani membalas tatapannya. Apalagi dalam kondisi ini, bukan pedang lagi namanya, lebih tepat seperti seorang samurai yang sedang menyulut meriam, rela menghunus pedang dan kehilangan harga dirinya sebagai samurai agar siapa saja yang menghalangi jalannya bisa dia ledakan seketika.
“Lihat ayah!”, perintah si pria. Suara itu semakin membuatnya merinding. Tubuhnya bergetar tidak terkendali.
“LIHAT AYAH!”, teriak si pria dengan suara seperti ledakan meriam.
Tidak ada jalan lain, dengan tubuh yang menggigil, dia mengangkat kepalanya. Berat, seperti ada beton baja di atasnya. Namun, dia berusaha memberanikan diri, sekuat tenaga, dengan nyali yang sudah tipis. Sudah tidak bisa dia berkilah, tidak ada tempat untuk menghindar. ‘Meriam’ sudah diledakan. Tidak ada jalan lain selain menghadapi meriam tersebut dengan tubuhnya.
“LIHAT!!!”, gertak si pria. Mata mereka serang saling beradu. “Apa yang sudah kau lakukan?”, si pria sedikit menurunkan volume suaranya. Mungkin dia lupa kalau anaknya juga memiliki tatapan yang sama sepertinya.
“A.., aku…”
“Apa maumu? Selama ini ayah selalu menuruti keinginanmu. Ayah selalu memenuhi apa yang kau butuhkan. Tapi apa? Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi seorang pembangkang? Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi seorang pemberontak? Kau sebut apa ini? Revolusi? Reformasi? Kau tidak mengerti arti dari dua kata itu.
Menghancurkan infrastruksur umum, menghasut, melukai orang lain, kudeta…, astaga……. Lihatlah dirimu sekarang? Ini ganjaran yang kau dapat karena sudah bertindak bodoh. Siapa kau? Kau itu belum jadi siapa-siapa dan bisa-bisanya kau berpikir untuk melakukan kudeta. Inilah yang kau dapat. Jadi SAMPAH…!!!”
Matanya mulai berbinar. Kuzan berusaha menahan sesuatu yang memberontak keluar di matanya. Dia sudah lupa kapan terakhir dia menangis dan dia tidak mau kejadian ini yang akan mengingatkannya.
“Kau selalu bilang kalau kau tidak ingin hidup di dalam penyesalan. Kau bilang kalau kau ingin menjadi orang bebas. Ayah turuti! Tapi apa hasilnya? Ini yang kau bilang bebas? Dipenjara dan menangis karena tidak punya harapan? Itu yang kau mau, hah? BILANG…!!! ITU YANG KAU MAU..???
Kalau memang itu yang kau mau.., oke! Ayah tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapimu. Kalau...”, ayahnya terdiam. Suaranya sedikit tersedak. Air mata mulai jatuh di pipinya. “Kalau saja.., ibumu masih ada… Ayah tidak tahu apa yang harus ayah katakan kepadanya. Dia sangat menyayangimu. Ayah tidak mau dia melihat anaknya jadi seperti ini… Jadi SAMPAH…!!!”
Kuzan sering berdebat dengan ayahnya. Jiwa pemberontak sangat kental di dalam dirinya, bahkan dengan ayahnya pun, dia tidak takut untuk melawan. Sampai akhirnya ayahnya memutuskan untuk pindah ke Amerika dua tahun lalu. Salah satu alasannya mungkin dia sudah tidak mampu menghadapi tingkah laku anaknya. Ini pertama kalinya mereka bertemu dalam dua tahun. Pertemuan yang ‘mengharukan’.
                Sejak kecil, ayahnya selalu mendidik dia dengan keras. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar, pemilik perusahaan besar dan bisnis yang bukan berlevel nasional lagi, tapi global. Awalnya, ayahnya selalu mendorongnya untuk mengikuti jejaknya, menjadi penerus, menjadi seorang pebisnis. Ayahnya menilai dia sebagai orang yang keras kepala, tapi memiliki keinginan yang kuat, itu adalah nilai positif. Namun, pikiran radikal dan sifat pemberontaknya lebih dominan. Sampai-sampai ayahnya pernah mendaftarkannya ke sekolah militer saat lulus SMA. Dia terpaksa lari dari rumah saat itu, tinggal di jalanan selama dua bulan, sebelum akhirnya ibunya memintanya untuk pulang sambil menangis. Kejadian itu juga merupakan kejadian terpenting di dalam hidupnya karena setelah kejadian itu, dia akhirnya menuruti permintaan ayahnya untuk belajar bisnis. Dia pun mengambil kuliah bisnis di salah satu institut ternama di kota Bandung, kampung halaman dan masih menjadi tempat tinggalnya sekarang. Dia berhasil lulus tepat waktu dan mendapat nilai cum laude. Benar-benar sebuah ‘gebrakan’ di dalam hidupnya karena selama kurang dari empat tahun dia terkungkung untuk menjalani semua aturan-aturan yang dilimpahkan kepadanya. Sayang, di tahun kedua dia kuliah, saat dia berusia 20 tahun, ibunya meninggal karena kanker. Beberapa bulan setelah ibunya meninggal, dia terpilih menjadi ketua MPM, salah satu harapan ibunya saat dia akhirnya memutuskan untuk kuliah. Jiwa memberontak kembali tumbuh setelah ibunya meninggal. Saat itu pula, intensitas pertengkaran yang terjadi antara dia dan ayahnya meningkat drastis. Ayahnya tidak pernah satu pikiran dengannya. Ayahnya bertindak dengan semakin banyak membuat sangsi, larangan dan aturan, sehingga dia pun ,secara berkesinambungan, semakin sering membuat pelanggaran dan perlawanan. Beruntung, saat ayahnya pindah ke Amerika, semua larangan dan aturan itu otomatis dihapus. Ayahnya menyerahkan semua keputusan kepadanya, atau lebih tepat dikatakan kalau ayahnya akhirnya ‘angkat tangan’ untuk mengurus dirinya. Mereka tidak pernah berkomunikasi, apalagi bertemu. Semua kebutuhan dan kepentingan diserahkan kepada kepala pembantu di rumah, seorang pria tua yang penurut dan bijaksana. Bagaimanapun, dia tidak pernah menggunakan uang bulanan yang diberikan ayahnya, meskipun ayahnya sebenarnya juga tidak tahu karena yang ayahnya tahu, dia tetap mengambil uang bulanan yang dikirimkan. Uang itu sepenuhnya dia berikan ke panti asuhan, tanpa peduli uang itu digunakan untuk apa oleh pihak panti asuhan. Selama ini dia hidup dengan kemampuan dan usaha yang dia bangun dengan tabungannya sendiri, membuka studio forografi dan terdaftar sebagai pemilik salah satu restaurant ternama di Bandung, meskipun bukan dia sendiri yang memasak, dia tidak tahu apa-apa tentang hal masak-memasak, kemampuan manajemennya yang mampu menjaga usaha restaurantnya tetap berjalan. Bahkan, sekarang dia berencana untuk menjalankan sebuah bisnis studio musik, recording, dan alat musik. Bukan rahasia kalau musik dan fotografi sudah menjadi hobinya sejak kecil. Hobinya itu yang selalu menjadi sarana dan media baginya untuk berkreatifitas menyalurkan ide-ide radikal.
Tanpa direncanakan, ide dan karyanya ternyata banyak disukai sehingga akhirnya dia membentuk sebuah organisasi masyarakat. Organisasi yang dia bangun dengan rencana melakukan kudeta terhadap pemerintah. Organisasi sudah dibentuk, rencana sudah disusun, gerakan pun dilancarkan. Namun, di sinilah akhirnya dia berakhir, di penjara. Ironisnya, orang-orang –yang dia kira satu pemahaman- di organisasi yang dia bentuk dengan susah payah, yang justru menjebloskan dia ke penjara. Dia dijadikan kambing hitam atas kerusuhan yang terjadi di depan gedung sate minggu lalu. Demonstrasi yang dilakukan oleh kurang lebih seratus orang anggota organisasinya, berujung pada kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang luka parah, termasuk seorang pria tua tidak berdosa, yang menurut berita, lumpuh karena ditebas dengan kayu tumpul oleh salah satu anggota organisasinya. Investigasipun dengan cepat dilakukan oleh pihak kepolisian. Namanya menghiasi media massa lokal maupun nasional selama beberapa hari karena dituduh sebagai biang keladi kerusuhan. Tetangga dan teman-teman menghujatnya, bahkan ada yang kelewatan ‘lebay’ dengan mencapnya sebagai teroris. Anggota organisasi yang lain menusuknya dari belakang dengan memberikan informasi kepada kepolisian kalau dia menyebarkan ide-ide revolusi dan kudeta untuk menggulingkan pemerintah kepada setiap anggota organisasi. Organisasipun dibubarkan. Polisi menyita rumah yang sebelumnya dijadikan markas organisasi. Dia, sebagai pemimpin, tidak menyangkal dirinya bertanggung jawab sepenuhnya atas kerusuhan yang terjadi tiga hari yang lalu itu. Dia menyerahkan diri.
“Aku tidak pernah berpikir untuk melakukan revolusi, kudeta, atau apapun itu. Mereka yang ….”
“DIAAAAMMM…!!!”, sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, sekali lagi ayahnya berteriak. “Ayah tidak mau mendengar alasan. Terserah apa alasanmu, tapi inilah yang terjadi. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan berkilah. Mau sampai kapan kau seperti itu?”
“Aku tidak ...”
“Dengar!”, potong ayahnya sekali lagi. “Ayah harus segera kembali ke Amerika malam ini. Mungkin sebelum ayah pulang, ayah ingin mendengar sebuah pernyataan darimu.”
Dia tahu apa yang dimaksud. Dia tahu apa yang diinginkan ayahnya meskipun ayahnya tidak mengatakannya langsung. Baginya, ini seperti pertarungan harga diri. Ayahnya memintanya untuk sementara menyisihkan harga dirinya, kalau dia tidak melakukannya, dia harus ‘menginap’ di balik terali besi untuk lebih lama lagi. Ayahnya tahu, bukan hal mudah baginya menyisihkan harga diri meskipun hanya untuk mengucapkan beberapa patah kata saja. Bagi orang yang ‘gengsian’ dan ‘sok’ seperti dia, tindakan itu sudah seperti tindakan seorang prajurit yang memohon ampun kepada musuhnya karena sudah kalah bertarung.
“Kau tahu? Saat ibumu mengandung, ayah berharap akan memiliki anak perempuan. Ayah takut anak laki-laki kelak dia akan menjadi seperti ayah, memiliki pemikiran seperti ayah. Itulah yang terjadi terhadapmu. Ketika melihatmu, ayah seperti sedang bercermin. Ayah seperti sedang melihat masa lalu ayah. Maafkan ayah kalau ayah selalu keras terhadapmu. Maafkan ayah kalau ayah terlalu banyak mengaturmu. Ayah hanya tidak ingin kau mengalami hal yang sama seperti ayah. Sedih, hancur dan kecewa.
Saat ayah seusiamu, ayah juga sama sepertimu. Ayah suka melakukan apa yang ayah suka. Ayah tidak pernah mau diperintah oleh orang lain. Ayah pikir ayah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Ayah pikir ayah bisa meraih mimpi ayah dengan melakukan semua hal yang ayah suka.
Tapi.., ayah sadar. Semakin kita dewasa, kita semakin mengerti. Kita tidak selalu bisa melakukan semua hal yang kita suka. Tidak semua hal bisa kita gapai. Dunia ini menyimpan banyak hal, terlalu banyak bahkan rasa suka kita saja tidak akan bisa mendeskripsikannya. Kita harus berbagi rasa suka kita bersama orang lain, dengan begitu rasa suka kita bisa menjelaskan apa itu dunia. Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, tapi dunia ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan satu manusia yang serakah.”
Ayahnya berkata sambil duduk dan bersandar di terali besi yang menjadi pembatas antara dia dengan anaknya. Kuzan, di belakangnya, duduk dan bersandar juga. Sekarang terali besi itu benar-benar menjadi satu-satunya penghalang di antara mereka. Mata mereka tertuju ke depan, kosong, ke arah tembok di depan mereka masing-masing, tembok kebebasan dan tembok kurungan.
“A.., aku menyesal. Maafkan aku, ayah. Aku mohon, bebaskan aku!”, ucapnya sambil dibanjiri air mata. Beruntung wajah mereka saling membelakangi, setidaknya ayahnya tidak perlu melihatnya menangis ketika mengucapkannya.
“Ayah ingin kau mengingat ini, kau harus berpikir seperti cangkir yang kosong. Kalau kau terus mengisi cangkir yang penuh dengan air, air itu hanya akan tumpah dan membasahi meja. Kosongkan cangkirmu sehingga kau bisa mengisinya kembali. Sama seperti pikiranmu yang sudah terlalu penuh dengan pertanyaan. Bebaskan! Kosongkan pikiranmu sehingga kau bisa berpikir jernih. Hanya itu yang bisa ayah katakan.”
Kami berdua, untuk beberapa menit, hanya diam.
“Ayah harus pergi.”, sambil membenarkan jasnya, dia berdiri dan memanggil sipir yang sedang menunggu di luar. Sipir itu masuk kembali dan langsung membukakan pintu penjara. Dia pun ‘bebas’.
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Membebaskan aku.”
“Meskipun kau tidak memohon, ayah akan meminta kepala penjara untuk memaksa dan menendangmu keluar.”
“Bukan itu.”
“Lalu?”
“Sekarang aku mengerti.”
Ayahnya meletakan tangan di bahu anaknya, tersenyum kemudian berjalan meninggalkan Kuzan yang tidak bergerak.
“Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berusaha menemukan jawabannya.”, sambil membelakangi, dia bisa mendengar suara langkah kaki ayahnya yang terhenti.
“Ada satu perbedaan antara kau dan aku. Aku tidak pernah berpikir tentang benar dan salah. Aku mungkin tidak pantas berkata seperti ini. Aku ingin memohon satu hal. Aku janji ini akan menjadi permohonan terakhirku.”
“Apa?”
“Apapun yang aku lakukan.., percayalah padaku!”
Dia berhasil membuat ayahnya berhenti. Ayahnya sedikit memalingkan wajah. Dari sudut pandangnya, dia tidak bisa melihat jelas wajah ayahnya, tapi dia yakin, dia melihat sebuah senyum.
“Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli.”
“Aku berjanji… Aku berjanji aku akan menemukan jawabannya.”
Ayahnya berjalan menuju pintu keluar. Tepat sebelum dia keluar, dia berkata, “Aku tahu kau bisa melakukannya.., karena kau anakku. Aku berdoa untukmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar