PIKIRAN RADIKAL
Dunia
selalu berputar. Perubahan akan selalu terjadi karena tidak ada satupun makhluk
ataupun insan yang sama, walaupun dalam hitungan detik. Semua pasti berubah,
namun, yang terpenting adalah apakah perubahan itu membawa kita menjadi lebih
baik atau lebih buruk. Kehidupan yang statis akan membentuk pikiran yang
pragmatis. Lain hal dengan kehidupan yang fluktuatif. Sebuah pikiran kreatif
akan timbul ketika dihadapkan kepada sebuah permasalahan. Masalah apapun itu,
masalah akan memaksa pikiran kita untuk bekerja, untuk membuat perubahan.
Seperti perputaran dunia, kehidupan akan selalu dinamis sehingga setiap
pergerakan harus dijalani dengan perjuangan dan pengorbanan.
Tidak
ada yang lebih mengerti diri kita kecuali diri kita sendiri. Pemikiran itu yang
terkadang memaksa seseorang untuk berpendapat bahwa mereka tahu mana yang
terbaik untuk diri kita sendiri. Itu tidak salah, benar sekali bahkan. Seorang
filsuf Yunani pernah berpendapat, kurang lebih seperti ini, ‘Tidak ada benar
atau salah. Semua adalah benar karena setiap orang bertindak berdasarkan
kebenaran menurut mereka masing-masing’. Jika kita perhatikan kutipan ini,
keadilan menjadi hal yang samar. Positifnya, tidak akan ada hal ambigu yang
meragukan. Jika ada seseorang yang memiliki pemikiran seperti itu, maka
pendapat itu menjadi sangat benar. Tentu saja, karena bagaimana kita bisa
menyalahkan? Orang tersebut akan membenarkan setiap pernyataan kita yang
menyalahkan.
Apakah
keadilan itu? Di mana kita menemukannya? Mempelajarinya? Memahaminya? Apakah hukum
cukup untuk menciptakan keadilan? Hukum siapa? Untuk siapa? Maka keadilan
adalah mematuhi semua peraturan yang berlaku, meskipun kita sendiri tidak tahu
untuk apa peraturan itu ada atau bagaimana peraturan itu ada. Kalau begitu, adil
adalah apa yang atasan kita katakan, bukankah begitu? Kita tidak mungkin
membuat peraturan. Yang membuat peraturan adalah atasan kita. Untuk apa? Untuk
mengatur ‘kita’? Untuk mengatur sistem? Untuk mengatur dirinya sendiri? Kalau
untuk mengatur ‘kita’, lalu di mana keadilan ‘versi kita’? Apakah seorang
‘bawahan’ tidak punya keadilan untuk disuarakan? Apakah seseorang yang memiliki
kuasa lebih juga berarti memiliki pemahaman tentang keadilan yang lebih pula
sehingga mereka berhak menentukan mana yang adil dan mana yang tidak dengan
membuat peraturan? Ini bukan masalah demokrasi atau rasa ingin dihargai. Ini
adalah jalan mencari ‘kebebasan’.
Sebagai
seseorang yang memiliki pikiran luas dan terbuka, pertanyaan tentang
‘kebebasan’ tidak pernah hilang dari pikiran Kuzan. Kapan seseorang bisa merasa
dia ‘bebas’? Atau setidaknya kapan seseorang bisa berpikir ‘bebas’? Demokrasi
mungkin salah satu cara yang tepat.., mungkin. Namun, kalau demokrasi saja
masih belum cukup, metode apa lagi? Pencarian tentang arti dari kata
‘kebebasan’ mungkin tidak bisa lepas dari agama. Sebagai peraturan –diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa- yang absolut dan tidak terbatas, agama akan selalu
menjadi pembatas manusia untuk berpikir dan bertindak ‘bebas’.
Dia
bukan seorang pagan, yang tidak beragama atau sejenisnya. Dia percaya akan
adanya Tuhan. Dia masih bisa berpikir benar kalau agama adalah ‘kebutuhan’
mutlak setiap insan, setiap makhluk, setiap manusia. Tanpa agama, seseorang
tidak akan punya pedoman. Tanpa agama, seseorang tidak akan bisa menentukan
arah. Namun, yang paling penting, tanpa agama, seseorang tidak akan punya
tujuan.
Sebuah
kutipan akhirnya berhasil dia temukan. ‘Apa artinya kebebasan kalau kita masih
memikirkan orang lain? Apa artinya kebebasan kalau kita masih tergantung dengan
orang lain? Apa artinya kebebasan kalau kita tidak bisa menguasai pikiran kita
dari pikiran-pikiran orang lain? Kebebasan adalah milik Tuhan Yang Maha Esa?
DIA adalah Dzat yang menguasai segalanya.’ Kutipan itu setidaknya berhasil
mempertahankan keyakinannya, atau setidaknya menghindari dirinya dari berpikir
filsafat secara tidak terbatas. Jadi, bagaimana memperoleh kebebasan tanpa
–secara tidak mungkin- melampaui Dzat Yang Maha Kuasa tersebut? Kuzan masih
berusaha mencari jawabannya.
Cinta
adalah makna yang banyak ditinggikan oleh mereka. Namun, bagaimana kita bisa
memperoleh kebebasan jika masih ada cinta di dalam hati kita? Cinta akan memaksa kita untuk memikirkan orang lain yang
secara langsung ataupun tidak langsung, memaksa kita untuk berketergantungan
dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, itu benar. Dia pun
menyadari dan sangat memahami hal itu. Dia membutuhkan orang lain untuk
bertahan hidup. Untuk menjadi orang yang bebas, bukan berarti menjadi orang
yang bisa melakukan semuanya sendirian, itu tidak mungkin. Tapi adalah
bagaimana setiap manusia bisa saling bantu-membantu untuk melakukan semua hal
yang mereka mau, tanpa adanya perintah yang terkadang membuat mereka bertindak
secara terpaksa. Jadi, bagaimana? Jawaban sementara yang bisa dia terima
adalah, seorang manusia tidak akan bisa menemukan ‘kebebasan’ kalau dia belum
menemukan ‘cinta’. Berlandaskan cinta, seseorang bisa bertindak seperti apa
yang mereka mau untuk bisa dan membantu membahagiakan orang lain. Dia hanya
belum bisa mengaplikasikan pemahaman tersebut menjadi suatu bentuk dan tindakan
nyata.
Pikiran
radikal ini masih terus berdebat di dalam kepalanya. Di usia yang mulai
menginjak 25 tahun, dia berjuang untuk menemukan
jawaban yang bisa menjawab semua pertanyaan di kepalanya. Perjuangan seperti
apa? Dia sendiri tidak tahu harus menamakan perjuangannya ini dengan sebutan
apa. Yang jelas, dia bertindak seperti apa yang dia mau. Melawan kediktatoran,
melawan peraturan, dan melawan pikiran-pikiran radikal yang tidak sesuai dengan
pikiran radikalnya.
Seorang
sahabat pernah mengklaim bahwa dia sudah bisa menemukan ‘kebebasan’. Sahabat yang dia temui sejak pertama menginjakan kaki di
perguruan tinggi dan satu-satunya yang orang yang bisa memahami cara
berpikirnya. Dia adalah orang yang memiliki jalan pikiran yang sama
sepertinya. Mereka sudah banyak menjalani kehidupan ini bersama-sama, melakukan
apa yang mereka mau bersama-sama. Semua kenangan seperti berpetualang berdua,
mencari uang bersama, berkelahi dengan ‘geng’ lain, bahkan sampai menantang
maut bersama hanya demi mencari kepuasan akan kebebasan bersama sudah sering
mereka lakukan.
Pertemuan
mereka diawali dari sebuah perdebatan organisasi. Mereka adalah anggota
organisasi di kampusnya. Pada saat itu sedang terjadi bencana alam berupa
gunung berapi di Magelang, Yogyakarta. Letusan Gunung Merapi yang cukup besar
dan dikategorikan sebagai bencana alam terdahsyat yang terjadi di Indonesia
pada tahun itu.
“Kita harus segera mengumpulkan bantuan
untuk saudara-saudara kita di Yogya!”, ucap ketua organisasi yang sedang
memimpin rapat saat itu. “Teguh, aku minta kau siapkan logistik dan kendaraan
untuk kita! Rani, sebagai ketua divisi humas, segera informasikan teman-teman
yang lain tentang program ini! Dan Kuzan, sebagai ketua MPM (Majelis
Perhimpunan Mahasiswa atau OSISnya kampus), aku minta kau untuk mengumpulkan
sumbangan dari setiap kelas! Beritahukan kalau setiap mahasiswa wajib
mengumpulkan pakaian dan uang untuk disumbangkan! Aku ingin semua orang di
kampus ini tahu, termasuk dosen, rektor, dan dekan, tentang program ini.”
“Aku tidak bisa!”, ucapku dengan
lantang sehingga berhasil membuat ruangan hening. “Aku tidak mau! Aku lebih
suka bekerja di belakang layar. Aku tidak ingin muncul di depan teman-teman
yang lain, meminta sumbangan, seakan-akan aku pahlawan yang ada dan siap
membantu orang lain.”
“A.., apa maksudmu?”, tanya ketua
organisasi, sekaligus senior, yang mengadakan program bakti sosial itu dengan
kebingungan.
“Sebagai ketua MPM, aku menyetujui
kegiatan organisasi ini karena program dan dedikasi tinggi yang kalian miliki
untuk membantu sesama. Aku juga tidak menolak untuk ikut terjun langsung
membantu terlaksananya program ini. Akang pasti mengerti cara kerjaku, kan? Aku
mau melakukannya dan membantu karena aku senang melakukannya. Tapi kalau untuk
meminta sumbangan ke teman-teman, maaf aku tidak bisa.”
“Kenapa? Sebagai ketua MPM, aku yakin
kita pasti banyak mendapat dukungan dari teman-teman kalau kamu yang terjun
langsung menghadapi mereka.”
“Untuk hal yang satu ini, aku berharap
teman-teman membantu karena memang mereka mau membantu. Bukan karena ketua MPM
yang meminta mereka untuk membantu.”
“A.., aku benar-benar tidak mengerti
maksudmu.”
“Aku ingin bertindak seperti yang aku
mau. Maaf saja, kalau aku harus memikul tanggung jawab yang diberikan
teman-teman karena mempercayakan sumbangan mereka kepada kita, aku tidak bisa.”
“Tidak bisa seperti itu. Kamu itu
ketua MPM.”
“Benar. Makannya biarkan aku bertindak
seperti yang aku mau.”
“Bagaimana mungkin? Sudah seharusnya
kamu memikul tanggung jawab yang diberikan oleh teman-temanmu dan melakukan apa
yang mereka ingin kamu lakukan.”
“Mereka memilihku karena mereka mau.
Aku tidak pernah meminta mereka untuk memilihku. Jadi, aku akan melakukan apa
yang aku mau karena mereka mempercayakanku untuk bertindak seperti itu.”
“Jadi, apa usulmu?”
“Kita tidak perlu mendatangi
kelas-kelas untuk meminta sumbangan. Cukup informasikan kepada mereka tentang
program bakti sosial ini. Bagi mereka yang ingin memberikan sumbangan, mereka
bisa datang dan menitipkannya di sekretariat.”
“Kita tidak punya banyak waktu. Kalau
seperti itu caranya, sumbangan hanya akan terkumpul sedikit. Itu tidak akan
cukup.”
“Kalau begitu hanya segitulah
sumbangan yang mampu kita berikan.”
“Tidak bisa! Kamu tahu? Berapa banyak
kebutuhan para korban yang kehilangan sanak saudara dan harta bendanya?
Lagipula apa ruginya mewajibkan setiap mahasiswa untuk menyumbangkan sebagian
uang dan pakaian mereka untuk korban-korban di Yogya sana. Aku yakin mereka
tidak akan keberatan. Toh, kalau memang mereka tidak mampu, kami mengerti dan
tidak akan memaksa mereka.”
“Tapi mereka melakukannya karena kita
memintanya, bukan karena mereka mau melakukannya.”
“Itulah tugas kita. Organisasi kami
adalah berusaha menjadi tangan dan kaki teman-teman yang ingin memberikan
bantuan.”
“’Ingin memberikan bantuan’… Bukan
diminta memberikan bantuan!”
“Ini bukan meminta. Astaga… Kami hanya
ingin mereka memberikan bantuan. Toh, pahalanya juga untuk mereka, kan, karena
mereka ikut membantu saudara-saudara kita yang sedang kesulitan di Yogya sana?”
“Ya, kau benar. Tapi akang tidak
memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih.”
“Hahahaaa…”, dia pun tertawa, reaksi
yang sudah cukup sering dia lihat ketika dia membahas tentang ‘kebebasan’.
“Kebebasan? ‘Kebebasan’ apa? Jadi, maksudmu kita tidak perlu mengajak
teman-teman kita untuk menyumbang meskipun kita tahu mereka mampu? Kita biarkan
saja mereka melakukan kesalahan?”
“Mereka sudah cukup dewasa untuk
mengerti tentang benar dan salah. Kita tidak perlu ‘memaksa’nya.”
“KAU…!!!”, bentaknya. Kuzan bisa
melihat kalau kesabaran si ketua organisasi sudah habis. Sudah tidak ada
‘alasan’ baginya untuk terus berdebat.
“CUKUP!!! SEBAGAI KETUA MPM,
SEHARUSNYA KAMU MENGAJAK TEMAN-TEMANMU UNTUK BERTINDAK BENAR!!! PEMIMPIN MACAM
APA KAMU!!!”
“Sudahlah, kang. Biarkan dia bekerja
dengan caranya sendiri dan kita bekerja dengan cara kita sendiri.”, ucap
seseorang, memotong perdebatan.
“TIDAK! TIDAK BISA! MAAF SAJA.., AKU
TIDAK MENGERTI KENAPA ORANG SEPERTIMU BISA TERPILIH MENJADI KETUA MPM.”
“Maaf kalau aku mengintervensi, tapi
kita tidak bisa menyalahkan tindakannya.”, lanjut orang tersebut memotong
perdebatan tepat sebelum sang senior, ketua organisasi, akan melompat dan
sepertinya siap untuk menerjang Kuzan.
“TIDAK BISA? JANGAN KONYOL KAU, TAN!
KAMU SETUJU DENGAN PENDAPAT DIA…?”, teriak si ketua organisasi kepada salah
satu anggotanya.
“Kita tidak bisa berdebat dengan orang
yang menilai sesuatu tanpa berorientasi pada benar dan salah…”
Si
anggota yang memotong perdebatan kami terdiam. Dia berpikir sejenak sebelum
melanjutkan kalimatnya. Aku kenal dia. Namanya Tristan. Pada hari pertama saat
ospek dulu, dia adalah teman sekelompokku. Aku tidak terlalu mengenalnya karena
aku hanya masuk ospek pada hari pertama saja. Aku tidak bisa mengikuti kegiatan
yang tidak ber’alasan’ seperti ospek yang diadakan di kampusku itu. Lebih
terlihat seperti ajang balas dendam.
“Aku tidak setuju dengan pendapatnya.
Tapi aku juga tidak setuju dengan pendapatmu.”
“JADI APA PENDAPATMU…???”
“Kalau aku boleh bertindak, untuk
program ini, aku akan mengumpulkan sumbangan dengan caraku sendiri, kalau
memang itu inti masalahnya. Hasil dari sumbangan yang kukumpulkan, akan aku
gabungkan dengan sumbangan yang tim akang kumpulkan. Tapi kalau akang tidak
setuju denganku, kalau begitu maaf.., aku akan melakukannya sendiri.”
“AKU INI KETUA. KALIAN HARUS MENDENGAR
APA YANG AKU KATAKAN!!!”
“Maaf, kang. Aku percaya kepadamu,
tapi untuk hal yang satu ini, tujuan kita berbeda.”
“YA SUDAHLAH… TERSERAH KALIAN! LAKUKAN
APA YANG KALIAN MAU. TAPI PROGRAM INI AKU YANG MEMBUATNYA. JADI, MAAF.., AKU
TIDAK BUTUH KONTRIBUSI KALIAN BERDUA UNTUK PROGRAM INI. KALAU KALIAN TIDAK
KEBERATAN, SILAHKAN KELUAR!”
Mereka berdua pun mengambil tasnya dan
keluar dari ruangan rapat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tepat ketika
Kuzan akan menarik pintu, seseorang menarik lengan tasnya dan ‘BUUKK!”
“JANGAN PERNAH DATANG LAGI! PIKIRAN
RADIKAL SEPERTIMU HANYA AKAN MENCEMARI KEGIATAN SOSIAL YANG KITA LAKUKAN…”
Si ketua organisasi masih memelototkan
matanya ke arah Kuzan. Dia hanya tersenyum lalu bangkit dan mengambil kembali
tasnya yang sedikit robek karena ditarik paksa dengan cukup keras tadi. Tristan
sudah tidak ada di depan pintu. Orang yang tidak punya empati, begitu mungkin
penilaian kilat yang diberikan Kuzan kepada orang yang memotong perdebatannya
tadi.
Tristan
sudah meninggalkannya cukup jauh. Ada sesuatu yang aneh, yang harus dia
perjelas. Maka dari itu, dia harus mencarinya. Sudah hampir setengah jam dia
mencari, tidak ketemu. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya
sehingga dia masih terus mencari Tristan. ‘Sesuatu’ yang dia yakin ada
hubungannya dengan pertanyaan yang selama ini dia cari.
Malam
akhirnya datang. Kampus sudah sepi, hanya menyisakan beberapa mahasiswa yang
sedang berlatih tae kwon dwo. Memar di pipinya mulai berwarna kebiruan. Dia
belum sempat mengobatinya. Pikirannya masih terus memaksanya untuk mencari
Tristan.
Tidak
ada gunanya. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Sudah tidak mungkin
menemukan Tristan, secara dia juga sudah berkeliling kampus untuk mencarinya.
Dia pun berjalan ke arah tempat parkir, masuk ke dalam mobil, dan
mengendarainya pulang. Di pinggiran jalan Dago, pusat keramaian kota Bandung
saat malam, Kuzan berhenti dan memarkirkan mobilnya. Dia kemudian mendatangi
sebuah gerobak nasi goreng yang sepi, belum ada konsumen yang datang membeli.
“Nasi goreng satu, kang! Jangan
pedas.”
“K.., kau? Apa yang kau lakukan di
sini?”
“Kau duluan yang jawab!”
“Seperti yang kau lihat, aku sedang
jualan nasi goreng.”, jawab Tristan.
Kuzan menjelaskan maksudnya. Dia juga
bilang kalau dia sudah mencari Tristan sejak sore tadi. Tidak sengaja, akhirnya
dia menemukannya di pinggir jalan, sedang berjualan nasi goreng. Benar-benar
tidak diduga.
“Aku langsung pulang. Seperti yang kau
lihat, aku harus jualan nasi goreng. Tidak ada waktu untuk berlama-lama di
kampus.”
“Di mana rumahmu?”
“Itu bukan tujuanmu datang ke sini,
bukan?”
Tanpa pikir panjang, Kuzan
menghabiskan makanan yang dia pesan, dibuatkan oleh Tristan sendiri. Mungkin
dia lapar karena hari ini baru makan sekali, tidak butuh 10 menit baginya untuk
menghabiskan semangkuk nasi goreng.
“Jadi, apa yang kau lakukan di sini?
Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Aku sedang berjualan nasi goreng.
Sudah jelas, kan?”
“Kau mengerti pertanyaanku.
Sudahlah.., tidak perlu kau sembunyikan. Aku bukan orang yang senang bercerita.
Anggap saja rahasiamu aman bersamaku.”
“Bagaimana bisa aku beranggapan
seperti itu?!”, ketusnya.
“Kau sudah melihatnya di rapat tadi
sore. Aku yakin kau tahu, kita punya pemikiran yang sama. Jadi, untuk apa kau
sembunyikan?!”
“Baiklah. Aku sedang mengumpulkan
uang.”
“Untuk apa?”
“Ini caraku. Bagaimana denganmu? Aku
dengar kau ingin membantu dengan caramu sendiri?”
“Jadi, benar dugaanku. Kau bukan
benar-benar penjual nasi goreng. Nasi gorengmu tidak enak.”
“Aku tidak butuh pendapatmu.”
“Tentu saja kau butuh. Aku pelangganmu.
Kau harus mengerti. Ikutlah denganku ke Yogya!”
Dia tertawa mendengar ajakan Kuzan.
Itulah kenapa Kuzan mencari-carinya daritadi, dia ingin mengajak Tristan untuk
pergi ke Yogya bersama. Mereka berdua sudah sama-sama dikeluarkan oleh ketua
organisasi dari program ‘bakti sosial’ kampus.
“Ikut bersamamu? Aku tidak punya
‘alasan’ untuk ikut denganmu.”
Tristan tampak pura-pura tidak peduli
dan terus mengulek rempah-rempah yang dia jadikan untuk bumbu nasi gorengnya,
meskipun rempah-rempah itu sudah menjadi halus seperti debu. Cobek terlihat
masih baru. Gerobaknya juga, memang tidak terlihat masih baru, tapi menu dan
spanduk yang terpasang masih bersih, seperti jarang digunakan.
“Jadi, ini yang kau maksud dengan
‘mengumpulkan uang sumbangan dengan caramu sendiri’? Menarik… Aku bisa
menggunakannya.”
“Hahahahahaaa… Jadi, ini bakti sosial
pertamamu?”, dia tertawa mengejek.
“Tidak juga. Hanya saja, tidak pernah
terpikir olehku kalau aku bisa menjual nasi goreng untuk mengumpulkan uang.”
“Apa yang biasa kau lakukan?”
“Bazaar,
yard sale, tapi kalau waktunya mepet
seperti sekarang, terpaksa hasil jualanku yang lain yang ku pakai.”
“Memangnya kau jualan apa?”
“Baju. Outlet, distro dan studio
foto.”
“Orang kaya rupanya.”
“Terserah kau menilainya seperti apa.
Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Atau apa perlu aku berbohong kalau aku juga
punya restoran berbintang?”
Kuzan menunggui dia sampai selesai. Di
luar dugaan, makanannya habis terjual. Meskipun, cukup lama juga dia menunggu
sampai semuanya habis.
“Bekerja di balik layar, hah?... Lucu
sekali… Baru kali ini aku mendengar ada orang yang berkata seperti itu. Kau
pikir kau siapa? Bajak laut?”, ucap Tristan sambil mencuci piring, sendok, dan
garpu kotor dengan air dari keran taman yang ada di dekat tempat jualan.
“Katakan saja aku produser. Tapi nama
perusahaanku tidak ku cantumkan di opening, ending, ataupun di filmnya.”
“Kalau begitu, mau kau cantumkan di
mana?”
“Semauku. Kalau aku mau itu
dicantumkan, maka akan kucantumkan. Kalau tidak, yaa tidak. Siapa yang bisa
menolak? Tanpa seorang produser, film sebagus apapun tidak akan bisa tayang di
bioskop. Tapi apa mereka peduli namaku dicantumkan? Tidak! Bagi mereka, film
mereka bisa ditayangkan saja sudah cukup. Sekalipun dicantumkan, itu hanya
untuk kepentingan promosi saja. Beruntunglah jika namaku tidak punya nilai
promosi sama sekali.”
“Jauh sekali pemikiranmu.”
“Entahlah. Mauku seperti itu. Jadi…,
yaaa.., harus kupikirkan.”
“Sebegitu tidak inginnya kah kau
dianggap sebagai pahlawan?”
“Tidak. Aku tidak mau.”
“Tidak mau? Cukup beralasan.”
“Atau anggap saja aku bukan orang yang
bisa berempati.”
Malam saat itu cukup ramai. Malam
minggu di bilangan jalan Dago memang selalu ramai. Mereka berdua duduk di
pinggir trotoar, menyaksikan anak-anak muda, seumuran mereka, sedang menghisap
shisa, mabuk, tertawa lantang bersama kawannya, dan bahkan ada yang teler,
mungkin sedang nge’fly’. Pedagang
bunga mawar menawarkan bunga ke setiap mobil yang lalu lalang, cukup laris
karena banyak pasangan muda-mudi yang juga ke’luyur’an saat malam minggu ini.
Tatapan mereka hampa melihat pemandangan seperti itu.
“Kenapa tidak kau balas?”, tanya
Tristan sambil memakan sepiring nasi goreng yang sengaja dia sisakan untuk
dirinya sendiri.
“Apa?”
“Kau tidak terlihat seperti orang
lemah yang tidak bisa bela diri. Kau dihajarnya, bukan?”
“Oh.., yaa. Bukan masalah.”
“Bukan masalah?”
“Aku tidak berpikir kalau dia sedang
menghalangi jalanku. Tidak ada ‘alasan’ bagiku untuk meributkan hal sepele.”
“Kau ini benar-benar orang aneh.”
“Menurutmu, apa aku salah?”
“Maksudmu caramu atau pikiranmu?”
“Semuanya.”
“Hmm.., aku bukan orang yang menilai
sesuatu berdasarkan benar atau salah. Aku buta akan benar dan salah. Aku lebih
senang memilih antara suka atau tidak suka.”
“Kau bilang ‘tidak ada gunanya
berdebat dengan orang yang menilai sesuatu tanpa berorientasi dengan benar atau
salah’.”
“Aku bilang ‘tidak bisa’.”
“Terserah. Tidak ada bedanya
lagipula.”
“Tidak ada gunanya berdebat dengan
orang yang sudah memiliki paradigma. Pikiranmu tentang apa yang benar dan salah
sudah tertutup. Kau hanya mau melakukan apa yang kau mau.”
“Kau mengerti?”
“Tentu saja. Aku kurang lebih sama
sepertimu. Bedanya, aku melakukan apapun yang aku suka, tapi kau melakukan
apapun yang kau mau.”
“Terserah. Tidak ada bedanya. Yang
jelas kau mengerti.”
Tristan bercerita panjang lebar tentang
propaganda dan konspirasi. Kuzan tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tapi
dia bilang, materi tersebut yang membentuk pikirannya sehingga dia memutuskan
untuk tidak mempermasalahkan benar dan salah. Dia membentuk sifat otoriter bagi
dirinya sendiri dan membentuk diri menjadi seorang yang terkesan tidak memiliki
simpati dan empati karena selalu bertindak berdasarkan apa yang dia suka.
“Tapi kenapa kau ikut bergerak di
bidang sosial? Membantu orang-orang?”
“Kau pikir aku lebih suka seperti
orang-orang itu? Keluar malam minggu untuk tertawa dan bersenang-senang? Aku
pernah mencobanya dan aku tidak suka. Seperti inilah yang aku suka.”
“Rela berkorban untuk orang lain.”
“Jangan salah sangka. Aku melakukan
ini bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri karena aku menyukainya.”
“Ya, kau suka melihat orang lain
bahagia. Pemikiran itu jadi terlihat berbeda kalau dimiliki oleh orang yang
suka melihat orang lain bahagia.”
“Apa maksudmu?”
“Bayangkan saja kalau pemikiran
sepertimu itu dimiliki oleh orang yang suka membunuh, merampok, atau ‘penjahat
kelamin’. Kau bisa jadi psikopat.”
“Pikiranku terbatas. Pak Ustadz yang
bilang.”
Kuzan tertawa kecil mendengar
kata-kata Tristan yang terakhir. Dia mengambil tasnya dan berkata, “Baiklah
kalau begitu. Aku pulang.”
Pandangan Tristan tampak kosong. Dia
memandangi piringnya yang kosong, bekas dia makan nasi goreng, di tangannya.
Wajahnya berkeringat, meskipun cuaca sedang dingin-dinginnya. Kuzan sudah
beberapa langkah pergi dari tempatnya.
“Tunggu!”, perintahnya. “A.., apakah makananku
tidak enak?”
“Ya. Aku pesan nasi goreng yang tidak
pedas, tapi kau memberikanku nasi goreng pedas. Aku tidak tahan pedas. Jelas
saja tidak enak. Tapi toh, makananmu habis terjual. Mungkin lidahku saja yang
sedikit ‘terganggu’.”
“Dari mana kau tahu aku punya
restoran?”
“Piring dan sendokmu. Itu bukan
barang-barang yang biasa digunakan oleh pedagang nasi goreng keliling.
Analisisku, siang kau bekerja di restoran, malam kau jualan nasi goreng. Karena
kau bisa menggunakan piring dan sendok restoran sesukamu, jadi aku anggap kau
orang yang cukup penting di restoran. Banner di gerobakmu itu terlihat bersih,
jadi aku pikir kau tidak terlalu sering jualan nasi goreng. Selain itu, kau
cukup pandai menggunakan alat-alat masak aku lihat.
Seperti yang kau bilang, ini caramu
mengumpulkan uang. Itu juga yang ku maksud dengan ‘caraku’ saat debat di kampus
tadi. Aku tidak peduli apakah orang lain mau memberikan sumbangan atau tidak,
selama aku berusaha memberikan sumbangan sebanyak yang aku mampu, itu cukup.
Berpikir positif, seberapa banyak sumbangan yang terkumpul, setidaknya itu yang
terbaik yang sudah mereka berikan.”
“Kalau kau bisa melakukan apapun yang
kau suka…”
“Kalau kau bisa melakukan apapun yang
kau mau…”
“K.., kau menyebut pikiran radikalmu
itu dengan ……”
“Kebebasan…”, ucap Tristan dan Kuzan bersama-sama.
Mereka saling bertatapan seperti sepasang kekasih yang kencan di sebuah taman
romantis.
“Maaf kalau tadi aku menolak ajakanmu.
Tapi, aku akan ikut denganmu ke Yogya.”
“Kenapa?”
“Aku sudah menemukan alasannya.”
“Aku sudah bilang kalau pemikiran kita
sama, kan?”
“Tujuan kita sama dan aku
pikir akan lebih mudah mencarinya berdua daripada sendiri.”
“Aku bisa pastikan itu.”
Mereka akhirnya pulang. Kuzan
mengantar Tristan sampai ke rumahnya sambil membantunya mendorong gerobak nasi
goreng. Rumahnya tidak jauh dari Dago. Benar perkiraannya, Tristan adalah orang
kaya, kaya sekali bahkan. Rumahnya besar dan garasinya terisi dengan
mobil-mobil mewah. Semakin banyaklah persamaan antara dia dan Tristan.
“Aku pikir dengan menjadi ketua MPM,
tidak ada lagi orang yang akan memerintah-merintah aku di kampus. Aku tidak
mengerti, kenapa ketua OKM (Organisasi Kegiatan Mahasiswa) bisa seenaknya saja
memerintah ketua MPM?”
“Kau pikir aku peduli?”
“Aku tidak peduli kau peduli atau
tidak. Aku hanya tidak mengerti dengan sistem seperti ini. Seharusnya aku tidak
pernah mencalonkan diri menjadi ketua MPM. Percuma. Tidak ada gunanya.”
“Kau dengar aku!”, tiba-tiba ekspresi
Tristan berubah, lebih serius dan.., marah mungkin. “Tidak masalah siapa yang
menjadi ketua. Tidak masalah siapa yang memberi perintah. Sebagai pemimpin, kau
diberikan kepercayaan oleh mereka yang mempercayaimu untuk memimpin. Apakah
bisa dikatakan perintah kalau kau menolak mengerjakan apa yang diperintahkan
kepadamu? Kau bilang ‘kebebasan’? Maaf saja.., tapi ucapanmu tadi hampir
merubah keputusanku untuk ikut bersamamu ke Yogya.”
Dadanya seperti dibalut dengan es batu
yang mencair. Panasnya hati menjadi hangat. Seketika dadanya terasa sejuk.
Perasaan aneh yang baru kali itu dia rasakan. Dia merasa akhirnya ada yang
benar-benar mengerti dengan pemikirannya. Ada yang mendukung pemikirannya. Ada
yang membenarkan pemikirannya. Senang sekali rasanya. Tidak tahu bagaimana
diungkapkan. Diam adalah cara mengungkapkannya.
Sekarang
dia duduk sendiri di sebuah kursi kayu memanjang seperti yang banyak terdapat
di taman-taman kota, di dalam ruangan berukuran 2 x 3 meter. Tembok ruangan itu
penuh goresan, segala macam goresan, pisau, pensil, pulpen, bahkan bekas
geretan gigi dan kuku. Tidak ada jendela, tidak ada pintu, yang ada hanya pagar
besi yang membatasi dirinya dari dunia luar. Dia terkungkung di dalamnya, tidak
tahu harus berbuat apa. Ada dua ruangan lain yang sama persis seperti ruangan
yang sedang dia diami, di sebelah kiri dan kanan ruangannya. Sayang, kedua
ruangan itu sedang ‘tidak berpenghuni’. Ini adalah hari kedua dia bermalam di
ruangan tersebut.
“Orang yang akan menjaminmu datang.”,
ucap sipir yang menjaga di ruangan tersebut.
Ini
akan menjadi sebuah titik di dalam hidupnya. Sebuah titik terang yang akan
menjadi pengalaman berharga baginya dalam menjalani hidup. Pengalaman, yang dia
jamin, tidak akan pernah dia lupakan sampai kapanpun. Titik terang itu justru
dia dapatkan dari ayahnya, pria yang selalu mengatur dan menghalangi dirinya
untuk mencapai kebebasan. Titik terang itu tidak hanya menjadi pencerahan
baginya, tapi juga menjadi batu loncatan untuk memulai tindakan. ‘Tindakan
radikal’ bagi paham dan paradigma yang selalu dia pegang teguh.
“Tinggalkan kami berdua.”, ucap pria
yang baru datang kepada si sipir. Pria itu bertubuh tinggi dan atletis, persis
seperti dirinya, memakai jas formal yang terlihat seperti anggota dewan yang
terhormat.
Si
sipir menuruti perintah pria tersebut. Si pria berjas itu lalu berjalan ke arah
ruangannya. Dia berdiri menatap Kuzan yang tertunduk di kursinya. Bagi Kuzan,
tatapan pria itu adalah tatapan paling menyeramkan, yang paling tidak bisa dia
hadapi. Tatapan itu seperti pedang yang siap menghujam siapa saja yang berani
membalas tatapannya. Apalagi dalam kondisi ini, bukan pedang lagi namanya,
lebih tepat seperti seorang samurai yang sedang menyulut meriam, rela menghunus
pedang dan kehilangan harga dirinya sebagai samurai agar siapa saja yang
menghalangi jalannya bisa dia ledakan seketika.
“Lihat ayah!”, perintah si pria. Suara
itu semakin membuatnya merinding. Tubuhnya bergetar tidak terkendali.
“LIHAT AYAH!”, teriak si pria dengan
suara seperti ledakan meriam.
Tidak ada jalan lain, dengan tubuh
yang menggigil, dia mengangkat kepalanya. Berat, seperti ada beton baja di atasnya.
Namun, dia berusaha memberanikan diri, sekuat tenaga, dengan nyali yang sudah
tipis. Sudah tidak bisa dia berkilah, tidak ada tempat untuk menghindar.
‘Meriam’ sudah diledakan. Tidak ada jalan lain selain menghadapi meriam
tersebut dengan tubuhnya.
“LIHAT!!!”, gertak si pria. Mata
mereka serang saling beradu. “Apa yang sudah kau lakukan?”, si pria sedikit
menurunkan volume suaranya. Mungkin dia lupa kalau anaknya juga memiliki
tatapan yang sama sepertinya.
“A.., aku…”
“Apa maumu? Selama ini ayah selalu
menuruti keinginanmu. Ayah selalu memenuhi apa yang kau butuhkan. Tapi apa?
Ayah tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi seorang pembangkang? Ayah tidak
pernah mengajarkanmu untuk menjadi seorang pemberontak? Kau sebut apa ini?
Revolusi? Reformasi? Kau tidak mengerti arti dari dua kata itu.
Menghancurkan infrastruksur umum, menghasut,
melukai orang lain, kudeta…, astaga……. Lihatlah dirimu sekarang? Ini ganjaran
yang kau dapat karena sudah bertindak bodoh. Siapa kau? Kau itu belum jadi
siapa-siapa dan bisa-bisanya kau berpikir untuk melakukan kudeta. Inilah yang
kau dapat. Jadi SAMPAH…!!!”
Matanya mulai berbinar. Kuzan berusaha
menahan sesuatu yang memberontak keluar di matanya. Dia sudah lupa kapan
terakhir dia menangis dan dia tidak mau kejadian ini yang akan mengingatkannya.
“Kau selalu bilang kalau kau tidak
ingin hidup di dalam penyesalan. Kau bilang kalau kau ingin menjadi orang
bebas. Ayah turuti! Tapi apa hasilnya? Ini yang kau bilang bebas? Dipenjara dan
menangis karena tidak punya harapan? Itu yang kau mau, hah? BILANG…!!! ITU YANG
KAU MAU..???
Kalau memang itu yang kau mau.., oke!
Ayah tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapimu. Kalau...”, ayahnya terdiam.
Suaranya sedikit tersedak. Air mata mulai jatuh di pipinya. “Kalau saja..,
ibumu masih ada… Ayah tidak tahu apa yang harus ayah katakan kepadanya. Dia
sangat menyayangimu. Ayah tidak mau dia melihat anaknya jadi seperti ini… Jadi
SAMPAH…!!!”
Kuzan sering berdebat dengan ayahnya.
Jiwa pemberontak sangat kental di dalam dirinya, bahkan dengan ayahnya pun, dia
tidak takut untuk melawan. Sampai akhirnya ayahnya memutuskan untuk pindah ke
Amerika dua tahun lalu. Salah satu alasannya mungkin dia sudah tidak mampu
menghadapi tingkah laku anaknya. Ini pertama kalinya mereka bertemu dalam dua
tahun. Pertemuan yang ‘mengharukan’.
Sejak
kecil, ayahnya selalu mendidik dia dengan keras. Ayahnya adalah seorang
pengusaha besar, pemilik perusahaan besar dan bisnis yang bukan berlevel
nasional lagi, tapi global. Awalnya, ayahnya selalu mendorongnya untuk
mengikuti jejaknya, menjadi penerus, menjadi seorang pebisnis. Ayahnya menilai
dia sebagai orang yang keras kepala, tapi memiliki keinginan yang kuat, itu
adalah nilai positif. Namun, pikiran radikal dan sifat pemberontaknya lebih
dominan. Sampai-sampai ayahnya pernah mendaftarkannya ke sekolah militer saat
lulus SMA. Dia terpaksa lari dari rumah saat itu, tinggal di jalanan selama dua
bulan, sebelum akhirnya ibunya memintanya untuk pulang sambil menangis.
Kejadian itu juga merupakan kejadian terpenting di dalam hidupnya karena
setelah kejadian itu, dia akhirnya menuruti permintaan ayahnya untuk belajar
bisnis. Dia pun mengambil kuliah bisnis di salah satu institut ternama di kota
Bandung, kampung halaman dan masih menjadi tempat tinggalnya sekarang. Dia
berhasil lulus tepat waktu dan mendapat nilai cum laude. Benar-benar sebuah ‘gebrakan’ di dalam hidupnya karena
selama kurang dari empat tahun dia terkungkung untuk menjalani semua
aturan-aturan yang dilimpahkan kepadanya. Sayang, di tahun kedua dia kuliah,
saat dia berusia 20 tahun, ibunya meninggal karena kanker. Beberapa bulan
setelah ibunya meninggal, dia terpilih menjadi ketua MPM, salah satu harapan
ibunya saat dia akhirnya memutuskan untuk kuliah. Jiwa memberontak kembali tumbuh
setelah ibunya meninggal. Saat itu pula, intensitas pertengkaran yang terjadi
antara dia dan ayahnya meningkat drastis. Ayahnya tidak pernah satu pikiran
dengannya. Ayahnya bertindak dengan semakin banyak membuat sangsi, larangan dan
aturan, sehingga dia pun ,secara berkesinambungan, semakin sering membuat
pelanggaran dan perlawanan. Beruntung, saat ayahnya pindah ke Amerika, semua
larangan dan aturan itu otomatis dihapus. Ayahnya menyerahkan semua keputusan
kepadanya, atau lebih tepat dikatakan kalau ayahnya akhirnya ‘angkat tangan’
untuk mengurus dirinya. Mereka tidak pernah berkomunikasi, apalagi bertemu.
Semua kebutuhan dan kepentingan diserahkan kepada kepala pembantu di rumah,
seorang pria tua yang penurut dan bijaksana. Bagaimanapun, dia tidak pernah
menggunakan uang bulanan yang diberikan ayahnya, meskipun ayahnya sebenarnya
juga tidak tahu karena yang ayahnya tahu, dia tetap mengambil uang bulanan yang
dikirimkan. Uang itu sepenuhnya dia berikan ke panti asuhan, tanpa peduli uang
itu digunakan untuk apa oleh pihak panti asuhan. Selama ini dia hidup dengan
kemampuan dan usaha yang dia bangun dengan tabungannya sendiri, membuka studio
forografi dan terdaftar sebagai pemilik salah satu restaurant ternama di
Bandung, meskipun bukan dia sendiri yang memasak, dia tidak tahu apa-apa
tentang hal masak-memasak, kemampuan manajemennya yang mampu menjaga usaha
restaurantnya tetap berjalan. Bahkan, sekarang dia berencana untuk menjalankan
sebuah bisnis studio musik, recording, dan alat musik. Bukan rahasia kalau
musik dan fotografi sudah menjadi hobinya sejak kecil. Hobinya itu yang selalu
menjadi sarana dan media baginya untuk berkreatifitas menyalurkan ide-ide
radikal.
Tanpa
direncanakan, ide dan karyanya ternyata banyak disukai sehingga akhirnya dia
membentuk sebuah organisasi masyarakat. Organisasi yang dia bangun dengan
rencana melakukan kudeta terhadap pemerintah. Organisasi sudah dibentuk,
rencana sudah disusun, gerakan pun dilancarkan. Namun, di sinilah akhirnya dia
berakhir, di penjara. Ironisnya, orang-orang –yang dia kira satu pemahaman- di
organisasi yang dia bentuk dengan susah payah, yang justru menjebloskan dia ke
penjara. Dia dijadikan kambing hitam atas kerusuhan yang terjadi di depan
gedung sate minggu lalu. Demonstrasi yang dilakukan oleh kurang lebih seratus
orang anggota organisasinya, berujung pada kerusuhan yang menyebabkan puluhan
orang luka parah, termasuk seorang pria tua tidak
berdosa, yang menurut berita, lumpuh karena ditebas dengan kayu tumpul oleh
salah satu anggota organisasinya. Investigasipun dengan cepat dilakukan oleh
pihak kepolisian. Namanya menghiasi media massa lokal maupun nasional
selama beberapa hari karena dituduh sebagai biang keladi kerusuhan. Tetangga
dan teman-teman menghujatnya, bahkan ada yang kelewatan ‘lebay’ dengan
mencapnya sebagai teroris. Anggota organisasi yang lain menusuknya dari
belakang dengan memberikan informasi kepada kepolisian kalau dia menyebarkan
ide-ide revolusi dan kudeta untuk menggulingkan pemerintah kepada setiap
anggota organisasi. Organisasipun dibubarkan. Polisi menyita rumah yang
sebelumnya dijadikan markas organisasi. Dia, sebagai pemimpin, tidak menyangkal
dirinya bertanggung jawab sepenuhnya atas kerusuhan yang terjadi tiga hari yang
lalu itu. Dia menyerahkan diri.
“Aku tidak pernah berpikir untuk
melakukan revolusi, kudeta, atau apapun itu. Mereka yang ….”
“DIAAAAMMM…!!!”, sebelum dia
menyelesaikan kalimatnya, sekali lagi ayahnya berteriak. “Ayah tidak mau
mendengar alasan. Terserah apa alasanmu, tapi inilah yang terjadi. Kau tidak
bisa merubahnya hanya dengan berkilah. Mau sampai kapan kau seperti itu?”
“Aku tidak ...”
“Dengar!”, potong ayahnya sekali lagi.
“Ayah harus segera kembali ke Amerika malam ini. Mungkin sebelum ayah pulang,
ayah ingin mendengar sebuah pernyataan darimu.”
Dia tahu apa yang dimaksud. Dia tahu
apa yang diinginkan ayahnya meskipun ayahnya tidak mengatakannya langsung.
Baginya, ini seperti pertarungan harga diri. Ayahnya memintanya untuk sementara
menyisihkan harga dirinya, kalau dia tidak melakukannya, dia harus ‘menginap’
di balik terali besi untuk lebih lama lagi. Ayahnya tahu, bukan hal mudah
baginya menyisihkan harga diri meskipun hanya untuk mengucapkan beberapa patah
kata saja. Bagi orang yang ‘gengsian’ dan ‘sok’ seperti dia, tindakan itu sudah
seperti tindakan seorang prajurit yang memohon ampun kepada musuhnya karena
sudah kalah bertarung.
“Kau tahu? Saat ibumu mengandung, ayah
berharap akan memiliki anak perempuan. Ayah takut anak laki-laki kelak dia akan
menjadi seperti ayah, memiliki pemikiran seperti ayah. Itulah yang terjadi
terhadapmu. Ketika melihatmu, ayah seperti sedang bercermin. Ayah seperti
sedang melihat masa lalu ayah. Maafkan ayah kalau ayah selalu keras terhadapmu.
Maafkan ayah kalau ayah terlalu banyak mengaturmu. Ayah hanya tidak ingin kau
mengalami hal yang sama seperti ayah. Sedih, hancur dan kecewa.
Saat ayah seusiamu, ayah juga sama
sepertimu. Ayah suka melakukan apa yang ayah suka. Ayah tidak pernah mau
diperintah oleh orang lain. Ayah pikir ayah tahu mana yang benar dan mana yang
salah. Ayah pikir ayah bisa meraih mimpi ayah dengan melakukan semua hal yang
ayah suka.
Tapi.., ayah sadar. Semakin kita
dewasa, kita semakin mengerti. Kita tidak selalu bisa melakukan semua hal yang
kita suka. Tidak semua hal bisa kita gapai. Dunia ini menyimpan banyak hal,
terlalu banyak bahkan rasa suka kita saja tidak akan bisa mendeskripsikannya.
Kita harus berbagi rasa suka kita bersama orang lain, dengan begitu rasa suka
kita bisa menjelaskan apa itu dunia. Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
seluruh umat manusia, tapi dunia ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan
satu manusia yang serakah.”
Ayahnya berkata sambil duduk dan
bersandar di terali besi yang menjadi pembatas antara dia dengan anaknya.
Kuzan, di belakangnya, duduk dan bersandar juga. Sekarang terali besi itu
benar-benar menjadi satu-satunya penghalang di antara mereka. Mata mereka
tertuju ke depan, kosong, ke arah tembok di depan mereka masing-masing, tembok
kebebasan dan tembok kurungan.
“A.., aku menyesal. Maafkan aku, ayah.
Aku mohon, bebaskan aku!”, ucapnya sambil dibanjiri air mata. Beruntung wajah
mereka saling membelakangi, setidaknya ayahnya tidak perlu melihatnya menangis
ketika mengucapkannya.
“Ayah ingin kau mengingat ini, kau
harus berpikir seperti cangkir yang kosong. Kalau kau terus mengisi cangkir
yang penuh dengan air, air itu hanya akan tumpah dan membasahi meja. Kosongkan
cangkirmu sehingga kau bisa mengisinya kembali. Sama seperti pikiranmu yang
sudah terlalu penuh dengan pertanyaan. Bebaskan! Kosongkan pikiranmu sehingga
kau bisa berpikir jernih. Hanya itu yang bisa ayah katakan.”
Kami berdua, untuk beberapa menit,
hanya diam.
“Ayah harus pergi.”, sambil
membenarkan jasnya, dia berdiri dan memanggil sipir yang sedang menunggu di
luar. Sipir itu masuk kembali dan langsung membukakan pintu penjara. Dia pun
‘bebas’.
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Membebaskan aku.”
“Meskipun kau tidak memohon, ayah akan
meminta kepala penjara untuk memaksa dan menendangmu keluar.”
“Bukan itu.”
“Lalu?”
“Sekarang aku mengerti.”
Ayahnya meletakan tangan di bahu
anaknya, tersenyum kemudian berjalan meninggalkan Kuzan yang tidak bergerak.
“Tapi aku tidak akan menyerah. Aku
akan terus berusaha menemukan jawabannya.”, sambil membelakangi, dia bisa
mendengar suara langkah kaki ayahnya yang terhenti.
“Ada satu perbedaan antara kau dan
aku. Aku tidak pernah berpikir tentang benar dan salah. Aku mungkin tidak
pantas berkata seperti ini. Aku ingin memohon satu hal. Aku janji ini akan
menjadi permohonan terakhirku.”
“Apa?”
“Apapun yang aku lakukan.., percayalah
padaku!”
Dia berhasil membuat ayahnya berhenti.
Ayahnya sedikit memalingkan wajah. Dari sudut pandangnya, dia tidak bisa
melihat jelas wajah ayahnya, tapi dia yakin, dia melihat sebuah senyum.
“Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak
peduli.”
“Aku berjanji… Aku berjanji aku akan
menemukan jawabannya.”
Ayahnya berjalan menuju pintu keluar.
Tepat sebelum dia keluar, dia berkata, “Aku tahu kau bisa melakukannya..,
karena kau anakku. Aku berdoa untukmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar