Minggu, 15 April 2012

Berbincang di Antara Para Pelangi: Chapter 2


AKHIR DAN AWAL

                Pagi buta, dia terbangun oleh luka memar di seluruh tubuhnya. Sejak semalam, dia belum sempat mengobati luka-lukanya itu. Begitu keluar dari penjara, dia tidak langsung pulang. Dia pergi ke rumah Tristan. Seperti biasa, rumah sahabatnya itu kosong. Rumah besar itu terlihat seperti rumah angker tidak berpenghuni dan dijalari banyak tanaman liar. Sudah bertahun-tahun rumahnya terlihat seperti itu. Tidak ada yang mendiami, tidak terurus.
                Setelah sarapan, dia kembali ke kamarnya sambil membawa perban dan antiseptik. Dia tidak pernah belajar medis, lukanya dia obati asal-asalan. Orang lain tidak bisa melihat lukanya, itu saja sudah cukup. Dia benci terlihat lemah apalagi dikasihani.
“Kau sudah mau pergi, Kuzan?”, sapa seorang pria tua, penjaga rumah yang dipercayai ayahnya untuk mengurus rumah.
“Ya. Aku harus mengecek studio, paman. Sudah tiga hari aku tinggalkan.”, balasnya. Dia sudah menganggap penjaga rumahnya itu seperti keluarganya sendiri sehingga dia memanggilnya dengan sebutan ‘paman’.
Pria tua itu tersenyum lalu kembali ke dapur. Pria tua yang bijaksana dan tidak banyak bicara.
                Mobilnya sudah disiapkan oleh si penjaga rumah. Dia pun segera melesat pergi, keluar dari sebuah rumah besar bergaya Eropa yang di halamannya banyak ditumbuhi bunga-bunga mekar, bunga-bunga kesayangan mendiang ibunya. Paman merawatnya dengan sangat baik. Mungkin itu salah satu permintaan ibunya kepada si penjaga rumah sebelum meninggal.
                Sepanjang perjalanan, pikirannya tidak bisa lepas dari ucapan ayahnya kemarin. ‘Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’ adalah kalimat yang terbayang di kepalanya. Bagaimana menafsirkannya? Ayahnya tersenyum ketika mengucapkannya.
                Studionya sepi, tidak ada orang di sana. Dia tidak melihat ada tanda-tanda pekerja yang setiap pagi biasanya sudah stand by di studionya itu. Dia sudah mengerti sebagian banyak kebiasaan para pekerjanya karena proyek ini sudah berjalan tiga bulan. Semakin tidak biasa karena dia melihat makanan sarapan untuk para pekerjanya itu masih utuh. Selain itu, kaleng cat, kardus semen, pasir, sekop dan barang-barang lainnya tertata rapih di luar.
                Pembangunan studionya baru berjalan setengah, tidak ada yang berbeda sejak terakhir dia lihat empat hari yang lalu, tidak ada kemajuan. Studio yang dibangun tiga lantai di atas tanah berukuran 15 x 20 meter, cukup besar, tampak tidak terurus. Tembok seharusnya sudah dicat dan dipasang wallpaper dan pengedap suara, lantai seharusnya sudah dipasangi ubin, toilet dan beberapa ruangan seharusnya sudah selesai, pintu-pintu ruangan seharusnya sudah tiba sejak dia pesan dua yang minggu lalu, semuanya belum selesai, berhenti di tengah jalan. Sepertinya, proyek pembangunan studionya tidak berjalan sedikitpun saat dia masuk penjara.
                Studio itu berlokasi di salah satu tempat keramaian di kota Bandung, tidak jauh dari tempat dia pertama kali berbincang dengan Tristan mengenai rencananya untuk pergi ke Yogya. Seharusnya para pekerja yang dia tugaskan untuk membantunya membangun studio itu sudah tiba jam tujuh tadi. Sekarang sudah jam delapan, bahkan makanan yang dia minta orang restoran untuk mengantar ke studio, yang biasa dijadikan sarapan bagi para pekerjanya itu, tidak tersentuh sama sekali, malah dimakani kucing dan lalat.
                Dia mendatangi sebuah warung di dekat studio yang biasa dijadikan tempat para pekerjanya berkumpul, dia tidak menemukan satupun pekerjanya di sana. Ketika dia bertanya kepada penjaga warung, si penjaga warung menjawab ‘tidak tahu’ dengan wajah ketus. Padahal penjaga warung itu selalu terlihat ramah dan menyenangkan setiap dia datang.
                Seseorang berdiri di depan pintu studio saat dia kembali. Orang itu adalah Pak Hasan, kepala konstruksi dalam proyek pembangunan studionya. Dia pun menghampiri Pak Hasan.
“Di mana pekerja yang lain, Pak?”, tanyanya. “Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang datang?”, tambahnya.
Pak Hasan diam saja. Dia mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Maaf, Kuzan. Kami semua memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini.”, jawab Pak Hasan dengan wajah datar.
“K.., kenapa? Tidak bisa seperti itu.”, ucapnya sambil tidak mempedulikan amplop yang disodorkan Pak Hasan kepadanya.
“Kami semua memutuskan untuk melakukan pekerjaan lain. Bapak datang untuk mengembalikan semua uang yang sudah kamu berikan sekaligus untuk meminta maaf karena kami tidak bisa menyelesaikan kontrak yang sudah kita sepakati sebelumnya.”
Pak Hasan meletakan amplop yang dia bawa di atas meja karena Kuzan tidak menerima pemberiannya. Setelah itu dia pergi.
“Hei.., tunggu! Apa yang terjadi? Apa yang salah dengan pekerjaan ini? Kita sudah sepakat, bukan?”
“Sekali lagi Bapak mohon maaf. Tidak ada yang salah dengan pekerjaan ini dan sebelumnya kami sangat menikmati bekerja dengan kamu, Kuzan. Hanya saja.., kami tidak bisa bekerja untuk seorang pengkhianat.”
“A.., apa maksudmu?”
“Kami tidak ingin terlibat dengan aksi pemberontakan yang kamu lakukan, Kuzan. Kami memang miskin, tapi kami setidaknya mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Dan sayangnya.., di antara kami, tidak ada satupun dari kami yang membenarkan tindakan-tindakan anarkis, apapun alasannya, seperti yang sudah kamu lakukan.
Kami tidak mengambil sepeserpun uang yang kamu berikan. Semua sesuai dengan kontrak. Kamu boleh melanjutkan pekerjaan ini, tapi maaf, kami tidak bisa membantumu. Dan.., siang ini distributor yang akan mengantar pintu pesananmu akan datang. Bapak sudah bilang untuk meletakannya saja di dalam kalau di studio sedang tidak ada orang.”
Kuzan terdiam. Tidak ada yang bisa dia katakan mendengar ucapan Pak Hasan. Saat pertama dia memutuskan untuk membangun studio, tidak ada orang selain Pak Hasan yang ada di pikirannya untuk menangani proyek pembangunan studio ini. Pak Hasan adalah orang kepercayaan keluarganya, orang kepercayaannya juga. Pak Hasanlah yang sudah membantunya membangun studio foto dan restaurant miliknya. Tidak ada orang lain yang bisa dia percaya.
“Kami semua sangat berterima kasih atas kebaikanmu selama ini, Kuzan. Sebelumnya, kami sangat senang bisa bekerja untukmu. Dan kami harap.., kamu segera sadar dan kembali ke jalan yang benar.”

------------------------------

                Mobilnya melaju kencang melewati kemacetan kota Bandung. Dia mengarahkan tujuannya ke restaurant yang terletak di bilangan jalan Martadinata. Setibanya di sana, dia kembali menemukan pemandangan yang sama. Restaurantnya tampak sepi. Dari tempat parkirnya saja dia sudah tahu, tidak ada pengunjung yang datang dan hanya ada beberapa motor dan sepeda milik karyawannya. Pintu restaurantnya masih tertutup rapat meskipun gantungan pintu yang terpajang di sana tertulis ‘OPEN’.
                Di dalam restaurant hanya ada dua orang karyawan yang sedang membersih-bersihkan meja. Dua karyawan itu mengucapkan selamat pagi kepadanya begitu dia masuk ke dalam restaurant. Seperti yang sudah dia perkirakan, kedua karyawan itu menyambut kedatangannya dengan dingin. Segera setelah mereka memberi salam, mereka secara bersamaan beranjak lalu pergi ke belakang restaurant sambil mengumpat membelakanginya. Ini adalah pertama kalinya dia melihat restaurant, yang sudah dia bangun empat tahun lalu, sepi dan tidak ada pengunjung satupun. Selama empat tahun ini, restaurant yang awalnya dibangun secara kecil-kecilan, sudah berkembang pesat dan menjadi salah satu restaurant ternama di kota Bandung. Jarang sekali dia mendengar komplain dari pengunjung. Sekalipun ada kritik, itupun kritikan yang membangun dan positif.
                Dia beranjak ke dapur. Ada seseorang di sana, salah satu orang kepercayaan keluarganya dan orang kepercayaannya juga, yang dia percayai untuk menjadi kepala koki di restaurantnya. Pria itu sedang membersihkan peralatan masaknya, tapi dia tidak mengenakan baju koki yang biasa dia kenakan. Pria itu tidak pernah sekalipun menanggalkan pakaian kokinya saat memasak sejak bekerja di sini, bahkan pria itu sendiri yang mendesain baju koki untuk semua koki yang bekerja di restaurant. Kuzan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pria itu dalam memutuskan hal-hal dasar di dapur. Dia hanya bertugas mengelola pemasaran dan pengambilan keputusan manajemen restaurant. Urusan dapur, sepenuhnya dia percayai kepada Pak Iman, pria yang sebelumnya pernah bekerja sebagai juru masak di rumahnya itu. Aneh rasanya melihat Pak Iman tidak mengenakan ‘seragam’nya di dapur karena biasanya Pak Iman sendiri yang menegur koki lain apabila ada koki yang tidak ‘seragam’. Pak Iman sangat bangga dengan pakaian kokinya.
“Pak Iman…”
“Eeh.., Tuan. S.., selamat pagi.”, balas Pak Iman gugup ketika menyadari kedatangan Kuzan.
Kuzan membalas salam pria itu. Dia lalu mengambil salah satu pakaian koki -yang menumpuk- yang terpajang di dekat pintu masuk dapur. Dia kenakan pakaian yang berupa celemek dan topi chef itu.
“T.., tuan…”
“Bapak selalu marah kepadaku kalau aku masuk dapur tanpa menggunakan pakaian ini.” Dengan wajah sedih, dia mendekati Pak Iman. “Habis masak apa, Pak Iman? Aku tidak melihat ada pengunjung yang datang.”
“I.., ini… Ini masakan untuk pekerja di studio, Tuan. Baru saja Bapak bersihkan.”
“Bapak sendiri yang mengantar ke studio?”
“Iya, Tuan. Karyawan yang biasa mengantar makanan.., belum datang.., Tuan.”
“Tidak akan datang. Benar, kan?”
Kuzan berpegangan ke wastafel, kedua tangannya berusaha menopang tubuhnya yang lemas. Kepalanya tertunduk sehingga beberapa tetes keringat jatuh ke dalam wastafel. Matanya terasa perih, tapi dia tidak bisa menangis.
“Dan sekarang, Bapak juga akan meninggalkan aku?”, ucapnya putus asa.
Pak Iman tidak menjawab. Dia mengambil secarik kertas yang penuh dengan tulisan, yang berada di tumpukan alat-alat masak di salah satu kabinet. Kabinet itu biasanya dikunci dan tidak ada yang memegang kuncinya selain Pak Iman. Pak Iman menyerahkan kertas tersebut kepadanya.
“Kertas apa ini?”
“Itu adalah resep makanan yang Nyonya ajarkan kepada Bapak, Tuan.”, jawab Pak Iman. ‘Nyonya’, begitulah Pak Iman biasa memanggil ibunya yang meninggal lima tahun lalu.
“R.., resep?”
“Bapak tidak bisa menjadi koki seperti sekarang ini kalau bukan karena ibu Tuan. Nyonya yang mengajarkan Bapak memasak. Masakan Nyonya adalah masakan terlezat yang pernah Bapak rasakan. Dan berkat resep ini, restaurant ini selalu mendapat tempat di hati pengunjung. Ibu Tuan adalah orang yang paling Bapak hormati. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi Bapak, kecuali saat Nyonya menganjurkan Bapak untuk membuka sebuah restaurant dan ketika Tuan memutuskan untuk meminta Bapak bekerja di restaurant Tuan. Dengan begitu Bapak bisa mengerjakan pekerjaan yang Bapak suka sekaligus mengabdi kepada keluarga yang sangat Bapak hormati.
Bapak tidak ingin sedikitpun kehilangan rasa hormat Bapak terhadap Nyonya dan keluarga Tuan. Keluarga Tuan sudah banyak membantu Bapak dan keluarga Bapak. Sebelum Nyonya wafat, Nyonya menuliskan semua resep ini untuk Bapak pelajari. Maka dari itu, Bapak berusaha keras untuk mempelajari semua resep yang Nyonya berikan saat Tuan meminta Bapak bekerja sebagai kepala koki di restaurant ini.”
“Lalu apa maksud semua ini?”
“M.., maaf, Tuan… Bapak sudah tidak bisa melanjutkannya lagi, untuk menjadi koki di restaurant ini.”
“Kenapa? Apa Bapak juga menganggapku pengkhianat? Pemberontak? Bapak tidak ingin bekerja untuk orang sepertiku?”, gertak Kuzan. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Tanpa berpikir panjang, kalimat itu keluar dari mulutnya.
Pak Iman tampak ketakutan karena gertakannya. Tampak jelas kebimbangan dan penyesalan yang sangat dalam di wajah Pak Iman. Keputusan ini juga bukan keputusan yang mudah baginya. “B.., bukan itu, Tuan. Bapak sudah bekerja selama belasan tahun untuk keluarga Tuan, untuk Tuan. Bapak sudah sangat mengenal Tuan. Sama seperti Paman Thomas, ketika Bapak putuskan untuk bekerja kepada seseorang, Bapak memberikan kepercayaan Bapak sepenuhnya kepada siapa Bapak bekerja, dalam hal ini keluarga Tuan, kepada Tuan.”
Paman Thomas adalah orang pertama yang mengenalkan Pak Iman kepada keluarganya. Paman Thomas, sebagai kepala pelayan di rumahnya, yang dipercayai ayahnya untuk mengurus segala urusan rumah, adalah orang pertama yang secara langsung meminta Pak Iman untuk bekerja di rumahnya. Sejak saat itu, mereka berdua bersahabat dekat. Saat itu Pak Iman adalah pengangguran dan harus menghidupi istri serta dua orang anaknya yang masih kecil. Namun sekarang, kedua anaknya sudah lulus kuliah dan bekerja. Pak Iman sendiri tinggal bersama istrinya di rumah yang sederhana, berkecukupan.
“Bapak percaya dengan Tuan. Bapak mendukung apapun yang Tuan lakukan, sama seperti Paman Thomas.”
“Terus kenapa? Ooh aku tahu.., kalau uang yang Pak Iman mau, aku bisa …..”, ucapku. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Pak Iman memotong.
“Ini bukan tentang uang, Tuan. Mana mungkin Bapak mengkhianati keluarga yang sudah membantu Bapak menyekolahkan anak Bapak sampai lulus kuliah, yang bertahun-tahun membantu pria miskin yang pengangguran ini hanya karena uang.”, nada suara Pak Iman meninggi. Itu semakin membuat Kuzan kesal. Perbincangan ini semakin bertele-tele baginya.
“Baiklah kalau itu mau Bapak. Terserah. Tinggalkan aku dan lakukan apa yang Bapak mau. Resep ini, aku tidak butuh. Bapak tahu aku tidak bisa memasak dan tidak mungkin ada yang bisa memasaknya selain ibuku dan Bapak.”
Dia kemudian berjalan keluar dengan emosi yang memuncak. Dia lempar pakaian dan baju koki yang dia kenakan ke sembarang tempat. Baju itu jatuh ke tempat sampah yang penuh dengan limbah dapur yang berisi bumbu dan saus bekas memasak.
“Bapak punya seorang teman. Dia adalah teman baik Bapak sejak kecil. Dari dulu sampai sekarang, kami selalu berjuang bersama-sama.”
Kalimat yang diucapkan Pak Iman berhasil membuat Kuzan berhenti tepat sebelum dia meninggalkan dapur. Kuzan berbalik dan kembali mendengarkan.
“Empat hari yang lalu, dia mengendarai sepeda motornya, dia sedang perjalanan pulang setelah mengantar anaknya yang masih SD ke sekolah. Saat dia melewati gedung sate, dia tidak tahu bahwa sedang terjadi kerusuhan di sana, dia terjebak di antara kerusuhan, seseorang menebasnya dengan kayu. Dia terjatuh dari motor dan orang yang menebasnya itu, tanpa meminta maaf, malah kabur dengan mencuri sepeda motornya. Dia baru ditolong dua jam kemudian dan karena kejadian itu, sekarang dia lumpuh. Dokter bilang kalau dia sudah tidak mungkin lagi bisa bekerja karena lumpuhnya memaksa dia untuk terbaring di kasur seumur hidup. Dia adalah tulang punggung keluarga, istrinya sudah meninggal dan anak perempuannya masih sangat kecil.
Bapak langsung mengunjunginya hari itu juga. Bapak masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Pada saat itu, Bapak berjanji kepada teman bapak itu bahwa Bapak akan menemukan orang yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa dia dan Bapak tidak akan memaafkan orang tersebut.
Dan…, keesokan harinya, Bapak tidak percaya dengan apa yang Bapak dengar di berita. Bapak tidak tahu harus berkata apa dan apa yang harus Bapak lakukan. Di berita dikatakan, Tuan adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi empat hari lalu. Berita itu juga mengatakan pernyataan Tuan kalau Tuan tidak menyangkal, Tuan adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi.
B.., Bapak.., Bapak tidak tahu harus bagaimana. Bapak percaya dengan Tuan dan Bapak tidak ingin sedikitpun kehilangan hormat terhadap Tuan.”, isak Pak Iman terbata-bata. Air matanya sekarang mengalir deras. Kuzan hanya bisa meratapi. Dia seperti sedang tersambar petir yang merupakan balasan atas tindakan yang sudah dia lakukan. “Bapak tidak menyalahkan Tuan. Bapak tidak perlu pembenaran karena atas alasan apapun, Bapak tidak akan memaafkan orang yang telah membuat teman Bapak lumpuh.
T.., tapi.., satu hal…, yang B.., Bapak sesalkan……. B.., Bapak tetap.., tetap…, tidak bisa……..”, Pak Iman berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia berusaha mengumpulkan ketegaran untuk melanjutkan kelimatnya.
“B.., bahkan.., di saat seperti ini pun, Bapak tetap tidak bisa menghilangkan hormat dan kepercayaan Bapak terhadap Tuan. Bapak percaya dengan Tuan, maka dari itu…, B.., Bapak…… Bapak tidak bisa memaafkan Tuan.
Kemarin siang Bapak sudah bicara dengan Paman Thomas. Setelah berbicara dengan Paman Thomas, akhirnya Bapak putuskan untuk berhenti dari restaurant. Bapak berhenti bukan karena Bapak membenci Tuan. Bapak tidak bisa memaafkan Tuan atas apa yang telah Tuan lakukan. Bapak tidak bisa terus bekerja dengan menyimpan perasaan ini. Bapak tidak mungkin terus bekerja untuk orang yang telah membuat teman Bapak menderita. Maka dari itu, Bapak harus berhenti. K.., karena.., karena Bapak tidak ingin rasa hormat Bapak terhadap Tuan sedikit demi sedikit hilang apabila Bapak terus bekerja di sini.
Dan resep ini… Ini adalah milik restaurant. Bapak sudah tidak berhak menggunakannya lagi. Saat pertama Nyonya mengajarkan resep ini, kalimat pertama yang Nyonya katakan adalah ‘rasa pada makanan bukan untuk dipelajari, tapi untuk didapatkan’.”
“Setelah ini, apa yang akan Bapak lakukan?”
“Entahlah. Mungkin sudah saatnya Bapak berusaha sendiri. Selama ini Bapak sudah banyak dibantu oleh Tuan, Paman Thomas, Nyonya dan Tuan Elwin. Bapak harap Bapak bisa membalas semua kebaikan Tuan dan mereka.”
“Sepertinya perbincangan Bapak dengan Paman Thomas berjalan baik.”
“Paman Thomas sudah sangat banyak membantu. Beliau banyak memberikan masukan dan nasehat untuk Bapak sehingga Bapak bisa mengambil keputusan.”
“Mungkin sudah saatnya juga bagiku untuk berusaha sendiri. Aku harus mengambil keputusan.”
“Apa yang akan Tuan lakukan?”
Dia sedikit berpikir sebelum menjawab pertanyaan Pak Iman. Perbincangannya bersama Pak Iman saat ini telah membuatnya mengerti arti dari ucapan ayahnya kemarin.
“Yang akan aku lakukan?... Aku sama seperti Bapak. Aku tidak menyalahkan Bapak atas keputusan yang Bapak ambil karena memang apapun alasannya, tidak ada yang perlu dibenarkan. Aku percaya dengan apa yang akan Bapak lakukan. Aku ingin Bapak juga percaya dengan apa yang akan aku lakukan.”
Aku akhirnya meninggalkan Pak Iman. Kami berdua tersenyum. Setidaknya, hanya itu yang bisa kami lakukan.
                Satu per satu apa yang dia miliki pergi dan hilang. Dia kembali masuk ke dalam mobil setelah memberikan ‘sedikit’ pesangon kepada dua karyawan ‘utusan’ yang ada di restaurant. Dua karyawan itu pasti diutus oleh karyawan-karyawan yang lebih senior untuk menagih gaji mereka untuk meminta pesangon. Tidak perlu berdebat, dia juga sepertinya sudah bisa memperkirakan hal itu, tanpa banyak bicara, Kuzan memanggil kedua karyawan itu lalu memberikan uang studio yang dikembalikan oleh Pak Hasan tadi kepada mereka. 50 juta rupiah untuk belasan karyawan sekaligus merupakan jumlah yang terhitung cukup tinggi karena banyak diantara mereka yang belum bekerja selama satu tahun, dan lebih dari setengahnya hanya bekerja sebagai waitress/pelayan, dan mereka berhenti secara sukarela, dan meminta pesangon, dan itu benar-benar gila. Tanpa perlu negosiasi, dia hanya minta kepada dua orang ‘utusan’ itu untuk menyampaikan pesannya kepada karyawan-karyawan yang lain, “Saya minta kalian jangan pernah kembali lagi ke sini!”
                Tujuan selanjutnya adalah studio fotografi miliknya yang terletak di daerah Setiabudi. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Dia akhirnya mengerti apa yang diucapkan ayahnya kemarin. ‘Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’ memiliki arti ‘Ya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Ayah percaya kepadamu’. Ayahnya tersenyum karena tahu anaknya belum menyerah. Dia tersenyum karena tahu anaknya lebih hebat darinya. Ayahnya sering berkata ‘terserah’ atau ‘ayah tidak peduli’, tapi toh nyatanya dia masih mengirim uang untuk anaknya meskipun anaknya tidak minta, dia toh meminta anaknya untuk mengikuti jejaknya karena menganggap itu jalan yang terbaik, dan dia sendiri yang menjamin anaknya agar dibebaskan dari penjara. Ayahnya memberikan ‘kebebasan’ kepada Kuzan dan sebagai ayah, dia berusaha selalu ada untuk memenuhi apa yang anaknya butuhkan.
                Percakapan dengan Pak Iman telah membuka pikirannya. Pria itu benar. ‘Memberikan kepercayaan’ bukan berarti ‘angkat tangan’ dan menyerahkan semuanya kepada orang yang kita percayai. Kita tidak perlu selalu melakukan apa yang diputuskan atau apa yang diperintahkan. Meskipun kita tidak suka, mengorbankan apa yang kita suka dan tetap memberi dukungan, itu mungkin yang dimaksud dengan ‘memberikan kepercayaan’ versi Pak Iman.
                Studio fotografi, seperti yang diperkirakan, tidak berbeda dengan dua tempat sebelumnya, sepi dan tidak ada tanda-tanda yang kondusif. Kali ini lebih parah karena di pintu masuk studio terdapat rantai-gembok dan plakat kayu yang bertuliskan, ‘Tampat ini dilarang beroperasi’.
“Apa-apaan ini?”, ucapnya pelan sambil berusaha membuka gembok yang terkunci diantara lilitan rantai besi.
Dia berjalan ke salah satu warung kaki lima yang berada di sebelah studio. “Selamat siang. Saya mau tanya, kenapa studio fotografi ini dilarang beroperasi? Siapa yang melakukannya?”
Lalu seseorang yang ada di dalam warung itu mengintip dari dalam kios melalui lubang kecil, mirip seperti loket karcis tiket kereta api, “Warga yang memintanya. Mereka bilang tempat itu adalah tempat teroris. Dua hari yang lalu, RT sekitar yang menyegel tempat itu.”
Empat foto hasil karyanya terselip di semak-semak, di tempat parkir studio. Foto itu sepertinya jatuh dari jendela yang terbuka di lantai dua, ruangan tempat dia mencuci foto-fotonya.
“BRENGSEK!!!”

------------------------------

                Sempurna sudah usahanya selama bertahun-tahun. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, semuanya hilang. Isu ‘teroris’ –yang entah datang darimana- berhasil menutup studio fotografinya. Tempat dia berkarya, mengekspresikan ‘kebebasan’, disegel secara sepihak oleh pihak yang menyebarkan isu tersebut. Hasil-hasil karyanya yang banyak menceritakan tentang realitas kehidupan, politik, dan sosial disita. Setidaknya dia tidak perlu memberi pesangon karena memang dia bekerja sendiri untuk usaha studio fotografinya ini.
                Tersisa empat foto. Foto pertama adalah foto seorang wanita, mungkin sebaya dengannya, sedang duduk di halte bus sambil merokok. Rambutnya yang panjang tidak bisa disembunyikan meskipun wanita itu mengenakan topi. Wanita itu memakai jaket kulit dan celana jeans robek-robek di bagian dengkul dan pahanya. Alih-alih seorang wanita, Dia lebih terlihat seperti seorang berandal dan preman. Foto kedua adalah seorang mahasiswi. Wajahnya sangat cantik, pakaiannya modis, anak orang kaya, dan pandai bergaul, di foto itu terlihat dia sedang berkumpul bersama teman-temannya, dia menjadi pusat perhatian teman-teman pria di sekitarnya. Namun, ada ekspresi aneh di wajah gadis itu, entah bagaimana menjelaskannya, tapi hal itu yang menarik Kuzan untuk memfoto gadis itu. Selanjutnya foto ketiga, lagi-lagi seorang wanita, seorang wanita yang sedang mengenakan kostum drama, sepertinya dia sedang berperan sebagai seorang ibu-ibu. Wajahnya murung karena gugup, make-up nya yang ‘sedikit’ memaksa agar terlihat seperti seorang ibu-ibu tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang bersih tanpa keriput, menunggu giliran perannya untuk naik ke atas panggung. Di tangannya tergenggam segepok kertas berisi skenario drama yang dia mainkan. Foto terakhir, wanita juga, adalah foto seorang siswi SMA yang mengenakan seragam sekolah lusuh. Kuzan memotonya saat wanita itu sedang memberikan selembar uang lima ribuan kepada seorang anak kecil yang sedang mengamen. Dia mendekap buku-buku bertemakan soal-soal latihan UAN di dadanya. Dari semua foto yang dia ambil, hanya si gadis SMA yang menunjukan ekspresi tersenyum dan menyenangkan. Semua foto itu dia ambil beberapa hari sebelum ‘kerusuhan’. Tema foto yang sedang dia ambil saat itu adalah inner beauty, permintaan dari salah satu majalah. Dia menjadikan wanita sebagai objek fotonya. Terakhir yang dia ingat, setelah mencuci film dengan chemical wetting agent, dia menggantung hasil foto itu di atas dryer yang ada di salah satu ruangan di lantai dua studionya.
                Kuzan berhenti di salah satu studio foto untuk membeli plastik, untuk menyampul keempat foto yang berhasil dia selamatkan. Beberapa rumah di sebelah studio tempat dia berhenti adalah markas OMK alias Organisasi Masyarakat Kebebasan, organisasi yang dia bangun dan ketuai. Tempat itu hancur berantakan. Sama seperti di studio fotonya, tempat di rantai dan gembok. Parahnya, police line mengitari halaman tempat tersebut.
                Hari sudah berganti malam, dia kembali ke rumah. Paman Thomas sudah menunggunya di pintu.
“Aku pulang.”, ucapnya. Paman Thomas tidak langsung membalasnya. Mukanya keringatan dan tampak bersemangat sekali, seperti orang yang habis main futsal berjam-jam. “A.., ada apa, Paman?”
“B.., berita… Akhirnya ada berita tentang mereka.”
Dia langsung melesat menuju televisi yang ada di ruang keluarga. Siaran TV Al-Jazeera sedang menayangkan sebuah berita tentang sekelompok relawan Indonesia yang tiba di Gaza, Palestina. Mereka adalah kelompok yang diberitakan diculik oleh salah satu kelompok gerakan separatis dalam misi kemanusiaan menuju Palestina. Setelah diberitakan mereka diculik beberapa bulan lalu, akhirnya salah satu TV lokal setempat meliput kedatangan mereka di Gaza, yang berarti mereka berhasil selamat dari penculikan yang diberitakan.
“H.., hebat!”
“Mereka sudah berjuang keras untuk bisa sampai. Tapi cobaan yang sesungguhnya baru akan dimulai.”
“Aku senang, Paman. Aku bangga dengannya. Akhirnya dia berhasil selangkah lebih dekat mencapai apa yang dia cari.”
“Paman yakin dia bisa menemukannya. Setidaknya dia sudah berani mengambil keputusan.”
Salah seorang pembawa berita sedang mewawancarai salah satu anggota kelompok tersebut. Dia menceritakan pengalaman mereka selama disekap oleh kelompok yang menculik mereka. Selama berbulan-bulan mereka diperlakukan seperti seorang tahanan penjara. Sebelum akhirnya markas kelompok tersebut terkena rudal sekutu dan mereka pun menyerah dan membebaskan semua tahanan. Namun, tetap saja, peristiwa ‘melarikan diri’ yang dramatis itu harus dibayar mahal karena kelompok relawan dari Indonesia itu harus kehilangan dua orang anggotanya yang tewas di tangan para penculik.
“Bagaimana denganmu, Kuzan? Apa yang akan kau lakukan setelah semua yang terjadi?”
“Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku sedang berlomba dengan’nya’.”
“Kau sudah bertemu dengan Pak Iman?”
“Ya. Aku mengerti dengan keputusan yang dia ambil. Dia tidak punya banyak pilihan.”
“Tapi kau punya.”
“Semuanya sudah berakhir, Paman. Bertahun-tahun aku membangunnya, semuanya berakhir seperti ini.”
“Apa kamu menyesal?”
Kuzan diam mendengar pertanyaan Paman Thomas. Dia melirik ke keempat foto yang ada di tangannya. “Tidak ada gunanya menyesal. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Kalau memang harus berakhir seperti ini, ya sudahlah.”
“Jangan pernah menyalahkan keadaan. Keadaan tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.”
“Ya, Paman. Ini keputusanku. Saat aku masuk kuliah dan mengikuti semua keinginan ibu, itu adalah keputusanku. Saat aku memulai dan menjalankan bisnis, itu keputusanku. Saat aku membangun organisasi dan melakukan demonstrasi, itu adalah keputusanku. Aku tidak pernah melakukannya karena ibu yang meminta, atau karena ayah yang menyuruh, atau karena anggota organisasi yang mendukung. Aku melakukannya karena aku ingin melakukannya. Aku melakukannya karena itu adalah keputusanku.”
“Itu adalah resikonya.”
“Semua keputusan memiliki resiko. Aku tidak bisa tahu apa itu ‘kebebasan’ kalau aku sendiri tidak bisa memutuskan jalan mana yang harus aku lalui.”
“Apa kau bisa menghadapi semua ini?”
“Lebih baik aku mati daripada menghindar dari resiko yang disebabkan oleh keputusanku sendiri.”
“Paman tidak bisa lebih mengharapkan jawaban selain itu darimu.”
“Aku akan bertahan sebelum menemukan apa yang aku cari selama ini.”
“Jadi, kau akan mengakhiri semua ini?”
“Ya. Aku akan mengakhiri semua ini…, dan memulai kembali semua dari awal.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar