AKHIR DAN AWAL
Pagi
buta, dia terbangun oleh luka memar di seluruh tubuhnya. Sejak semalam, dia
belum sempat mengobati luka-lukanya itu. Begitu keluar dari penjara, dia tidak
langsung pulang. Dia pergi ke rumah Tristan. Seperti biasa, rumah sahabatnya itu
kosong. Rumah besar itu terlihat seperti rumah angker tidak berpenghuni dan
dijalari banyak tanaman liar. Sudah bertahun-tahun rumahnya terlihat seperti
itu. Tidak ada yang mendiami, tidak terurus.
Setelah
sarapan, dia kembali ke kamarnya sambil membawa perban dan antiseptik. Dia
tidak pernah belajar medis, lukanya dia obati asal-asalan. Orang lain tidak
bisa melihat lukanya, itu saja sudah cukup. Dia benci terlihat lemah apalagi
dikasihani.
“Kau sudah mau pergi, Kuzan?”, sapa
seorang pria tua, penjaga rumah yang dipercayai ayahnya untuk mengurus rumah.
“Ya. Aku harus mengecek studio, paman.
Sudah tiga hari aku tinggalkan.”, balasnya. Dia sudah menganggap penjaga
rumahnya itu seperti keluarganya sendiri sehingga dia memanggilnya dengan
sebutan ‘paman’.
Pria tua itu tersenyum lalu kembali ke
dapur. Pria tua yang bijaksana dan tidak banyak bicara.
Mobilnya
sudah disiapkan oleh si penjaga rumah. Dia pun segera melesat pergi, keluar
dari sebuah rumah besar bergaya Eropa yang di halamannya banyak ditumbuhi bunga-bunga
mekar, bunga-bunga kesayangan mendiang ibunya. Paman merawatnya dengan sangat
baik. Mungkin itu salah satu permintaan ibunya kepada si penjaga rumah sebelum
meninggal.
Sepanjang
perjalanan, pikirannya tidak bisa lepas dari ucapan ayahnya kemarin. ‘Terserah.
Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’ adalah kalimat yang terbayang di
kepalanya. Bagaimana menafsirkannya? Ayahnya tersenyum ketika mengucapkannya.
Studionya
sepi, tidak ada orang di sana. Dia tidak melihat ada tanda-tanda pekerja yang
setiap pagi biasanya sudah stand by
di studionya itu. Dia sudah mengerti sebagian banyak kebiasaan para pekerjanya
karena proyek ini sudah berjalan tiga bulan. Semakin tidak biasa karena dia
melihat makanan sarapan untuk para pekerjanya itu masih utuh. Selain itu,
kaleng cat, kardus semen, pasir, sekop dan barang-barang lainnya tertata rapih
di luar.
Pembangunan
studionya baru berjalan setengah, tidak ada yang berbeda sejak terakhir dia
lihat empat hari yang lalu, tidak ada kemajuan. Studio yang dibangun tiga lantai
di atas tanah berukuran 15 x 20 meter, cukup besar, tampak tidak terurus. Tembok
seharusnya sudah dicat dan dipasang wallpaper
dan pengedap suara, lantai seharusnya sudah dipasangi ubin, toilet dan
beberapa ruangan seharusnya sudah selesai, pintu-pintu ruangan seharusnya sudah
tiba sejak dia pesan dua yang minggu lalu, semuanya belum selesai, berhenti di
tengah jalan. Sepertinya, proyek pembangunan studionya tidak berjalan
sedikitpun saat dia masuk penjara.
Studio
itu berlokasi di salah satu tempat keramaian di kota Bandung, tidak jauh dari
tempat dia pertama kali berbincang dengan Tristan mengenai rencananya untuk
pergi ke Yogya. Seharusnya para pekerja yang dia tugaskan untuk membantunya
membangun studio itu sudah tiba jam tujuh tadi. Sekarang sudah jam delapan,
bahkan makanan yang dia minta orang restoran untuk mengantar ke studio, yang
biasa dijadikan sarapan bagi para pekerjanya itu, tidak tersentuh sama sekali,
malah dimakani kucing dan lalat.
Dia
mendatangi sebuah warung di dekat studio yang biasa dijadikan tempat para
pekerjanya berkumpul, dia tidak menemukan satupun pekerjanya di sana. Ketika
dia bertanya kepada penjaga warung, si penjaga warung menjawab ‘tidak tahu’
dengan wajah ketus. Padahal penjaga warung itu selalu terlihat ramah dan menyenangkan
setiap dia datang.
Seseorang
berdiri di depan pintu studio saat dia kembali. Orang itu adalah Pak Hasan,
kepala konstruksi dalam proyek pembangunan studionya. Dia pun menghampiri Pak
Hasan.
“Di mana pekerja yang lain, Pak?”,
tanyanya. “Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang datang?”, tambahnya.
Pak Hasan diam saja. Dia mengambil
sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Maaf, Kuzan. Kami semua memutuskan
untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini.”, jawab Pak Hasan dengan wajah datar.
“K.., kenapa? Tidak bisa seperti
itu.”, ucapnya sambil tidak mempedulikan amplop yang disodorkan Pak Hasan
kepadanya.
“Kami semua memutuskan untuk melakukan
pekerjaan lain. Bapak datang untuk mengembalikan semua uang yang sudah kamu
berikan sekaligus untuk meminta maaf karena kami tidak bisa menyelesaikan
kontrak yang sudah kita sepakati sebelumnya.”
Pak Hasan meletakan amplop yang dia
bawa di atas meja karena Kuzan tidak menerima pemberiannya. Setelah itu dia
pergi.
“Hei.., tunggu! Apa yang terjadi? Apa
yang salah dengan pekerjaan ini? Kita sudah sepakat, bukan?”
“Sekali lagi Bapak mohon maaf. Tidak
ada yang salah dengan pekerjaan ini dan sebelumnya kami sangat menikmati
bekerja dengan kamu, Kuzan. Hanya saja.., kami tidak bisa bekerja untuk seorang
pengkhianat.”
“A.., apa maksudmu?”
“Kami tidak ingin terlibat dengan aksi
pemberontakan yang kamu lakukan, Kuzan. Kami memang miskin, tapi kami
setidaknya mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Dan sayangnya.., di
antara kami, tidak ada satupun dari kami yang membenarkan tindakan-tindakan
anarkis, apapun alasannya, seperti yang sudah kamu lakukan.
Kami tidak mengambil sepeserpun uang
yang kamu berikan. Semua sesuai dengan kontrak. Kamu boleh melanjutkan
pekerjaan ini, tapi maaf, kami tidak bisa membantumu. Dan.., siang ini distributor
yang akan mengantar pintu pesananmu akan datang. Bapak sudah bilang untuk
meletakannya saja di dalam kalau di studio sedang tidak ada orang.”
Kuzan terdiam. Tidak ada yang bisa dia
katakan mendengar ucapan Pak Hasan. Saat pertama dia memutuskan untuk membangun
studio, tidak ada orang selain Pak Hasan yang ada di pikirannya untuk menangani
proyek pembangunan studio ini. Pak Hasan adalah orang kepercayaan keluarganya,
orang kepercayaannya juga. Pak Hasanlah yang sudah membantunya membangun studio
foto dan restaurant miliknya. Tidak ada orang lain yang bisa dia percaya.
“Kami semua sangat berterima kasih
atas kebaikanmu selama ini, Kuzan. Sebelumnya, kami sangat senang bisa bekerja
untukmu. Dan kami harap.., kamu segera sadar dan kembali ke jalan yang benar.”
------------------------------
Mobilnya
melaju kencang melewati kemacetan kota Bandung. Dia mengarahkan tujuannya ke
restaurant yang terletak di bilangan jalan Martadinata. Setibanya di sana, dia
kembali menemukan pemandangan yang sama. Restaurantnya tampak sepi. Dari tempat
parkirnya saja dia sudah tahu, tidak ada pengunjung yang datang dan hanya ada
beberapa motor dan sepeda milik karyawannya. Pintu restaurantnya masih tertutup
rapat meskipun gantungan pintu yang terpajang di sana tertulis ‘OPEN’.
Di
dalam restaurant hanya ada dua orang karyawan yang sedang membersih-bersihkan
meja. Dua karyawan itu mengucapkan selamat pagi kepadanya begitu dia masuk ke
dalam restaurant. Seperti yang sudah dia perkirakan, kedua karyawan itu
menyambut kedatangannya dengan dingin. Segera setelah mereka memberi salam,
mereka secara bersamaan beranjak lalu pergi ke belakang restaurant sambil
mengumpat membelakanginya. Ini adalah pertama kalinya dia melihat restaurant,
yang sudah dia bangun empat tahun lalu, sepi dan tidak ada pengunjung satupun.
Selama empat tahun ini, restaurant yang awalnya dibangun secara kecil-kecilan,
sudah berkembang pesat dan menjadi salah satu restaurant ternama di kota
Bandung. Jarang sekali dia mendengar komplain dari pengunjung. Sekalipun ada
kritik, itupun kritikan yang membangun dan positif.
Dia
beranjak ke dapur. Ada seseorang di sana, salah satu orang kepercayaan
keluarganya dan orang kepercayaannya juga, yang dia percayai untuk menjadi
kepala koki di restaurantnya. Pria itu sedang membersihkan peralatan masaknya,
tapi dia tidak mengenakan baju koki yang biasa dia kenakan. Pria itu tidak
pernah sekalipun menanggalkan pakaian kokinya saat memasak sejak bekerja di
sini, bahkan pria itu sendiri yang mendesain baju koki untuk semua koki yang
bekerja di restaurant. Kuzan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pria itu
dalam memutuskan hal-hal dasar di dapur. Dia hanya bertugas mengelola pemasaran
dan pengambilan keputusan manajemen restaurant. Urusan dapur, sepenuhnya dia
percayai kepada Pak Iman, pria yang sebelumnya pernah bekerja sebagai juru
masak di rumahnya itu. Aneh rasanya melihat Pak Iman tidak mengenakan
‘seragam’nya di dapur karena biasanya Pak Iman sendiri yang menegur koki lain
apabila ada koki yang tidak ‘seragam’. Pak Iman sangat bangga dengan pakaian
kokinya.
“Pak Iman…”
“Eeh.., Tuan. S.., selamat pagi.”,
balas Pak Iman gugup ketika menyadari kedatangan Kuzan.
Kuzan membalas salam pria itu. Dia
lalu mengambil salah satu pakaian koki -yang menumpuk- yang terpajang di dekat
pintu masuk dapur. Dia kenakan pakaian yang berupa celemek dan topi chef itu.
“T.., tuan…”
“Bapak selalu marah kepadaku kalau aku
masuk dapur tanpa menggunakan pakaian ini.” Dengan wajah sedih, dia mendekati
Pak Iman. “Habis masak apa, Pak Iman? Aku tidak melihat ada pengunjung yang
datang.”
“I.., ini… Ini masakan untuk pekerja
di studio, Tuan. Baru saja Bapak bersihkan.”
“Bapak sendiri yang mengantar ke
studio?”
“Iya, Tuan. Karyawan yang biasa
mengantar makanan.., belum datang.., Tuan.”
“Tidak akan datang. Benar, kan?”
Kuzan berpegangan ke wastafel, kedua tangannya berusaha
menopang tubuhnya yang lemas. Kepalanya tertunduk sehingga beberapa tetes
keringat jatuh ke dalam wastafel.
Matanya terasa perih, tapi dia tidak bisa menangis.
“Dan sekarang, Bapak juga akan
meninggalkan aku?”, ucapnya putus asa.
Pak Iman tidak menjawab. Dia mengambil
secarik kertas yang penuh dengan tulisan, yang berada di tumpukan alat-alat
masak di salah satu kabinet. Kabinet itu biasanya dikunci dan tidak ada yang
memegang kuncinya selain Pak Iman. Pak Iman menyerahkan kertas tersebut
kepadanya.
“Kertas apa ini?”
“Itu adalah resep makanan yang Nyonya
ajarkan kepada Bapak, Tuan.”, jawab Pak Iman. ‘Nyonya’, begitulah Pak Iman
biasa memanggil ibunya yang meninggal lima tahun lalu.
“R.., resep?”
“Bapak tidak bisa menjadi koki seperti
sekarang ini kalau bukan karena ibu Tuan. Nyonya yang mengajarkan Bapak
memasak. Masakan Nyonya adalah masakan terlezat yang pernah Bapak rasakan. Dan
berkat resep ini, restaurant ini selalu mendapat tempat di hati pengunjung. Ibu
Tuan adalah orang yang paling Bapak hormati. Tidak ada hal yang lebih
membahagiakan bagi Bapak, kecuali saat Nyonya menganjurkan Bapak untuk membuka
sebuah restaurant dan ketika Tuan memutuskan untuk meminta Bapak bekerja di
restaurant Tuan. Dengan begitu Bapak bisa mengerjakan pekerjaan yang Bapak suka
sekaligus mengabdi kepada keluarga yang sangat Bapak hormati.
Bapak tidak ingin sedikitpun
kehilangan rasa hormat Bapak terhadap Nyonya dan keluarga Tuan. Keluarga Tuan
sudah banyak membantu Bapak dan keluarga Bapak. Sebelum Nyonya wafat, Nyonya
menuliskan semua resep ini untuk Bapak pelajari. Maka dari itu, Bapak berusaha
keras untuk mempelajari semua resep yang Nyonya berikan saat Tuan meminta Bapak
bekerja sebagai kepala koki di restaurant ini.”
“Lalu apa maksud semua ini?”
“M.., maaf, Tuan… Bapak sudah tidak
bisa melanjutkannya lagi, untuk menjadi koki di restaurant ini.”
“Kenapa? Apa Bapak juga menganggapku
pengkhianat? Pemberontak? Bapak tidak ingin bekerja untuk orang sepertiku?”,
gertak Kuzan. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Tanpa berpikir panjang,
kalimat itu keluar dari mulutnya.
Pak Iman tampak ketakutan karena
gertakannya. Tampak jelas kebimbangan dan penyesalan yang sangat dalam di wajah
Pak Iman. Keputusan ini juga bukan keputusan yang mudah baginya. “B.., bukan
itu, Tuan. Bapak sudah bekerja selama belasan tahun untuk keluarga Tuan, untuk
Tuan. Bapak sudah sangat mengenal Tuan. Sama seperti Paman Thomas, ketika Bapak
putuskan untuk bekerja kepada seseorang, Bapak memberikan kepercayaan Bapak
sepenuhnya kepada siapa Bapak bekerja, dalam hal ini keluarga Tuan, kepada
Tuan.”
Paman Thomas adalah orang pertama yang
mengenalkan Pak Iman kepada keluarganya. Paman Thomas, sebagai kepala pelayan
di rumahnya, yang dipercayai ayahnya untuk mengurus segala urusan rumah, adalah
orang pertama yang secara langsung meminta Pak Iman untuk bekerja di rumahnya.
Sejak saat itu, mereka berdua bersahabat dekat. Saat itu Pak Iman adalah
pengangguran dan harus menghidupi istri serta dua orang anaknya yang masih
kecil. Namun sekarang, kedua anaknya sudah lulus kuliah dan bekerja. Pak Iman
sendiri tinggal bersama istrinya di rumah yang sederhana, berkecukupan.
“Bapak percaya dengan Tuan. Bapak
mendukung apapun yang Tuan lakukan, sama seperti Paman Thomas.”
“Terus kenapa? Ooh aku tahu.., kalau
uang yang Pak Iman mau, aku bisa …..”, ucapku. Sebelum aku menyelesaikan
kalimatku, Pak Iman memotong.
“Ini bukan tentang uang, Tuan. Mana
mungkin Bapak mengkhianati keluarga yang sudah membantu Bapak menyekolahkan
anak Bapak sampai lulus kuliah, yang bertahun-tahun membantu pria miskin yang
pengangguran ini hanya karena uang.”, nada suara Pak Iman meninggi. Itu semakin
membuat Kuzan kesal. Perbincangan ini semakin bertele-tele baginya.
“Baiklah kalau itu mau Bapak.
Terserah. Tinggalkan aku dan lakukan apa yang Bapak mau. Resep ini, aku tidak
butuh. Bapak tahu aku tidak bisa memasak dan tidak mungkin ada yang bisa
memasaknya selain ibuku dan Bapak.”
Dia kemudian berjalan keluar dengan
emosi yang memuncak. Dia lempar pakaian dan baju koki yang dia kenakan ke
sembarang tempat. Baju itu jatuh ke tempat sampah yang penuh dengan limbah
dapur yang berisi bumbu dan saus bekas memasak.
“Bapak punya seorang teman. Dia adalah
teman baik Bapak sejak kecil. Dari dulu sampai sekarang, kami selalu berjuang
bersama-sama.”
Kalimat yang diucapkan Pak Iman
berhasil membuat Kuzan berhenti tepat sebelum dia meninggalkan dapur. Kuzan
berbalik dan kembali mendengarkan.
“Empat hari yang lalu, dia mengendarai
sepeda motornya, dia sedang perjalanan pulang setelah mengantar anaknya yang
masih SD ke sekolah. Saat dia melewati gedung sate, dia tidak tahu bahwa sedang
terjadi kerusuhan di sana, dia terjebak di antara kerusuhan, seseorang
menebasnya dengan kayu. Dia terjatuh dari motor dan orang yang menebasnya itu,
tanpa meminta maaf, malah kabur dengan mencuri sepeda motornya. Dia baru
ditolong dua jam kemudian dan karena kejadian itu, sekarang dia lumpuh. Dokter
bilang kalau dia sudah tidak mungkin lagi bisa bekerja karena lumpuhnya memaksa
dia untuk terbaring di kasur seumur hidup. Dia adalah tulang punggung keluarga,
istrinya sudah meninggal dan anak perempuannya masih sangat kecil.
Bapak langsung mengunjunginya hari itu
juga. Bapak masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Pada saat itu, Bapak
berjanji kepada teman bapak itu bahwa Bapak akan menemukan orang yang
bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa dia dan Bapak tidak akan memaafkan
orang tersebut.
Dan…, keesokan harinya, Bapak tidak
percaya dengan apa yang Bapak dengar di berita. Bapak tidak tahu harus berkata
apa dan apa yang harus Bapak lakukan. Di berita dikatakan, Tuan adalah orang
yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi empat hari lalu. Berita
itu juga mengatakan pernyataan Tuan kalau Tuan tidak menyangkal, Tuan adalah
orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi.
B.., Bapak.., Bapak tidak tahu harus
bagaimana. Bapak percaya dengan Tuan dan Bapak tidak ingin sedikitpun kehilangan
hormat terhadap Tuan.”, isak Pak Iman terbata-bata. Air matanya sekarang
mengalir deras. Kuzan hanya bisa meratapi. Dia seperti sedang tersambar petir
yang merupakan balasan atas tindakan yang sudah dia lakukan. “Bapak tidak
menyalahkan Tuan. Bapak tidak perlu pembenaran karena atas alasan apapun, Bapak
tidak akan memaafkan orang yang telah membuat teman Bapak lumpuh.
T.., tapi.., satu hal…, yang B..,
Bapak sesalkan……. B.., Bapak tetap.., tetap…, tidak bisa……..”, Pak Iman
berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia berusaha mengumpulkan ketegaran
untuk melanjutkan kelimatnya.
“B.., bahkan.., di saat seperti ini
pun, Bapak tetap tidak bisa menghilangkan hormat dan kepercayaan Bapak terhadap
Tuan. Bapak percaya dengan Tuan, maka dari itu…, B.., Bapak…… Bapak tidak bisa
memaafkan Tuan.
Kemarin siang Bapak sudah bicara
dengan Paman Thomas. Setelah berbicara dengan Paman Thomas, akhirnya Bapak
putuskan untuk berhenti dari restaurant. Bapak berhenti bukan karena Bapak
membenci Tuan. Bapak tidak bisa memaafkan Tuan atas apa yang telah Tuan
lakukan. Bapak tidak bisa terus bekerja dengan menyimpan perasaan ini. Bapak
tidak mungkin terus bekerja untuk orang yang telah membuat teman Bapak
menderita. Maka dari itu, Bapak harus berhenti. K.., karena.., karena Bapak
tidak ingin rasa hormat Bapak terhadap Tuan sedikit demi sedikit hilang apabila
Bapak terus bekerja di sini.
Dan resep ini… Ini adalah milik
restaurant. Bapak sudah tidak berhak menggunakannya lagi. Saat pertama Nyonya
mengajarkan resep ini, kalimat pertama yang Nyonya katakan adalah ‘rasa pada
makanan bukan untuk dipelajari, tapi untuk didapatkan’.”
“Setelah ini, apa yang akan Bapak
lakukan?”
“Entahlah. Mungkin sudah saatnya Bapak
berusaha sendiri. Selama ini Bapak sudah banyak dibantu oleh Tuan, Paman
Thomas, Nyonya dan Tuan Elwin. Bapak harap Bapak bisa membalas semua kebaikan
Tuan dan mereka.”
“Sepertinya perbincangan Bapak dengan
Paman Thomas berjalan baik.”
“Paman Thomas sudah sangat banyak
membantu. Beliau banyak memberikan masukan dan nasehat untuk Bapak sehingga
Bapak bisa mengambil keputusan.”
“Mungkin sudah saatnya juga bagiku
untuk berusaha sendiri. Aku harus mengambil keputusan.”
“Apa yang akan Tuan lakukan?”
Dia sedikit berpikir sebelum menjawab
pertanyaan Pak Iman. Perbincangannya bersama Pak Iman saat ini telah membuatnya
mengerti arti dari ucapan ayahnya kemarin.
“Yang akan aku lakukan?... Aku sama
seperti Bapak. Aku tidak menyalahkan Bapak atas keputusan yang Bapak ambil
karena memang apapun alasannya, tidak ada yang perlu dibenarkan. Aku percaya
dengan apa yang akan Bapak lakukan. Aku ingin Bapak juga percaya dengan apa
yang akan aku lakukan.”
Aku akhirnya meninggalkan Pak Iman.
Kami berdua tersenyum. Setidaknya, hanya itu yang bisa kami lakukan.
Satu
per satu apa yang dia miliki pergi dan hilang. Dia kembali masuk ke dalam mobil
setelah memberikan ‘sedikit’ pesangon kepada dua karyawan ‘utusan’ yang ada di
restaurant. Dua karyawan itu pasti diutus oleh karyawan-karyawan yang lebih
senior untuk menagih gaji mereka untuk meminta pesangon. Tidak perlu berdebat,
dia juga sepertinya sudah bisa memperkirakan hal itu, tanpa banyak bicara,
Kuzan memanggil kedua karyawan itu lalu memberikan uang studio yang
dikembalikan oleh Pak Hasan tadi kepada mereka. 50 juta rupiah untuk belasan
karyawan sekaligus merupakan jumlah yang terhitung cukup tinggi karena banyak
diantara mereka yang belum bekerja selama satu tahun, dan lebih dari
setengahnya hanya bekerja sebagai waitress/pelayan,
dan mereka berhenti secara sukarela, dan meminta pesangon, dan itu benar-benar
gila. Tanpa perlu negosiasi, dia hanya minta kepada dua orang ‘utusan’ itu
untuk menyampaikan pesannya kepada karyawan-karyawan yang lain, “Saya minta
kalian jangan pernah kembali lagi ke sini!”
Tujuan
selanjutnya adalah studio fotografi miliknya yang terletak di daerah Setiabudi.
Ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Dia akhirnya mengerti apa yang
diucapkan ayahnya kemarin. ‘Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’
memiliki arti ‘Ya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Ayah percaya kepadamu’.
Ayahnya tersenyum karena tahu anaknya belum menyerah. Dia tersenyum karena tahu
anaknya lebih hebat darinya. Ayahnya sering berkata ‘terserah’ atau ‘ayah tidak
peduli’, tapi toh nyatanya dia masih mengirim uang untuk anaknya meskipun
anaknya tidak minta, dia toh meminta anaknya untuk mengikuti jejaknya karena
menganggap itu jalan yang terbaik, dan dia sendiri yang menjamin anaknya agar
dibebaskan dari penjara. Ayahnya memberikan ‘kebebasan’ kepada Kuzan dan
sebagai ayah, dia berusaha selalu ada untuk memenuhi apa yang anaknya butuhkan.
Percakapan
dengan Pak Iman telah membuka pikirannya. Pria itu benar. ‘Memberikan
kepercayaan’ bukan berarti ‘angkat tangan’ dan menyerahkan semuanya kepada
orang yang kita percayai. Kita tidak perlu selalu melakukan apa yang diputuskan
atau apa yang diperintahkan. Meskipun kita tidak suka, mengorbankan apa yang
kita suka dan tetap memberi dukungan, itu mungkin yang dimaksud dengan
‘memberikan kepercayaan’ versi Pak Iman.
Studio
fotografi, seperti yang diperkirakan, tidak berbeda dengan dua tempat
sebelumnya, sepi dan tidak ada tanda-tanda yang kondusif. Kali ini lebih parah
karena di pintu masuk studio terdapat rantai-gembok dan plakat kayu yang
bertuliskan, ‘Tampat ini dilarang beroperasi’.
“Apa-apaan ini?”, ucapnya pelan sambil
berusaha membuka gembok yang terkunci diantara lilitan rantai besi.
Dia berjalan ke salah satu warung kaki
lima yang berada di sebelah studio. “Selamat siang. Saya mau tanya, kenapa
studio fotografi ini dilarang beroperasi? Siapa yang melakukannya?”
Lalu seseorang yang ada di dalam
warung itu mengintip dari dalam kios melalui lubang kecil, mirip seperti loket
karcis tiket kereta api, “Warga yang memintanya. Mereka bilang tempat itu
adalah tempat teroris. Dua hari yang lalu, RT sekitar yang menyegel tempat
itu.”
Empat foto hasil karyanya terselip di
semak-semak, di tempat parkir studio. Foto itu sepertinya jatuh dari jendela
yang terbuka di lantai dua, ruangan tempat dia mencuci foto-fotonya.
“BRENGSEK!!!”
------------------------------
Sempurna
sudah usahanya selama bertahun-tahun. Hanya dalam waktu beberapa hari saja,
semuanya hilang. Isu ‘teroris’ –yang entah datang darimana- berhasil menutup
studio fotografinya. Tempat dia berkarya, mengekspresikan ‘kebebasan’, disegel
secara sepihak oleh pihak yang menyebarkan isu tersebut. Hasil-hasil karyanya
yang banyak menceritakan tentang realitas kehidupan, politik, dan sosial
disita. Setidaknya dia tidak perlu memberi pesangon karena memang dia bekerja
sendiri untuk usaha studio fotografinya ini.
Tersisa
empat foto. Foto pertama adalah foto seorang wanita, mungkin sebaya dengannya,
sedang duduk di halte bus sambil merokok. Rambutnya yang panjang tidak bisa
disembunyikan meskipun wanita itu mengenakan topi. Wanita itu memakai jaket
kulit dan celana jeans robek-robek di bagian dengkul dan pahanya. Alih-alih
seorang wanita, Dia lebih terlihat seperti seorang berandal dan preman. Foto
kedua adalah seorang mahasiswi. Wajahnya sangat cantik, pakaiannya modis, anak
orang kaya, dan pandai bergaul, di foto itu terlihat dia sedang berkumpul
bersama teman-temannya, dia menjadi pusat perhatian teman-teman pria di
sekitarnya. Namun, ada ekspresi aneh di wajah gadis itu, entah bagaimana
menjelaskannya, tapi hal itu yang menarik Kuzan untuk memfoto gadis itu. Selanjutnya
foto ketiga, lagi-lagi seorang wanita, seorang wanita yang sedang mengenakan
kostum drama, sepertinya dia sedang berperan sebagai seorang ibu-ibu. Wajahnya
murung karena gugup, make-up nya yang ‘sedikit’ memaksa agar terlihat seperti
seorang ibu-ibu tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang bersih tanpa keriput,
menunggu giliran perannya untuk naik ke atas panggung. Di tangannya tergenggam
segepok kertas berisi skenario drama yang dia mainkan. Foto terakhir, wanita
juga, adalah foto seorang siswi SMA yang mengenakan seragam sekolah lusuh.
Kuzan memotonya saat wanita itu sedang memberikan selembar uang lima ribuan
kepada seorang anak kecil yang sedang mengamen. Dia mendekap buku-buku
bertemakan soal-soal latihan UAN di dadanya. Dari semua foto yang dia ambil,
hanya si gadis SMA yang menunjukan ekspresi tersenyum dan menyenangkan. Semua
foto itu dia ambil beberapa hari sebelum ‘kerusuhan’. Tema foto yang sedang dia
ambil saat itu adalah inner beauty,
permintaan dari salah satu majalah. Dia menjadikan wanita sebagai objek
fotonya. Terakhir yang dia ingat, setelah mencuci film dengan chemical wetting agent, dia menggantung
hasil foto itu di atas dryer yang ada
di salah satu ruangan di lantai dua studionya.
Kuzan
berhenti di salah satu studio foto untuk membeli plastik, untuk menyampul
keempat foto yang berhasil dia selamatkan. Beberapa rumah di sebelah studio
tempat dia berhenti adalah markas OMK alias Organisasi Masyarakat Kebebasan,
organisasi yang dia bangun dan ketuai. Tempat itu hancur berantakan. Sama seperti
di studio fotonya, tempat di rantai dan gembok. Parahnya, police line mengitari halaman tempat tersebut.
Hari
sudah berganti malam, dia kembali ke rumah. Paman Thomas sudah menunggunya di
pintu.
“Aku pulang.”, ucapnya. Paman Thomas
tidak langsung membalasnya. Mukanya keringatan dan tampak bersemangat sekali,
seperti orang yang habis main futsal berjam-jam. “A.., ada apa, Paman?”
“B.., berita… Akhirnya ada berita
tentang mereka.”
Dia langsung melesat menuju televisi
yang ada di ruang keluarga. Siaran TV Al-Jazeera sedang menayangkan sebuah
berita tentang sekelompok relawan Indonesia yang tiba di Gaza, Palestina. Mereka
adalah kelompok yang diberitakan diculik oleh salah satu kelompok gerakan
separatis dalam misi kemanusiaan menuju Palestina. Setelah diberitakan mereka
diculik beberapa bulan lalu, akhirnya salah satu TV lokal setempat meliput
kedatangan mereka di Gaza, yang berarti mereka berhasil selamat dari penculikan
yang diberitakan.
“H.., hebat!”
“Mereka sudah berjuang keras untuk
bisa sampai. Tapi cobaan yang sesungguhnya baru akan dimulai.”
“Aku senang, Paman. Aku bangga
dengannya. Akhirnya dia berhasil selangkah lebih dekat mencapai apa yang dia
cari.”
“Paman yakin dia bisa menemukannya.
Setidaknya dia sudah berani mengambil keputusan.”
Salah seorang pembawa berita sedang
mewawancarai salah satu anggota kelompok tersebut. Dia menceritakan pengalaman
mereka selama disekap oleh kelompok yang menculik mereka. Selama berbulan-bulan
mereka diperlakukan seperti seorang tahanan penjara. Sebelum akhirnya markas
kelompok tersebut terkena rudal sekutu dan mereka pun menyerah dan membebaskan
semua tahanan. Namun, tetap saja, peristiwa ‘melarikan diri’ yang dramatis itu
harus dibayar mahal karena kelompok relawan dari Indonesia itu harus kehilangan
dua orang anggotanya yang tewas di tangan para penculik.
“Bagaimana denganmu, Kuzan? Apa yang
akan kau lakukan setelah semua yang terjadi?”
“Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku
sedang berlomba dengan’nya’.”
“Kau sudah bertemu dengan Pak Iman?”
“Ya. Aku mengerti dengan keputusan
yang dia ambil. Dia tidak punya banyak pilihan.”
“Tapi kau punya.”
“Semuanya sudah berakhir, Paman.
Bertahun-tahun aku membangunnya, semuanya berakhir seperti ini.”
“Apa kamu menyesal?”
Kuzan diam mendengar pertanyaan Paman
Thomas. Dia melirik ke keempat foto yang ada di tangannya. “Tidak ada gunanya
menyesal. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Kalau memang harus berakhir
seperti ini, ya sudahlah.”
“Jangan pernah menyalahkan keadaan.
Keadaan tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.”
“Ya, Paman. Ini keputusanku. Saat aku
masuk kuliah dan mengikuti semua keinginan ibu, itu adalah keputusanku. Saat
aku memulai dan menjalankan bisnis, itu keputusanku. Saat aku membangun
organisasi dan melakukan demonstrasi, itu adalah keputusanku. Aku tidak pernah
melakukannya karena ibu yang meminta, atau karena ayah yang menyuruh, atau
karena anggota organisasi yang mendukung. Aku melakukannya karena aku ingin
melakukannya. Aku melakukannya karena itu adalah keputusanku.”
“Itu adalah resikonya.”
“Semua keputusan memiliki resiko. Aku
tidak bisa tahu apa itu ‘kebebasan’ kalau aku sendiri tidak bisa memutuskan
jalan mana yang harus aku lalui.”
“Apa kau bisa menghadapi semua ini?”
“Lebih baik aku mati daripada
menghindar dari resiko yang disebabkan oleh keputusanku sendiri.”
“Paman tidak bisa lebih mengharapkan
jawaban selain itu darimu.”
“Aku akan bertahan sebelum menemukan
apa yang aku cari selama ini.”
“Jadi, kau akan mengakhiri semua ini?”
“Ya. Aku akan mengakhiri semua ini…,
dan memulai kembali semua dari awal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar