Minggu, 29 April 2012

Konser Avenged Sevenfold

Besok tanggal 01 Mei 2012, Avenged Sevenfold konser di Jakarta, tepatnya di Ancol.
Udah lama juga nih nungguin mereka main di sini. Berhubung saya fans 'keberatan' mereka, exciting banget nunggu mereka konser di sini.

Yang mau saya bahas di sini adalah 'idola' dan alasan saya kenapa sangat menyukai mereka.

IDOLA...
Teman saya sering berkata, "Ga usah berlebihan gitu lah mengidolakan sesuatu".

Hmm...,
sebenarnya tidak salah juga sih kata-kata teman saya itu. Tapi saya selalu mengelak dengan berkata seperti ini, "To idolize someone means I have someone I'm after and to beat up."
Atau kalau di Indonesia (panjang banget kalau saya harus jelasin pakai percakapan b.ind, jadi saya sok keren aja pakai bahasa Inggris), "Dengan mengidolakan seseorang, saya jadi punya seseorang untuk dijadikan landasan dan patokan. Saya tahu apa yang saya kejar dan saya punya 'lawan' untuk saya kalahkan."

Ibaratnya, dengan memiliki idola, kalau lomba lari marathon, saya jadi punya motivasi untuk menang. Saat lomba, saya melihat orang berlari di depan saya sehingga saya termotivasi untuk mengalahkan orang itu. Tapi kalau tidak ada idola, saya seperti berlari sendirian, tidak tahu saya sedang berlomba dengan siapa, siapa yang saya coba untuk kalahkan, dan saya tidak punya pesaing agar saya bisa berlari lebih cepat lagi. Achievement atau reward yang saya dapat dengan hanya berlomba sendirian seperti tidak ada harganya.

Tapi apa perlu sampai menghabiskan uang ratusan ribu hanya untuk melihat idola saya itu?
Saya pribadi akan jawab perlu. Kalau boleh jujur, saya bukan orang yang 'begitu saja' mengidolakan seseorang. Ketika saya mengidolakan seseorang, maka saya pasti sudah mengamatinya dengan sedemikian rupa. Saat saya mengamati itulah, akhirnya saya memutuskan bahwa idola saya itu memang pantas untuk diidolakan dan memang punya 'sesuatu' untuk diidolakan. Apa 'sesuatunya' itu? Yaa, semua orang pasti punya alasan mereka masing-masing dan saya rasa saya tidak perlu membeberkan alasan saya karena alasan itu tentunya tidak berarti apa-apa untuk orang lain. Kenapa begitu? Yang jelas, ketika saya mengidolakan seseorang, masa lalu pasti terlibat di dalamnya. Karena masa lalu orang pasti berbeda-beda dan saya pikir masa lalu bukanlah sesuatu untuk di'curhat'kan ke orang lain, jadi tidak perlu untuk dituliskan...

Kembali lagi, apa perlu menghabis-habiskan uang?
Berhubung saya orang bisnis, hhehehee..., saya merasa worthed menghabiskan sejumlah uang untuk menyaksikan idola saya itu. Kenapa? Kalau bicaranya uang, nilai yang saya dapat dari uang yang saya pakai untuk menyaksikan mereka itu menjadi impas. Dengan menyaksikan mereka secara langsung, saya semakin termotivasi untuk terus melakukan apa yang jadi tujuan saya dan yang jelas, saya bisa sangat terhibur dengan menyaksikan mereka. Harga tiket saya pikir pantas untuk saya korbankan demi mendapatkan motivasi dan hiburan itu.

Berlebihan?
Saya pikir tidak. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya tidak gampang mengidolakan seseorang. Jadi, ketika saya mengidolakan seseorang, saya bisa melakukan hal yang lebih gila dari sekedar menghabiskan uang. Mungkin, itu definisi 'fans' untuk orang-orang yang mengidolakan sesuatu apapun itu, siapapun itu. Saya tidak bermaksud untuk membuktikan kepada orang lain seberapa ngefansnya saya terhadap mereka, tidak ada gunanya menurut saya. Saya hanya ingin membuktikan kepada diri saya sendiri, inilah cara saya menghibur diri sendiri dan inilah cara saya membuktikan dan memberi pelajaran kepada diri saya sendiri bagaimana seharusnya saya bertindak ketika saya menyukai sesuatu, apapun itu. Pengorbanan pasti dan harus dilakukan...


Kenapa saya suka Avenged Sevenfold?
Hahahahaa... Saya selalu suka ditanya seperti ini.
Pertama, berhubung saya suka sekali musik dan kebetulan saya juga pelaku musik. Saya bukan orang idealis atau monoton dengan mendengar musik dari genre atau kelas-kelasnya saja. Saya suka pop, jazz, blues, opera, broadway, rock, yaa semua jenis musik deh pokoknya. Jadi, bukan karena A7X berada di jalur metal  makannya saya suka dengan mereka.
Saya suka mereka dari kualitas musik karya-karya mereka. Saya bingung bagaimana menjelaskannya kalau hal ini, sifatnya realtif banget soalnya, yang jelas saya senang dengan dinamika dan kemampuan mereka menghasilkan musik.
Synyster Gates, buat saya dia gitaris yang hebat. Mungkin kalau skillnya dibandingin Steve Vai, Joe Satriani, Petrucci, atau solois lainnya memang masih kalah. Tapi, saya punya nilai lebih untuk Synyster dari harmoni nada yang dia hasilkan dan appearancenya. Main gitar kan ga selalu dilihat dari speed atau technic saja. Tapi juga bagaimana menghasilkan nada yang enak untuk didengar (bukan berarti harus easy listening), tapi saya selaku pemain gitar juga (ceilah...), permainan gitar Syn bisa mewakilkan semua itu....
M. Shadows, vokalis yang satu ini udah mah ganteng, badannya gede, vokalnya juga ajiiibbb.
Zacky V., salah satu action yang paling saya suka dari Avenged Sevenfold adalah aksi panggung Zacky V.dan Synyster yang membentuk huruf 'X' kalau mereka berharmoni. Yang satunya kidal, yang satunya normal. Keren banget!
J. Christ, biasa-biasa saja sih dia main bassnya. Tapi, berhubung dia ada di Avenged Sevenfold saya juga jadi ngefans sama dia (alasan konyol.....)
The Rev, sayang banget udah RIP, tapi buat saya dia drummer yang luar biasa.

Secara subjektif saya nilai mereka seperti itu. So the hell if you guys think so or not. *no offense

Minggu, 15 April 2012

Berbincang di Antara Para Pelangi: Chapter 3


TABLE MANNER

                Sepanjang malam, Kuzan tidak henti-hentinya memandangi keempat foto yang dia temukan di studio fotonya. Dia coba mengingat kembali, kenapa dia mengambil foto-foto itu. Kenapa dia memotret mereka? Siapa mereka? Semuanya perempuan dan sejauh yang dia ingat, dia tidak pernah berpikir dalam tentang wanita. Dalam arti kata, dia sendiri lupa kapan dia punya hubungan khusus dengan seorang wanita, sebagai pacar atau setidaknya orang yang dia suka. Sebelumnya dia tidak tertarik untuk membahas apalagi disibukan dengan hal-hal seperti itu. ‘Cinta’ adalah anugerah yang belum pernah dia rasakan. Dia pernah pacaran, tapi hubungan itu hanya berjalan seumur jagung. Dia tidak tahan dengan sifat posesif pacarnya saat itu. Memiliki pacar sudah seperti analogi air dan minyak jika dibandingkan dengan pemahaman dan cara dia berpikir. Parahnya, dia sendiri lupa siapa nama lengkap pacarnya saat itu.
                Foto-foto itu dia ambil saat dia sedang jalan-jalan. Deadline yang diberikan oleh majalah itu adalah minggu depan. Majalah itu meminta sepuluh foto darinya untuk dipublikasikan di majalah edisi bulan Maret. Sekarang masih awal Februari, dia masih punya waktu untuk mencari enam foto lagi. Yaaa.., itu juga kalau si pemilik majalah tidak meng-cancel job yang sudah diberikan kepadanya. Sampai sekarang belum ada kabar dari si pemilik majalah.
                Foto pertama, si cewek preman, dia ambil saat sedang berjalan di Jalan Pajajaran. Cewek itu terlihat gelisah sambil sesekali menutupi wajahnya dengan topi. Dia memperhatikan cewek itu hampir setengah jam sebelum akhirnya dia putuskan untuk mengambil fotonya dari seberang jalan tempat si cewek ‘nongkrong’. Tidak lama setelah difoto, cewek itu pergi dengan naik angkot. Setelah cewek itu pergi, tidak lama kemudian datang sekelompok orang, lima pria berpakaian preman. Gerombolan itu kebingungan dan salah seorang anggotanya melampiaskan kekecewaan dengan menendang tempat sampah umum sampai seluruh isinya berhamburan keluar.
                Foto kedua, si cewek populer, dia ambil saat dia sedang olahraga lari sore di salah satu daerah lingkungan perkuliahan yang banyak dipadati oleh mahasiswa-mahasiswi. Saat dia sedang lari, sekelompok orang menghalangi jalannya sambil tertawa dan berlompat-lompat. Mereka bahkan tidak sadar kalau tindakan mereka itu menyebabkan seorang anak kecil jatuh dan menangis karena tersenggol oleh salah satu dari mereka yang berlompat seperti bugs bunny yang baru saja diberikan wortel saking girangnya. Dia bisa mendengar salah satu dari mereka berteriak ‘Kau berhasil! Kau berhasil!’ terus-menerus. Diantara mereka, cuma ada satu orang yang tidak berlompatan dan berteriak, yaitu cewek yang berada di tengah-tengah mereka, cewek yang dia foto. Cewek itu hanya tersenyum kecil sementara teman-temannya yang lain bersorak untuknya.
                Foto ketiga, si cewek drama, saat itu sedang ada festival di salah satu dorm atau auditorium terkenal di Bandung. Sebagai alumni dan mantan ketua MPM kampus yang menjadi penyelenggara acara, dia diundang oleh panitia acara untuk datang ke acara tersebut. Di rundown acara, ada segmen di mana acara akan diisi dengan sebuah drama musikal selama 45 menit. Dia yang tidak terlalu tertarik dengan pertunjukan-pertunjukan seperti itu akhirnya memutuskan untuk diam-diam pergi ke belakang panggung. Di belakang panggung dia bertemu dengan ‘si cewek drama’. Cewek itu mondar-mandir sambil sesekali membaca naskah yang diberikan kepadanya. Lalu seseorang -terlihat-seperti-sutradara- menyuruhnya untuk bersiap-siap. Cewek itu langsung pergi ke ruang make-up. Dia diam-diam mengikuti cewek itu. Di ruang make-up, penata rias terlalu sibuk mengurus –mungkin-pemeran-utama- sehingga tidak ada yang membantunya berias. Cewek itu akhirnya melakukan semua sendiri. Sementara dia menangani kebutuhannya sendiri, dia masih sempat-sempatnya menuruti perintah dari si –mungkin-pemeran-utama- seperti mengambilkan air mineral atau memakaikan sepatu. Alhasil, ketika si –terlihat-seperti-sutradara- memanggilnya untuk segera ke belakang panggung, dia belum sempat memakaikan eyeliner dan sepatunya dengan baik. Ketika cewek itu dengan terburu-buru keluar dari ruang make-up menuju backstage, si cewek drama menabraknya. Cewek itu minta maaf dan langsung bangkit, berlari sekuat tenaga menuju si –terlihat-seperti-sutradara-. Saat cewek itu menabraknya, sebuah bros jatuh ke arahnya, bros milik si cewek drama. Dia tidak sempat mengembalikan bros itu karena si cewek drama sudah terlanjur naik ke atas panggung. Beruntung, tepat sebelum cewek itu naik ke panggung, dia sempat menngambil sebuah foto. Meskipun sedikit buram karena difoto dari kejauhan, ekspresi gugup dan cemas si cewek drama cukup terlihat jelas. Setelah itu dia pulang sambil membawa bros tersebut. Bros itu sekarang masih tersimpan di dalam dashboard mobilnya.
                Foto keempat, si siswi dermawan, dia ambil saat dia sedang berteduh di sebuah warung. Hujan turun sangat deras saat itu. Saat sedang berteduh, tiba-tiba seorang siswi SMA berlari ke arah warung tempat dia berteduh. Cewek itu basah kuyub, namun demikian, buku yang ada di dekapannya berhasil dia buat tetap kering, meskipun masih sedikit terkena air hujan di beberapa bagian, sepertinya dia berusaha melindungi buku-buku itu dengan tubuhnya. Tubuh dan seragam cewek itu basah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia lalu melepas sepatunya dan mengambil sebuah plastik hitam dari dalam ranselnya. Dia bungkus sepatunya dengan plastik lalu mengikatkan plastik tersebut ke ransel yang sudah penuh dengan buku, yang tidak bisa dia selamatkan, mungkin kalau tangannya cukup untuk mendekap semua buku-buku itu, dia akan melindungi buku-buku itu dengan tubuhnya sebagaimana yang dia lakukan dengan buku-buku yang ada di dekapannya. Kuzan memperhatikan semua tindakan si siswi dermawan. Karena kebetulan dia membawa plastik bening besar yang biasa dia gunakan untuk menyimpan hasil foto-fotonya, dia pun menawarkan plastik tersebut ke si siswi dermawan untuk membungkus buku-bukunya. Si siswi dermawan mengucapkan ‘terima kasih’ sampai belasan kali kepadanya. Si siswi dermawan bilang buku-buku itu sangat penting baginya karena buku-buku itu dia pinjam dari perpustakaan sekolahnya. Hujan masih belum reda tapi siswi itu sudah harus pergi, dia tampak terburu-buru. Sebelum si siswi dermawan pergi, sekali lagi dia mengucapkan ‘terima kasih’. Jarak beberapa meter dari tempatnya berteduh, ada seorang anak kecil yang menggigil kedinginan sambil memeluk gitar ‘ukelele’ yang biasa digunakan oleh pengamen untuk mencari uang. Si siswi dermawan menerobos hujan dan berjalan ke arah anak kecil itu lalu memberikan selembar uang ke anak kecil tersebut. Nalurinya memaksanya untuk mengeluarkan kamera dan mengabadikan moment tersebut.
                Dia menemukan persamaan yang ada di keempat foto itu. Foto-foto itu dia ambil secara tidak sengaja. Kejadian-kejadian yang dia temukan secara tidak sengaja. Berbeda dengan foto-fotonya yang lain karena biasanya ketika dia ingin memoto sesuatu, semuanya sudah terkonsep. Foto-foto itu dia dapat lebih karena ‘kebetulan’ dia sedang membawa kamera. Sekarang dia menamai foto-foto itu dengan sebutan ‘si cewek preman’, ‘si cewek populer’, ‘si cewek drama’, dan ‘si siswi dermawan’.
“Kamu sudah mau pergi? Tidak sarapan dulu?”, tanya Paman Thomas.
“Tidak, Paman. Terima kasih. Aku mau olahraga dulu. Sudah lama aku tidak lari pagi.”
“Langsung ke makam?”
“Ya. Aku pergi dulu, Paman.”
Dia melesat keluar rumah sambil mengendarai mobilnya. Dia hanya tidur sebentar tadi malam. Foto-foto itu sedikit mengganggu pikirannya sehingga menyebabkan dia sulit tidur. Sekarang saja dia keluar sambil membawa foto-foto itu.
                Hari ini adalah hari Jumat. Biasanya setelah salat Jumat, aku pergi ke makam ibu. Itu seperti sudah menjadi jadual rutinku setiap minggu. Saat masih di restaurant, atau di studio, atau di organisasi, aku selalu meluangkan waktu untuk berziarah ke makam ibu dengan membatalkan pertemuan dan mengosongkan jadual di hari Jumat. Sekarang aku tidak perlu lagi repot-repot mengosongkan jadual, setidaknya itu nilai positif dari semua kejadian yang terjadi beberapa hari belakangan.
                Pagi itu seperti biasa, lapangan Sabuga sudah banyak dipenuhi mahasiswa-mahasiswi ITB baik yang sedang olahraga ataupun yang berangkat kuliah. Setidaknya sekali dalam seminggu dia selalu menyempatkan waktu untuk  berolahraga di sana seperti jogging atau skipping. Lapangan Sabuga adalah tempat favoritnya untuk olahraga, sejuk, rindang, dan jauh dari keramaian. Suasana itu berlanjut sebelum datang sebuah mobil mini cooper berwarna merah yang parkir di dekat tempat dia sedang skipping. Si pemilik mobil pun turun dan seketika suasana menjadi riuh oleh sekelompok orang. Orang-orang langsung mengelilingi si pemilik mobil yang baru turun, yang ternyata adalah si cewek popular.
‘Bagaimana? Apa kau berhasil mendapat sponsor untuk acara kita nanti?’, ‘Berapa banyak yang kau dapat kali ini?’, ‘Siapa saja artis yang berhasil kau undang?’, ‘Apa konsep kita untuk acara kali ini? Pasti lebih meriah dari sebelumnya dong!’ Si cewek populer diberondong dengan belasan atau mungkin puluhan pertanyaan dari orang-orang yang mengerumuninya. Cewek itu sudah seperti artis hollywood yang sedang dikerubungi oleh paparazzi. Luar biasanya, cewek itu bisa tetap tersenyum tanpa menunjukan rasa kesal, atau mungkin malah cenderung menikmati keadaan itu. Cewek itu berbakat untuk jadi artis papan atas. Selain karena parasnya yang cantik, dia tahu caranya menghadapi orang banyak.
“Nanti saja aku jelaskan di rapat.”, jawabnya berkali-kali. Berkali-kali dia menjawab, berkali-kali pula dia diserang dengan pertanyaan yang sama.
Tiba-tiba seorang laki-laki datang dan menyusup di balik keramaian. Tubuhnya yang besar menghancurkan formasi orang-orang yang sedang berkerumun.
“Terima kasih atas perhatian teman-teman. Tapi kami akan menjelaskan semuanya di ruang rapat. Kalau teman-teman mau tahu, silahkan teman-teman datang ke ruang rapat.”, ucap si pria penyusup sambil melindungi si cewek populer dari orang-orang yang berkerumun. Entah bagaimana dari sudut pandang orang lain, tapi dari sudut pandang Kuzan, pria itu lebih terlihat seperti ‘pahlawan kesiangan’.
Sambil berusaha mengusir kerumunan, pria itu berjalan mendekat ke arahnya. “Ayo ikut aku! Kamu aman bersamaku.”, ucap si ‘pahlawan kesiangan’.
“Tidak apa-apa. Aku harus bertemu temanku di kantin.”, balas si cewek populer. Semakin si cewek populer menolak, semakin si pahlawan kesiangan memaksa. Si pahlawan kesiangan menarik tangan si cewek populer dengan paksa, menjauh dari keramaian.
Mereka berdua semakin mendekat ke arahnya. Kemudian,
PLETAAAK ……..
Tali skippingnya menyabet wajah si pahlawan kesiangan. Dengan wajah polos tidak berdosa, dia tetap saja melanjutkan kegiatan skippingnya yang sempat terganggu.
“ANJI**! PAKE MATA DONG!!!”, teriak si pahlawan kesiangan kepadanya. Dia menatap sebentar si pahlawan kesiangan yang sewot lalu melanjutkan skippingnya seperti tidak terjadi apa-apa.
“BRENGSEK!!!”
“Sudahlah. Biarkan saja.”, si cewek populer berusaha meredam emosi si pahlawan kesiangan.
Namun, sekali lagi…
PLETAAAAK ………. Kali ini lebih keras.
“ANJI**!”
Si pahlawan kesiangan mendorongnya lalu menarik kerah bajunya. Si pahlawan kesiangan mencacinya dengan sumpah serapah dan memaksanya untuk minta maaf. Dia diam saja malah berusaha mengambil tali skippingnya yang tadi sempat terjatuh karena dorongan si pahlawan kesiangan, meskipun kerahnya masih dicengkeram oleh si pahlawan kesiangan.
“Hei, aku tahu kau. Kau penyebab kerusuhan di Gedung Sate beberapa hari yang lalu itu, kan? Ngapain kau di sini? Seharusnya kau di penjara.”, semburnya lagi. Si pahlawan kesiangan akhirnya melepas cengkeramannya. Dia tidak kuasa menahannya yang berusaha mengambil tali skipping. Postur tubuh mereka tidak terlalu berbeda, sama-sama besar dan berotot.
“Sudahlah. Ayo kita pergi!”
“Kau pikir kau siapa, hah? Melakukan kudeta? Reformasi? Hahahahaa… Orang sepertimu ……”, kalimatnya terhenti karena melihat lawan bicaranya malah lanjut bermain skipping.
“BANGS*T..!!!”
Si pahlawan kesiangan melayangkan tinju ke arahnya, tepat mengenai pipinya. Dia pun jatuh terjerambab.
“STOP!!! SUDAH! KITA PERGI!”, teriak si cewek populer.
“HAHAHAA… ITU SAJA YANG KAU PUNYA, HAH? ANJI**! ORANG SEPERTIMU BERANI-BERANINYA BICARA TENTANG KUDETA DAN REFORMASI. DASAR B*NCI..!!”
Si cewek populer berhasil mendorong si pahlawan kesiangan menjauh. Mereka pun pergi. Sebelum menjauh, mereka saling bertatapan. Saat mereka bertatapan, dia bisa melihat jelas ekspresi kebingungan yang tergambar di wajah si cewek populer.
                Dia berdiri dan membersihkan debu dari bajunya, seakan tidak terjadi apa-apa. Dia raih skippingnya dan berjalan kembali ke arah dia memarkirkan mobilnya.
“Ada kapas, mang?”, tanyanya kepada pedagang asongan yang berada di dekat situ dengan maksud membeli kapas untuk mengobati pipinya.
“D.., dia benar. P.., pria tadi benar. Kau Kuzan. Kau yang bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi beberapa hari lalu…”, ucap si pedagang asongan sambil gemetaran. Entah takut atau apa, yang jelas wajah pedagang itu memucat saat dia mendekat. “P.., pergi! Tidak ada kapas. Sekalipun ada, aku tidak akan menjualnya kepada orang sepertimu. K.., kau sudah melakukan kesalahan besar dan memalukan kota Bandung.”
Pedagang itu mengambil sebilah kayu diam-diam. Tubuhnya yang kecil dan wajahnya yang lugu ditambah badannya yang gemetaran lebih terlihat seperti anak kecil yang berusaha melindungi diri saat berhadapan dengan anjing liar. Tidak ada gunanya berurusan dengan orang-orang seperti itu.
“Ya sudah. Terima kasih kalau begitu.”, dia berjalan santai melewati pedagang tersebut. Pedagang itu masih memegang kayu di tangannya yang bergeretak karena takut. Wajahnya saja sudah basah oleh keringat dingin, waspada berlebihan. Padahal Kuzan hanya bertanya apakah dia menjual kapas atau tidak. Imagenya di masyarakat seperti sudah menjadi stereotype negatif. Mau gimana lagi?
                Dia kembali ke mobil. Diambilnya foto kemarin yang dia simpan di dalam dashboard. Gambar yang ada di foto kedua sama persis dengan cewek tadi. Di foto itu juga ada si pahlawan kesiangan yang sedang berusaha menjadi pahlawan kesiangan, persis seperti tadi.
                Selesai salat Jumat, dia pergi ke salah satu tempat pemakaman umum di mana ibunya disemayamkan. Sesuai permintaan ibunya, dia ingin dimakamkan di kampung halamannya, di Bandung. Ibunya adalah wanita yang tegar dan kuat. Sebelum ibunya meninggal, sudah satu tahun lebih ibunya mengidap kanker sel darah putih alias leukeumia. Penyakitnya itu berhasil disembunyikan selama enam bulan sebelum ibunya akhirnya collapse dan harus menginap di rumah sakit. Beberapa bulan setelah itu, ibunya harus melakukan terapi rutin ke rumah sakit. Dia dan ayah selalu setia untuk menemani ibu menjalani terapi.
Perjuangan itu harus berakhir karena ibunya tidak bisa bertahan. Itu adalah pukulan terberat yang pernah dia alami seumur hidupnya. Berbulan-bulan setelah kematian ibunya, dia semakin sering menyendiri dengan mengurung diri di kamar. Ayahnya semakin jarang ada di rumah. Hubungan dia dengan ayahnya pun semakin renggang dan hampir satu tahun mereka tidak berkomunikasi. Ketika dia memutuskan untuk menjalankan bisnis, itu seperti menjadi benang merah baru bagi mereka berdua.
“Ibu, apa kabarmu?”, bisiknya ke salah satu makam yang tersusun dari marmer putih dan ditumbuhi rumput hijau. Bunga-bunga segar bertebaran di rumput makam, ayahnya kemarin pasti menyempatkan waktu untuk berziarah ke sini. Nisan bertuliskan ‘Andhara Nuvia Harihara’ terpajang juga di atasnya.
Makam ibunya terawat dengan baik. Dia harus berterima kasih kepada kuncen yang ditugaskan khusus oleh ayahnya untuk merawat makam ibunya. Biasanya kuncen itu ada di sekitar sini. Kuncen itu sedang tidak ada.., ya sudahlah.
Di depan tempat pemakaman, banyak orang berjualan bunga dan air siraman yang biasa digunakan peziarah ketika mereka akan berziarah. Dia mendatangi salah satu kios yang ada di situ, “Maaf, teh, saya mau bertemu dengan Pak Dedi (nama kuncen yang menjaga makam ibunya), apa beliau ada?”
“Ooh, Pak Dedinya sedang pulang kampung. Hari Minggu baru pulang katanya. Ada pesan? Nanti biar saya sampaikan.”, balas si penjaga kios ramah.
“Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, teh. Mungkin minggu depan saja saya kembali lagi ke sini.”
Dia pun berbalik dan kembali ke mobil.
“Kang, tunggu sebentar!”, seseorang memanggilnya ketika dia baru ingin membuka pintu mobil. “Kita pernah ketemu, kan?”
Orang yang memanggilnya adalah si penjaga kios tadi. Suaranya terdengar familiar, tapi dia tidak ingat di mana pernah bertemu wajah itu.
“Waktu itu sedang turun hujan dan akang memberikan plastik untuk saya? Akang masih ingat?”, kata si penjaga kios. Wajahnya tidak menunjukan tanda-tanda kalau dia mulai ingat. “Saya belum sempat bilang ‘terima kasih’. Saya benar-benar terima kasih ke akang karena berkat plastik yang akang kasih, buku saya bisa kering sampai rumah.”
Dia masuk ke dalam mobil dan meraih foto yang ada di dalam dashboard. Foto keempat, si siswi dermawan, memang sih mirip, tapi cewek yang ada di foto itu tidak secantik dengan cewek yang sedang mengucapkan ‘terima kasih’ padanya saat ini. Di foto itu, si cewek dermawan terlihat kucel, kotor, dan lusuh, rambutnya acak-acakan, tapi cewek yang ada sekarang, cantik, bersih, dan rambutnya panjang terurai indah.
Dia kembalikan lagi foto itu ke dalam dashboard. “K.., kamu…”, ucapnya masih sambil berusaha meyakinkan diri kalau cewek itu adalah si siswi dermawan.
“Sekali lagi, saya sangat terima kasih untuk waktu itu, kang.”
Caranya mengucapkan ‘terima kasih’, itu satu-satunya persamaan yang dia temukan. Pada saat itu, si siswi dermawan berkali-kali mengucapkan ‘terima kasih’, sama seperti cewek si penjaga kios bunga sekarang. Meskipun si cewek bilang kalau dia belum sempat mengucapkan ‘terima kasih’, tapi dia yakinkan sekali kalau dia sudah mengucapkan terima kasih sampai belasan kali.
“Kamu tinggal di sini?”, tanyaku setelah yakin kalau cewek yang ada di hadapannya sekarang adalah si siswi dermawan.
“Ooh, tidak. Aku cuma jualan bunga di sini.”, jawabnya super ramah. “Akang sering datang ke sini?”
“Ya. Makam ibu saya ada di sini.”, balasnya. Sekarang dia menemukan ekspresi ‘bersalah’ di wajah gadis itu.
“M.., maaf.”, kata si siswi dermawan merasa tidak enak.
“Tidak apa. Itu sudah bertahun-tahun, sudah lewat. Tidak perlu disedihkan lagi. Ngomong-ngomong, kamu tidak sekolah?”
“Hari Jumat aku pulang sebelum salat Jumat dan setelah salat Jumat aku datang ke sini untuk jualan bunga.”, jawab si siswi dermawan masih merasa tidak enak.
“Setiap hari?”
“Tidak. Cuma hari Jumat atau waktu libur sekolah saja.”
“Hmm… Kalau begitu, aku harus pergi karena ……”
“Oh iya, nanti akan saya sampaikan kepada Pak Dedi kalau akang menanyakan beliau.”
“Oh, begitu. Saya terima kasih sekali kalau begitu.”, jawabnya datar.
“S.., saya yang terima kasih. Dan.., maaf soal pertanyaan saya tadi.”, ucap si siswi dermawan sambil menundukan kepala.
Dia tidak merasa perlu menanggapi. Dia pun masuk ke dalam mobil. Gadis itu masih terus mengamati sampai akhirnya dia hilang dari pandangan.
                Di dalam mobil, dia kembali mengamati foto-foto yang dia temukan di studio kemarin. Si siswi dermawan, dia sama sekali tidak menyangka kalau gadis itu ternyata cantik karena saat pertama bertemu, gadis itu tampak kotor terkena cipratan air, bajunya yang sedikit kebesaran terlihat lusuh karena basah kuyub, rambutnya yang acak-acakan lebih terlihat seperti kuntilanak yang ada di film-film horor Indonesia.
                Sebelum pulang, dia berniat untuk membeli bahan-bahan masakan di pasar. Dia berniat untuk belajar memasak. Ucapan Pak Iman kemarin, ‘rasa pada makanan bukan untuk dipelajari, tapi untuk didapatkan’, dia tidak mengerti sama sekali apa maksudnya, tapi itu berhasil membuatnya penasaran. Rasa penasaran mendorongnya untuk pergi ke pasar Kosambi, pasar yang selalu ramai di Bandung.
                Di luar perkiraan, ternyata tidak sulit menemukan bahan-bahan makanan yang tertulis di resep milik ibunya, yang diberikan oleh Pak Iman kemarin. Dia cukup sering menemani Pak Iman membeli bahan-bahan makanan di pasar, tapi dia hanya sekedar menemani, tidak pernah dia membeli bahan-bahan itu dan berhadapan langsung dengan penjualnya. Mungkin itu yang menyebabkan sikapnya yang kaku ketika harus melakukan tawar-menawar. Lebih sulit berhadapan dengan penjual di pasar daripada berhadapan dengan investor atau petugas bank ketika dia ingin mengajukan pinjaman.
                Dia meletakan tas kameranya di atas wadah sayur-sayuran ketika dia sedang melakukan tawar-menawar dengan salah satu pedagang sayuran, ke manapun dia pergi, dia selalu membawa tas dan kameranya. Si pedagang sayuran sepertinya sebentar lagi akan memenangkan ‘pertarungan’, dia pasrah saja, sebelum tiba-tiba seseorang menggaet tas kameranya. Orang itu melesat kencang sambil membawa tas kameranya.
“Hei.., Hei.., mau ke mana? 2500 sekilo! Atau 2000..?? Okee, DEAL sesuai yang kau mau! 1500!!... Aku tidak peduli kau itu pemberontak atau bukan! Hei, beli di sini saja! Anakku lagi sakiiiiiiiiiiittt…!!!”, teriak putus asa dari si penjual sayuran kepadanya ketika dia lari mengejar orang yang mencuri kameranya.
Lari orang itu kencang juga ternyata. Dia sampai harus susah payah untuk mengikuti lari orang itu. Keramaian pasar diterobosnya tanpa peduli apa yang ada di depan. Tindakan mereka menyebabkan kekacauan di pasar. Mereka menjatuhkan banyak barang dagangan orang lain.
                Mereka berhenti di sebuah gang kecil. Orang itu terjebak sekarang. Tidak ada jalan lagi karena di depannya berdiri tembok tinggi, di kanan dan kiri juga tembok. Orang itu pun berbalik ke satu-satunya arah yang tersisa, ke belakang. Kuzan berhasil mengejar orang itu, meskipun itu menyebabkan nafasnya sedikit tersengal-sengal.
“Kembalikan!”, ucapnya sambil berusaha mengambil sebanyak mungkin udara untuk masuk ke dalam paru-paru.
Orang itu akhirnya berbalik, menunjukan wajahnya. Dia seorang perempuan. Topi yang dia kenakan tidak bisa menutupi rambutnya yang panjang. Bajunya yang semerawut, seperti preman, tidak bisa menyembunyikan postur tubuh ‘khas’ perempuan. Selain itu, wajahnya sama sekali tidak terlihat seperti laki-laki meskipun dipenuhi coretan. Wajahnya terlalu girly untuk disamarkan.
                Gadis itu tersengal-sengal, nafasnya memburu. Namun demikian, harus diakui kalau gadis itu punya stamina yang sangat baik untuk ukuran seorang perempuan. Gadis itu menatapnya, itu si gadis preman, gadis yang ada di foto pertama. Kalau yang ini, dia tidak mungkin lupa, wajah gadis itu terlalu khas. Matanya yang bulat, hidungnya yang mancung, bibir tipis dan pipi sedikit tirus, lebih dari cukup untuk menjadi ciri khas.
Gadis itu tersenyum dan berkata sambil kelelahan, “Hebat juga kau… Haaah.., haaah… Sebelumnya.., tidak ada yang bisa mengejarku sampai ke sini… Haaah… Haaaaahh…”
“Terima kasih. Tapi kembalikan tas itu. Kau tidak bisa membawanya sambil berlarian seperti tadi.”, balasnya. Staminanya sudah kembali. Ada sedikit rasa gengsi kalau dia sampai terlihat lelah. Dia tidak mau kalah untuk urusan seperti ini dari seorang wanita.
“Oh yah? Memang apa isinya?”, kata si cewek preman dengan nada mengejek.
“Kau sudah kalah. Kau sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Cukup kembalikan dan masalah selesai.”
“Kau yakin sekali sepertinya.”
Si gadis preman bertingkah seperti tepuk tangan. Yang terjadi selanjutnya, lima orang pria datang mengepung. Mereka menggeretakan jari-jarinya, seperti seorang petinju.
“Setidaknya aku sudah berusaha menyelesaikannya secara baik-baik.”
“Habisi dia!”, perintah si gadis preman kepada lima orang itu.
BAAK! BUUK! BUGH! DUAAGGH! BLETAAAKKK! DESSS! KRETAAAKK!!!
                Tidak lebih dari lima menit, kelima orang itu sudah terkapar sambil merintih minta ampun. Seketika itu juga, gaya mereka yang awalnya terlihat seperti sekumpulan rentenir dan penagih hutang, berubah menjadi seperti anak kecil yang jatuh dari sepeda. Tidak ada pukulan, meskipun hanya satu, yang berhasil mereka layangkan ke dirinya.
“Aku sudah bilang, kan?”
Dia mendekati si cewek preman lalu mengambil tasnya dari lengan si cewek preman. Tidak ada perlawanan, gadis itu mematung. Matanya menatapi ‘jagoan-jagoan’nya yang jontai tidak berdaya menghadapi Kuzan. Mulutnya menganga seperti orang yang tidur dengan mulut terbuka.
“Sekarang aku harus belanja lagi dari awal.”
“A.., aku ikut!”, sahut si cewek preman. “S.., setidaknya.., anggap saja ini permintaan maaf.”
“Terserah kau lah.”
Dia kembali ke pasar. Si cewek preman mengikutinya dari belakang. Satu per satu dia meminta maaf dan mengganti kerugian pedagang-pedagang yang sudah dia jatuhkan barang dagangannya. Si cewek preman menatapnya dengan penuh keheranan.
                Si cewek preman mengantarnya kembali ke tempat terakhir tadi dia belanja. Gadis itu sudah hafal benar dengan tata letak pasar.
“Jadi, berapa sekilonya, mang?”
“Tiga ribu.”, jawab si pedagang sayur.
“Apa? Bukannya tadi seribu lima ratus?”
“Tadi yaa tadi. Sekarang yaa sekarang.”, ketus si pedagang sayur.
“Terserahlah.”, dia pasrah.
Tiba-tiba… BRAAAKKK!!!
“SERIBU LIMA RATUS ATAU KITA PERGI!”, gertak si cewek preman sambil memukulkan tangannya ke kios si pedagang sayur.
“I.., iya, baik. M.., maaf…”, seketika itu juga si pedagang sayur merubah pikirannya. “S.., sepuluh kilo. Jadi lima belas ribu.”
Dia ditemani si cewek preman membeli barang belanjaan yang lain. Berkat itu, dia berhasil mendapat separuh harga untuk setiap daging dan setiap barang yang dia beli.
                Semuanya sudah lengkap. Dia berhasil mengumpulkan semua bahan yang tertulis di resep masakan ibunya. Tidak bisa dipungkiri, dia sangat terbantu oleh bantuan si cewek preman.
“Kau ahli sekali dalam hal ini.”
“Dan kau payah sekali.”, balas si cewek preman sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Si cewek preman bahkan membantunya membawakan barang belanjaan sampai ke tempat parkir. Dia terlihat cukup kesulitan ketika harus membawanya sendirian.
“Terima kasih.”
“Sudah yaa. Aku pergi.”
“Tunggu! Kau mau datang ke rumahku?”
“APA?”, teriak si cewek preman dengan suara toa.
“Sekarang aku yang berhutang kepadamu. Anggap saja ini sebagai permintaan terima kasih.”
“TIDAK!”
“Sayang sekali, padahal malam ini aku akan masak seafood dan steak. Aku hanya tinggal berdua dengan pamanku. Dengan bahan makanan sebanyak ini, pasti akan banyak yang terbuang, sayang sekali.”
“S.., seafood?”
“Ya…”
Tanpa banyak berdebat, gadis itupun masuk ke dalam mobil. Dia pun menjalankan mobilnya.
“Aku mau tanya.”, ucap si cewek preman. Sepanjang perjalanan dia merokok terus di dalam mobil.
“Apa?”
“Kenapa kau tidak teriak saat aku mencuri tasmu? Kau bisa saja teriak dan orang-orang di pasar akan membantumu.”
“Kenapa? Itu bukan urusan mereka. Itu urusan kau dan aku.”
“Kau ini gila, ya?”
“Lagipula, kau bisa mati kalau tertangkap oleh mereka.”
“Aku tidak pernah gagal kalau sudah menetapkan target. Lagipula kalau aku salah, mungkin aku memang pantas mati.”
“Benar atau salah, itu urusanmu. Seperti yang aku bilang, aku cuma mau tasku kembali.”
Si cewek preman terdiam sebentar. Dia kembali bertanya, “Apa isi tas itu?”
“Kamera.”
“Berapa harganya?”
“Dua puluh juta.”
“ANJI**! KAU BENAR-BENAR GILA!”
Dia berhenti sebentar untuk salat maghrib. Si cewek preman bilang kalau dia tidak salat. Gadis itu menunggu di dalam mobil sambil merokok.
“Aku pikir kau kabur.”
“Ya. Aku juga berniat seperti itu.”
“Kenapa kau mau ikut denganku?”
“Kenapa?”
“Ya. Kau belum kenal denganku dan aku baru saja menangkapmu saat sedang mencuri. Kenapa kau tetap mau ikut bersamaku?”
“Kau bilang malam ini kau masak seafood.”
“Hanya karena itu?”, dia terkejut dengan ekspresi ‘sangat’. “Hanya karena seafood kau mau ikut denganku? Kau ini gila atau apa?”
Si cewek preman membuang puntung rokoknya yang baru dia hisap setengah. Dia melotot dan menarik nafas dalam-dalam.
“KAU BILANG AKU GILA? AKU TIDAK MAU DIBILANG GILA OLEH ORANG YANG PERGI KE PASAR DENGAN MEMBAWA KAMERA SEHARGA DUA PULUH JUTA LALU MELETAKANNYA SEMBARANGAN DI ATAS SAYUR-SAYURAN…”, si cewek preman berteriak sekuat tenaga sambil memukul-mukulkan tangannya ke kepala Kuzan.
“Hei.., hei.., awas!! Aku tidak bisa lihat jalan. Kita bisa mati kalau seperti ini.”
Kuzan berusaha menghindar dari pukulan si cewek preman. Semakin dia menghindar, semakin sakit terasa pukulan yang dia terima.
“Ampun… Ampun… Maafkan aku…”
Mereka akhirnya sampai di rumah jam tujuh tepat. Tidak biasanya dia pulang jam segitu. Biasanya dia masih berkeliaran di jalan atau masih sibuk di studio fotonya.
“Ada apa, Paman?”, sapanya ketika melihat Paman Thomas sudah menunggunya di depan pintu.
“Dia selamat. Al-Jazeera sedang menayangkan beritanya.”
Dia langsung berlari menuju ruang keluarga. Barang belanjaan yang dia bawa sampai terjatuh di depan pintu. Dikencangkannya volume TV sampai terdengar di seluruh ruangan.
                Suara pembawa berita Al-Jazeera terdengar seperti sedang berteriak karena volume TV. Dia bahkan tidak mendengar suara si cewek preman yang berteriak bertanya, “MAU DITARO DI MANA INI…???”
Paman Thomas mengambil alih tugas membawa barang belanjaan dari tangan si cewek preman. Paman tersenyum kecil sambil mengucapkan ‘terima kasih’ ke si cewek preman.
                Perhatiannya masih tersedot penuh ke arah TV. Suara presenter berita yang bicara dengan bahasa Arab lebih terdengar seperti orang yang sedang mengaji menggunakan pengeras suara. Si cewek preman menyingsingkan lengan jaket lalu berjalan ke arahnya.
“BEEERRRIIIISSSSIIIIIIIKKKKKKKKKKKK ……………!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Suara gadis itu lebih kencang daripada volume TV. Kalau di film kartun, teriakannya itu pasti berhasil memecahkan jendela dan menghancurkan guci. Lebih parah lagi, gadis itu teriak tepat di sebelah gendang telinganya. Gadis itu merebut remote TV lalu mengecilkan volume dengan tangannya sendiri.
“APA SIH YANG KAU TONTON? ORANG SEDANG KUMUR-KUMUR? AKU TIDAK MENGERTI…”
“Dia selamat. Kau dengar? Dia selamat… Akhirnya dia sampai di Gaza. Aku yakin dia pasti senang sekali.”
“Hah???”, dengan wajah mengkerut kebingungan, si cewek preman mematung seperti ketika dia tadi melihat ‘jagoan-jagoan’nya dilumpuhkan oleh Kuzan hanya dalam waktu beberapa menit.
Berita itu akhirnya selesai. Itu terlihat lebih seperti sebuah anugerah bagi si cewek preman. Kontras dengan Kuzan, gadis itu melihat Kuzan yang tadinya senang, sekarang meringkuk di sofa sambil membenamkan wajah ke lutut.
“M.., maaf… Aku tidak bermaksud…”, ucap si cewek preman sambil berusaha menghibur Kuzan meskipun dia sendiri tidak mengerti kesalahan apa yang sudah dia lakukan.
Lagi-lagi si cewek preman dikejutkan oleh reaksi Kuzan. Kuzan tiba-tiba bangkit dan teriak-teriak kegirangan seperti orang gila. Si cewek preman itu berpikir kalau mungkin tidak seharusnya dia mengikuti Kuzan. Dia merasa sudah masuk ke dalam Rumah Sakit Jiwa.
                Si cewek preman hendak pergi setelah melihat kegilaan yang terjadi. Tapi Kuzan tiba-tiba menarik tangannya. Dia menarik gadis itu sampai masuk ke dalam pelukannya. Dia memeluk si cewek preman sampai membuatnya berputar-putar. Anehnya, si cewek preman tidak memberontak. Mungkin dia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi keadaan ini. Begitu Kuzan melepaskan pelukannya, dia langsung berlari menuju pintu keluar.
“Dia selamat, Paman. Paman dengar, kan? Dia selamat. Dia selamat. Dia selamat.”, dia mengucapkan kalimat itu berkali-kali sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ya, Paman ikut senang mendengarnya. Untuk merayakannya, Paman akan buatkan seafood dan steak yang paling enak untuk kalian berdua.”
“Seafood?”, kata si cewek preman pelan. Dia langsung berhenti ketika mendengar kata itu. Seketika itu juga, dia mengurungkan niatnya untuk pergi dari ‘Rumah Sakit Jiwa’.
“Aku yang masak, Paman.”
“Tidak! Jangan dia! Dia gila.”, bantah si cewek preman.
“Ngomong-ngomong, Paman belum pernah bertemu denganmu. Siapa nama temanmu ini, Kuzan?”
Mereka seperti baru saja disadarkan akan satu hal penting yang belum sempat terpikir oleh mereka sebelumnya. Setelah kejadian di pasar dan di mobil tadi, mereka bahkan belum saling berkenalan.
“Aku ‘Auryn’. Panggil aku ‘Ryn’. Aku tidak suka dipanggil ‘Auryn’ apalagi ‘Au’.”, terang si cewek preman.
“’Auryn’? Nama yang sangat bagus untuk wanita secantik kamu. Namaku Thomas. Kamu bisa memanggilku ‘Thomas’ atau ‘Paman’ saja. Aku bekerja di sini sebagai pengurus rumah.”
“Aku Kuzan.”
“Kuzan ini adalah pemilik rumah di sini dan sekaligus majikan Paman.”, Paman Thomas menambahkan.
“Kuzan? Hahahahaaa… Nama macam apa itu?”, ejek si cewek preman sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kau ini… Kau benar-benar membuatku kesal.”
“Oh ya? Bagus kalau begitu.”, balas si cewek preman balik menantang.
“Sudah… Sudah…”, Paman Thomas berusaha melerai pertengkaran mereka. “Naah.., Auryn, apa kamu akan menginap di sini?”
“Dia pencopet. Tentu saja dia tidak punya tempat tinggal. Mulai sekarang dia akan tinggal di sini.”, ucap Kuzan berusaha memanas-manasi suasana.
“Kata siapa? Aku punya rumah. Lagian, siapa yang mau tinggal di sini? Jangan seenaknya memutuskan!”
“Di rumah ini aku yang putuskan. Kenapa? Tidak suka?”
“Jangan seenaknya ya!”
“Sudah… Sudah… Ayo, Paman antar kau ke kamarmu.”
Paman membawa si cewek preman ke kamar yang ada di lantai dua. Si cewek preman itu menuruti saja apa yang Paman Thomas katakan.
“Tuh kan.., apa aku bilang. Dia tidak punya tempat tinggal, Paman.”
“Eeerrggghhh… Aku sudah tidak tahan. Aku pergi saja.”, gerutu si cewek preman seperti anak kecil yang kesal karena tidak dibelikan mainan yang dia mau.
“Dia memang seperti itu. Biarkan saja! Itu hanya cara dia menyembunyikan rasa senangnya.”
“Siapa yang senang?”, gerutu Kuzan tidak berbeda seperti ekspresi si cewek preman. Paman Thomas seperti dihadapkan dengan dua anak kecil yang sedang ngambek-ngambekan.
“Ayo, Paman antarkan kamu ke kamarmu! Kalau kamu tidak suka dengannya, Paman harap kamu bisa melakukannya demi Paman. Rumah ini jarang sekali kedatangan tamu dan setiap hari Paman harus berhadapan oleh orang yang menjengkelkan seperti dia. Paman harap kamu bisa menemani Paman malam ini.”
“’Orang yang menjengkelkan’?”, gerutu Kuzan sekali lagi.
Si cewek preman akhirnya mengalah. Dia menuruti permintaan Paman Thomas dan mengikuti Paman Thomas yang membawanya ke kamar.
“Dia mau datang ke sini cuma gara-gara seafood, Paman.”
“Eeeeeerrrgggghhhhhh… Dia itu benar-benar menjengkelkan. Pantas saja Paman tidak tahan tinggal berdua di rumah ini dengannya.”, bisik si cewek preman kepada Paman Thomas.
Paman Thomas tersenyum menanggapi, “Paman harap kamu menemukan kesenangan di rumah ini. Sama seperti kesenangan yang memaksa Paman untuk tetap bertahan tinggal di rumah ini.”
Setengah jam sudah Kuzan berdiri di dapur. Belum ada satupun makanan yang selesai dia masak. Paman Thomas akhirnya turun tangan membantunya setelah selesai membersihkan kamar untuk si cewek preman.
“Kau ini benar-benar payah.”, ucap Paman Thomas saat datang ke dapur. Dia mengambil alih seluruh pekerjaan.
“Apa dia mau tinggal di sini?”, tanya Kuzan sambil bisik-bisik.
“Tenang saja. Kamu tidak perlu bisik-bisik seperti itu. Dia sedang mandi.”, ucap Paman Thomas sambil tertawa melihat tingkah aneh Kuzan. “Entahlah. Dia bilang dia hanya akan menginap malam ini. Besok pagi dia pulang.”
“Ya sudahlah…”
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?”
“Sebenarnya.., ada yang ingin aku jelaskan kepadamu, Paman.”
Kuzan mengambil tas kameranya lalu mengeluarkan keempat foto yang dia dapat dari studio. Dia tunjukan foto-foto itu ke Paman Thomas lalu menjelaskan semuanya. Dia berharap Paman Thomas setuju dengan semua yang dia katakan.
“Bagaimana, Paman?”
“Auryn, dia gadis yang baik. Paman suka dengannya dan Paman akan senang sekali mengikuti rencanamu. Paman akan membantumu.”
“Tapi bagaimana dengan yang lain? Paman belum bertemu dengan mereka.”
“Sekalipun Paman bilang ‘tidak’, Paman tidak yakin itu akan mengubah keputusanmu.”
Tidak ada yang membuatnya senang selain mendengar ucapan Pamannya itu. Pamannya memang orang paling bijaksana yang dia kenal.
“Aku akan mencari yang lainnya besok. Aku pasti akan membawa mereka ke sini.”
“Lalu apa tujuanmu? Kenapa tiba-tiba kamu merencanakan semua ini?”
“Paman.., aku sudah mengambil keputusan.”
“Apa kau yakin bisa mengajak mereka?”
“Yakin adalah langkah pertama dalam mengambil keputusan.”
Dia menjelaskan keputusan yang sudah dia ambil kepada Paman Thomas. Cukup sulit untuk meyakinkan Paman Thomas untuk keputusannya yang satu ini. Setelah menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan Paman Thomas, Paman Thomas pun akhirnya mengerti. Paman Thomas akhirnya berkata kalau dia tidak bisa menyalahkan keputusan yang diambil oleh Kuzan. Lebih tidak mungkin lagi Paman Thomas berkata kalau dia tidak akan bisa mengubah dan menghalangi jalan yang sudah diambil oleh Kuzan. Kuzan sudah meyakinkan keputusannya.
“Terima kasih, Paman. Apapun yang terjadi, Paman sudah banyak membantuku. Aku tidak mungkin bisa membalas semua kebaikan Paman.”
“Paman hanya melakukan apa yang Paman harus lakukan.”
“Lama sekali sih. Masakannya belum jadi juga? Aku sudah lapar. Lagian, orang sepertimu mana mungkin bisa masak. Paling-paling juga masak air panas.”, ucap si cewek preman dari lantai atas.
I’m gonna beat her some manner!
“Eeh.., eeh.., kamu mau apa? Jangan berani-berani ya!”
Kuzan berlari menyusuri tangga menuju lantai atas, meninggalkan Paman Thomas sendirian di dapur. Dia sudah menyerah untuk belajar memasak sepertinya.
“Jangan macam-macam! Aku cuma pakai handuk. Aku belum pakai baju. Hei…! Hei…! Paman, tolong aku! Orang gila ini mau berbuat jahat kepadaku!”
Lalu suara pintu dibanting terdengar keras sampai ke seluruh rumah. Derap kaki Kuzan terdengar sampai ke dapur.
“Buka pintunya!”
“Tidak! Kau pasti mau memperkosa aku! Paman, tolong!”
“Eeeerrggghhhh…, kau benar-benar membuatku kesal!”
Sementara mereka bertengkar di depan pintu kamar, Paman Thomas menangis di dapur.
                Satu jam kemudian, makanan sudah siap. Paman Thomas sudah menyiapkan semuanya di meja makan, lengkap dengan dekorasi candlelier. Kuzan sudah bersiap-siap di meja makan sedangkan si cewek preman masih belum mau keluar dari kamarnya.
“Auryn, makanannya sudah siap! Ayo turun!”, teriak Paman Thomas agar suaranya terdengar sampai ke kamar si cewek preman.
“Tidak mau! Orang gila itu mau memperkosaku!”, sahut si cewek preman.
“Biarkan saja, Paman. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Kita habiskan saja semuanya berdua. Sayang kalau tidak dimakan.”
Suasana menjadi senyap sejenak. Beberapa menit kemudian, si cewek preman itu akhirnya turun. Dia masih mengenakan pakaian premannya, jaket kulit dan celana jeans bolong-bolong. Hanya saja sekarang dia tidak memakai topi. Rambutnya yang hitam, panjang sedada, sedikit ikal di bagian bawah, semakin menambah aura cantik yang sebenarnya sudah terpancar jelas di wajahnya.
“Ayo duduk di sini!”, ajak Paman Thomas.
“T.., tapi.., d…, dia……”
“Ayo makan! Nanti bagianmu keburu dihabiskan olehnya.”
Tanpa pikir panjang, si cewek preman langsung menyerbu meja makan. Godaan dari aroma sedap seafood yang tercium sampai ke kamar, tidak kuasa dia lawan. Selain itu, Paman Thomas juga ada di sana. Jadi, dia tidak perlu takut.
                Tidak ada yang terkejut dengan cara makan si cewek preman. Benar-benar tidak memikirkan tata karma, meskipun di sana ada Paman Thomas. Sementara Kuzan dan Paman Thomas makan dengan tenang, si cewek preman ribut dengan makanan yang sedang dia lahap.
“Waaahhh… Enak sekali. Aku belum pernah makan makanan seenak ini… Yang ini enak… Yang ini juga enak… Yang satu ini kelihatannya aneh, tapi enak… Aaaahhhh.., beruntung sekali aku datang ke sini.”
Satu per satu makanan yang ada di meja makan dilahap si cewek preman. Dengan tangan, dia mengambil sekaligus makanan yang ada di setiap piring. Dia lahap makanannya itu dengan tangan juga. Kuzan dan Paman Thomas belum selesai dengan piring pertama mereka, si cewek preman sudah selesai dengan piring ketiga yang porsi di setiap piringnya terlihat seperti orang yang belum makan tiga hari.
“Uuwweeeekkkk! Makanan apaan nih? Gag enak banget! Dagingnya gosong begini.”, celetuk si cewek preman dengan mulut yang penuh dengan nasi.
“Berisik! Sudah makan saja! Kalau tidak suka, ya sudah tidak usah dimakan!”, ucap Kuzan kesal.
Si cewek preman yang juga kesal karena mendengar ucapannya lalu menumpahkan daging gosong itu ke piringnya.
“Kau saja yang makan kalau begitu. Kau sendiri yang bilang ingin menghabiskan semuanya, kan?”
“Kau harus menghabiskan masakanmu sendiri, Kuzan. Kau sendiri yang bilang kalau kau ingin belajar memasak. Sebelum orang lain yang merasakan masakanmu, lebih baik kau merasakan masakanmu sendiri dulu.”, Paman Thomas mendukung tindakan si cewek preman.
“Jadi, ini masakanmu? Pantas saja aneh begini. Sudah kubilang, kau masak air saja!”
“Kau ini… Apa kau tidak pernah diajari tentang table manner?”
Table manner? Makanan apaan tuh?”
“Itu bukan makanan, bodoh! Itu tata krama bagaimana makan di meja makan.”
“Tata krama?”
“Itu salah satu peraturan tentang kesopanan ketika kamu sedang makan bersama orang lain.”, tambah Paman Thomas.
“Peraturan? Untuk makan saja ada aturannya?”
“Tentu saja, bodoh!”
“Jadi, kamu tidak tahu?”, lanjut Paman Thomas.
“Tidak! Lebih baik aku tidak tahu. Aku capek dengan aturan. Sudah banyak aturan yang aku langgar supaya perutku bisa kenyang. Kalau untuk makan saja pakai aturan, walau banyak makanan seperti sekarang ini, bisa-bisa aku tidak kenyang.”, jawab si cewek preman dengan polos. Mulutnya masih penuh dengan nasi.
“Dia mirip sekali denganmu, Kuzan. Paman semakin ingin dia tinggal di sini bersama kita.”, ucap Paman Thomas sambil tertawa karena akhirnya dia bisa menemukan persamaan antara Kuzan dengan Auryn.
Mereka akhirnya selesai makan, atau lebih tepatnya, Kuzan dan Paman Thomas akhirnya selesai menunggu si cewek preman selesai makan. Setengah porsi makanan yang ada di meja dihabiskan oleh mereka, setengah porsi lagi dihabiskan sendirian oleh si cewek preman.
“Aaaaahhhh.., enaaaaaakkk… Kenyang sekali rasanya… Eeeee ~ … !”, ucap Auryn sambil sesekali bersendawa. Wajahnya masih belepotan oleh makanan yang dia lahap.
“Malam ini kamu tidur di kamar atas saja, di sebelah kamar Kuzan. Paman sudah menyiapkan baju ganti untukmu.”
“Terima kasih, Paman. Paman baik sekaliii.” Auryn memeluk paman Thomas. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya lagi.
“Tanganmu itu masih kotor. Nodanya kena baju Paman.”
“Biar saja. Nanti biar aku sendiri yang cucikan untuk Paman. Paman saja tidak keberatan, kenapa jadi kamu yang susah?”
“Paman senang sekali kamu ada di sini, Ryn.”
“Eeerrhhh, menjijikan. Aku capek. Aku tidur duluan.”
Kuzan meraih tas kameranya lalu berjalan menuju kamar. Si cewek preman membantu Paman Thomas membereskan meja makan. Saat menyusuri tangga, dia mendengar percakapan mereka.
“Apa dia selalu seperti itu, Paman?”
“Hmm.., Paman juga tidak terlalu mengenalnya. Paman hanya mengenalnya saat dia sedang berada di rumah saja. Sayangnya, rumah ini jarang kedatangan tamu jadi Paman tidak tahu bagaimana sifatnya kalau sedang bersama orang lain.”
“Huh! Aku tidak suka dengan dia.”, ketus si cewek preman.
“Tapi ini untuk pertama kalinya dia mengajak perempuan untuk makan malam di rumah ini.”
Dia berkaca di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Di depan cermin itu dia berkata,
“Aku akan memulai semuanya dari awal. Ini sudah menjadi keputusanku. Aku akan mengejarmu. Tunggu saja!”
Keesokan paginya, waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Tidak biasanya dia bangun jam segini, dia bahkan melewatkan salat subuh. Dia pun langsung bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap.
                Pakaiannya sudah dikenakan rapih. Hari ini rencananya dia akan mulai menjalankan rencana yang dia beritahukan kepada Paman Thomas kemarin malam. Tas kameranya tidak ada. Dia tidak bisa menjalankan rencananya tanpa tas itu. Dibongkarnya isi kamar, tapi tetap dia tidak menemukan tasnya.
“PAMAAAANNNN!!!”, dia berteriak dari depan pintu kamarnya.
“Ada apa pagi-pagi sudah ribut?”, sahut Paman Thomas sedikit kesal.
“Paman lihat tas kameraku?”
“Bukankah kemarin malam kamu bawa ke kamarmu?”
“Tidak ada.”
“Tidak mungkin. Kamu selalu mengunci kamarmu kalau tidur.”
“Ryn… Di mana dia?”
“Paman belum melihatnya pagi ini. Dia mungkin masih tidur.”
Dia menggedor pintu kamar yang berada di sebelah kamarnya. Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda kalau ada orang di dalamnya. Dia tarik gagang pintu kamar tersebut, tidak terkunci.
                Kamar itu kosong, rapih, seperti tidak ada yang memakainya untuk tidur tadi malam. Dia memaksa masuk ke dalam kamar itu dan menemukan secarik kertas di meja yang berada di sebelah tempat tidur.
Aku pulang. Terima kasih untuk makanannya. Dan terima kasih untuk kameranya juga.
Hanya itu yang tertulis di kertas tersebut. Ditambah tanda tangan atas nama Auryn di sudut kanan bawah.

Berbincang di Antara Para Pelangi: Chapter 2


AKHIR DAN AWAL

                Pagi buta, dia terbangun oleh luka memar di seluruh tubuhnya. Sejak semalam, dia belum sempat mengobati luka-lukanya itu. Begitu keluar dari penjara, dia tidak langsung pulang. Dia pergi ke rumah Tristan. Seperti biasa, rumah sahabatnya itu kosong. Rumah besar itu terlihat seperti rumah angker tidak berpenghuni dan dijalari banyak tanaman liar. Sudah bertahun-tahun rumahnya terlihat seperti itu. Tidak ada yang mendiami, tidak terurus.
                Setelah sarapan, dia kembali ke kamarnya sambil membawa perban dan antiseptik. Dia tidak pernah belajar medis, lukanya dia obati asal-asalan. Orang lain tidak bisa melihat lukanya, itu saja sudah cukup. Dia benci terlihat lemah apalagi dikasihani.
“Kau sudah mau pergi, Kuzan?”, sapa seorang pria tua, penjaga rumah yang dipercayai ayahnya untuk mengurus rumah.
“Ya. Aku harus mengecek studio, paman. Sudah tiga hari aku tinggalkan.”, balasnya. Dia sudah menganggap penjaga rumahnya itu seperti keluarganya sendiri sehingga dia memanggilnya dengan sebutan ‘paman’.
Pria tua itu tersenyum lalu kembali ke dapur. Pria tua yang bijaksana dan tidak banyak bicara.
                Mobilnya sudah disiapkan oleh si penjaga rumah. Dia pun segera melesat pergi, keluar dari sebuah rumah besar bergaya Eropa yang di halamannya banyak ditumbuhi bunga-bunga mekar, bunga-bunga kesayangan mendiang ibunya. Paman merawatnya dengan sangat baik. Mungkin itu salah satu permintaan ibunya kepada si penjaga rumah sebelum meninggal.
                Sepanjang perjalanan, pikirannya tidak bisa lepas dari ucapan ayahnya kemarin. ‘Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’ adalah kalimat yang terbayang di kepalanya. Bagaimana menafsirkannya? Ayahnya tersenyum ketika mengucapkannya.
                Studionya sepi, tidak ada orang di sana. Dia tidak melihat ada tanda-tanda pekerja yang setiap pagi biasanya sudah stand by di studionya itu. Dia sudah mengerti sebagian banyak kebiasaan para pekerjanya karena proyek ini sudah berjalan tiga bulan. Semakin tidak biasa karena dia melihat makanan sarapan untuk para pekerjanya itu masih utuh. Selain itu, kaleng cat, kardus semen, pasir, sekop dan barang-barang lainnya tertata rapih di luar.
                Pembangunan studionya baru berjalan setengah, tidak ada yang berbeda sejak terakhir dia lihat empat hari yang lalu, tidak ada kemajuan. Studio yang dibangun tiga lantai di atas tanah berukuran 15 x 20 meter, cukup besar, tampak tidak terurus. Tembok seharusnya sudah dicat dan dipasang wallpaper dan pengedap suara, lantai seharusnya sudah dipasangi ubin, toilet dan beberapa ruangan seharusnya sudah selesai, pintu-pintu ruangan seharusnya sudah tiba sejak dia pesan dua yang minggu lalu, semuanya belum selesai, berhenti di tengah jalan. Sepertinya, proyek pembangunan studionya tidak berjalan sedikitpun saat dia masuk penjara.
                Studio itu berlokasi di salah satu tempat keramaian di kota Bandung, tidak jauh dari tempat dia pertama kali berbincang dengan Tristan mengenai rencananya untuk pergi ke Yogya. Seharusnya para pekerja yang dia tugaskan untuk membantunya membangun studio itu sudah tiba jam tujuh tadi. Sekarang sudah jam delapan, bahkan makanan yang dia minta orang restoran untuk mengantar ke studio, yang biasa dijadikan sarapan bagi para pekerjanya itu, tidak tersentuh sama sekali, malah dimakani kucing dan lalat.
                Dia mendatangi sebuah warung di dekat studio yang biasa dijadikan tempat para pekerjanya berkumpul, dia tidak menemukan satupun pekerjanya di sana. Ketika dia bertanya kepada penjaga warung, si penjaga warung menjawab ‘tidak tahu’ dengan wajah ketus. Padahal penjaga warung itu selalu terlihat ramah dan menyenangkan setiap dia datang.
                Seseorang berdiri di depan pintu studio saat dia kembali. Orang itu adalah Pak Hasan, kepala konstruksi dalam proyek pembangunan studionya. Dia pun menghampiri Pak Hasan.
“Di mana pekerja yang lain, Pak?”, tanyanya. “Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang datang?”, tambahnya.
Pak Hasan diam saja. Dia mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya.
“Maaf, Kuzan. Kami semua memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan ini.”, jawab Pak Hasan dengan wajah datar.
“K.., kenapa? Tidak bisa seperti itu.”, ucapnya sambil tidak mempedulikan amplop yang disodorkan Pak Hasan kepadanya.
“Kami semua memutuskan untuk melakukan pekerjaan lain. Bapak datang untuk mengembalikan semua uang yang sudah kamu berikan sekaligus untuk meminta maaf karena kami tidak bisa menyelesaikan kontrak yang sudah kita sepakati sebelumnya.”
Pak Hasan meletakan amplop yang dia bawa di atas meja karena Kuzan tidak menerima pemberiannya. Setelah itu dia pergi.
“Hei.., tunggu! Apa yang terjadi? Apa yang salah dengan pekerjaan ini? Kita sudah sepakat, bukan?”
“Sekali lagi Bapak mohon maaf. Tidak ada yang salah dengan pekerjaan ini dan sebelumnya kami sangat menikmati bekerja dengan kamu, Kuzan. Hanya saja.., kami tidak bisa bekerja untuk seorang pengkhianat.”
“A.., apa maksudmu?”
“Kami tidak ingin terlibat dengan aksi pemberontakan yang kamu lakukan, Kuzan. Kami memang miskin, tapi kami setidaknya mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Dan sayangnya.., di antara kami, tidak ada satupun dari kami yang membenarkan tindakan-tindakan anarkis, apapun alasannya, seperti yang sudah kamu lakukan.
Kami tidak mengambil sepeserpun uang yang kamu berikan. Semua sesuai dengan kontrak. Kamu boleh melanjutkan pekerjaan ini, tapi maaf, kami tidak bisa membantumu. Dan.., siang ini distributor yang akan mengantar pintu pesananmu akan datang. Bapak sudah bilang untuk meletakannya saja di dalam kalau di studio sedang tidak ada orang.”
Kuzan terdiam. Tidak ada yang bisa dia katakan mendengar ucapan Pak Hasan. Saat pertama dia memutuskan untuk membangun studio, tidak ada orang selain Pak Hasan yang ada di pikirannya untuk menangani proyek pembangunan studio ini. Pak Hasan adalah orang kepercayaan keluarganya, orang kepercayaannya juga. Pak Hasanlah yang sudah membantunya membangun studio foto dan restaurant miliknya. Tidak ada orang lain yang bisa dia percaya.
“Kami semua sangat berterima kasih atas kebaikanmu selama ini, Kuzan. Sebelumnya, kami sangat senang bisa bekerja untukmu. Dan kami harap.., kamu segera sadar dan kembali ke jalan yang benar.”

------------------------------

                Mobilnya melaju kencang melewati kemacetan kota Bandung. Dia mengarahkan tujuannya ke restaurant yang terletak di bilangan jalan Martadinata. Setibanya di sana, dia kembali menemukan pemandangan yang sama. Restaurantnya tampak sepi. Dari tempat parkirnya saja dia sudah tahu, tidak ada pengunjung yang datang dan hanya ada beberapa motor dan sepeda milik karyawannya. Pintu restaurantnya masih tertutup rapat meskipun gantungan pintu yang terpajang di sana tertulis ‘OPEN’.
                Di dalam restaurant hanya ada dua orang karyawan yang sedang membersih-bersihkan meja. Dua karyawan itu mengucapkan selamat pagi kepadanya begitu dia masuk ke dalam restaurant. Seperti yang sudah dia perkirakan, kedua karyawan itu menyambut kedatangannya dengan dingin. Segera setelah mereka memberi salam, mereka secara bersamaan beranjak lalu pergi ke belakang restaurant sambil mengumpat membelakanginya. Ini adalah pertama kalinya dia melihat restaurant, yang sudah dia bangun empat tahun lalu, sepi dan tidak ada pengunjung satupun. Selama empat tahun ini, restaurant yang awalnya dibangun secara kecil-kecilan, sudah berkembang pesat dan menjadi salah satu restaurant ternama di kota Bandung. Jarang sekali dia mendengar komplain dari pengunjung. Sekalipun ada kritik, itupun kritikan yang membangun dan positif.
                Dia beranjak ke dapur. Ada seseorang di sana, salah satu orang kepercayaan keluarganya dan orang kepercayaannya juga, yang dia percayai untuk menjadi kepala koki di restaurantnya. Pria itu sedang membersihkan peralatan masaknya, tapi dia tidak mengenakan baju koki yang biasa dia kenakan. Pria itu tidak pernah sekalipun menanggalkan pakaian kokinya saat memasak sejak bekerja di sini, bahkan pria itu sendiri yang mendesain baju koki untuk semua koki yang bekerja di restaurant. Kuzan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pria itu dalam memutuskan hal-hal dasar di dapur. Dia hanya bertugas mengelola pemasaran dan pengambilan keputusan manajemen restaurant. Urusan dapur, sepenuhnya dia percayai kepada Pak Iman, pria yang sebelumnya pernah bekerja sebagai juru masak di rumahnya itu. Aneh rasanya melihat Pak Iman tidak mengenakan ‘seragam’nya di dapur karena biasanya Pak Iman sendiri yang menegur koki lain apabila ada koki yang tidak ‘seragam’. Pak Iman sangat bangga dengan pakaian kokinya.
“Pak Iman…”
“Eeh.., Tuan. S.., selamat pagi.”, balas Pak Iman gugup ketika menyadari kedatangan Kuzan.
Kuzan membalas salam pria itu. Dia lalu mengambil salah satu pakaian koki -yang menumpuk- yang terpajang di dekat pintu masuk dapur. Dia kenakan pakaian yang berupa celemek dan topi chef itu.
“T.., tuan…”
“Bapak selalu marah kepadaku kalau aku masuk dapur tanpa menggunakan pakaian ini.” Dengan wajah sedih, dia mendekati Pak Iman. “Habis masak apa, Pak Iman? Aku tidak melihat ada pengunjung yang datang.”
“I.., ini… Ini masakan untuk pekerja di studio, Tuan. Baru saja Bapak bersihkan.”
“Bapak sendiri yang mengantar ke studio?”
“Iya, Tuan. Karyawan yang biasa mengantar makanan.., belum datang.., Tuan.”
“Tidak akan datang. Benar, kan?”
Kuzan berpegangan ke wastafel, kedua tangannya berusaha menopang tubuhnya yang lemas. Kepalanya tertunduk sehingga beberapa tetes keringat jatuh ke dalam wastafel. Matanya terasa perih, tapi dia tidak bisa menangis.
“Dan sekarang, Bapak juga akan meninggalkan aku?”, ucapnya putus asa.
Pak Iman tidak menjawab. Dia mengambil secarik kertas yang penuh dengan tulisan, yang berada di tumpukan alat-alat masak di salah satu kabinet. Kabinet itu biasanya dikunci dan tidak ada yang memegang kuncinya selain Pak Iman. Pak Iman menyerahkan kertas tersebut kepadanya.
“Kertas apa ini?”
“Itu adalah resep makanan yang Nyonya ajarkan kepada Bapak, Tuan.”, jawab Pak Iman. ‘Nyonya’, begitulah Pak Iman biasa memanggil ibunya yang meninggal lima tahun lalu.
“R.., resep?”
“Bapak tidak bisa menjadi koki seperti sekarang ini kalau bukan karena ibu Tuan. Nyonya yang mengajarkan Bapak memasak. Masakan Nyonya adalah masakan terlezat yang pernah Bapak rasakan. Dan berkat resep ini, restaurant ini selalu mendapat tempat di hati pengunjung. Ibu Tuan adalah orang yang paling Bapak hormati. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi Bapak, kecuali saat Nyonya menganjurkan Bapak untuk membuka sebuah restaurant dan ketika Tuan memutuskan untuk meminta Bapak bekerja di restaurant Tuan. Dengan begitu Bapak bisa mengerjakan pekerjaan yang Bapak suka sekaligus mengabdi kepada keluarga yang sangat Bapak hormati.
Bapak tidak ingin sedikitpun kehilangan rasa hormat Bapak terhadap Nyonya dan keluarga Tuan. Keluarga Tuan sudah banyak membantu Bapak dan keluarga Bapak. Sebelum Nyonya wafat, Nyonya menuliskan semua resep ini untuk Bapak pelajari. Maka dari itu, Bapak berusaha keras untuk mempelajari semua resep yang Nyonya berikan saat Tuan meminta Bapak bekerja sebagai kepala koki di restaurant ini.”
“Lalu apa maksud semua ini?”
“M.., maaf, Tuan… Bapak sudah tidak bisa melanjutkannya lagi, untuk menjadi koki di restaurant ini.”
“Kenapa? Apa Bapak juga menganggapku pengkhianat? Pemberontak? Bapak tidak ingin bekerja untuk orang sepertiku?”, gertak Kuzan. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Tanpa berpikir panjang, kalimat itu keluar dari mulutnya.
Pak Iman tampak ketakutan karena gertakannya. Tampak jelas kebimbangan dan penyesalan yang sangat dalam di wajah Pak Iman. Keputusan ini juga bukan keputusan yang mudah baginya. “B.., bukan itu, Tuan. Bapak sudah bekerja selama belasan tahun untuk keluarga Tuan, untuk Tuan. Bapak sudah sangat mengenal Tuan. Sama seperti Paman Thomas, ketika Bapak putuskan untuk bekerja kepada seseorang, Bapak memberikan kepercayaan Bapak sepenuhnya kepada siapa Bapak bekerja, dalam hal ini keluarga Tuan, kepada Tuan.”
Paman Thomas adalah orang pertama yang mengenalkan Pak Iman kepada keluarganya. Paman Thomas, sebagai kepala pelayan di rumahnya, yang dipercayai ayahnya untuk mengurus segala urusan rumah, adalah orang pertama yang secara langsung meminta Pak Iman untuk bekerja di rumahnya. Sejak saat itu, mereka berdua bersahabat dekat. Saat itu Pak Iman adalah pengangguran dan harus menghidupi istri serta dua orang anaknya yang masih kecil. Namun sekarang, kedua anaknya sudah lulus kuliah dan bekerja. Pak Iman sendiri tinggal bersama istrinya di rumah yang sederhana, berkecukupan.
“Bapak percaya dengan Tuan. Bapak mendukung apapun yang Tuan lakukan, sama seperti Paman Thomas.”
“Terus kenapa? Ooh aku tahu.., kalau uang yang Pak Iman mau, aku bisa …..”, ucapku. Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Pak Iman memotong.
“Ini bukan tentang uang, Tuan. Mana mungkin Bapak mengkhianati keluarga yang sudah membantu Bapak menyekolahkan anak Bapak sampai lulus kuliah, yang bertahun-tahun membantu pria miskin yang pengangguran ini hanya karena uang.”, nada suara Pak Iman meninggi. Itu semakin membuat Kuzan kesal. Perbincangan ini semakin bertele-tele baginya.
“Baiklah kalau itu mau Bapak. Terserah. Tinggalkan aku dan lakukan apa yang Bapak mau. Resep ini, aku tidak butuh. Bapak tahu aku tidak bisa memasak dan tidak mungkin ada yang bisa memasaknya selain ibuku dan Bapak.”
Dia kemudian berjalan keluar dengan emosi yang memuncak. Dia lempar pakaian dan baju koki yang dia kenakan ke sembarang tempat. Baju itu jatuh ke tempat sampah yang penuh dengan limbah dapur yang berisi bumbu dan saus bekas memasak.
“Bapak punya seorang teman. Dia adalah teman baik Bapak sejak kecil. Dari dulu sampai sekarang, kami selalu berjuang bersama-sama.”
Kalimat yang diucapkan Pak Iman berhasil membuat Kuzan berhenti tepat sebelum dia meninggalkan dapur. Kuzan berbalik dan kembali mendengarkan.
“Empat hari yang lalu, dia mengendarai sepeda motornya, dia sedang perjalanan pulang setelah mengantar anaknya yang masih SD ke sekolah. Saat dia melewati gedung sate, dia tidak tahu bahwa sedang terjadi kerusuhan di sana, dia terjebak di antara kerusuhan, seseorang menebasnya dengan kayu. Dia terjatuh dari motor dan orang yang menebasnya itu, tanpa meminta maaf, malah kabur dengan mencuri sepeda motornya. Dia baru ditolong dua jam kemudian dan karena kejadian itu, sekarang dia lumpuh. Dokter bilang kalau dia sudah tidak mungkin lagi bisa bekerja karena lumpuhnya memaksa dia untuk terbaring di kasur seumur hidup. Dia adalah tulang punggung keluarga, istrinya sudah meninggal dan anak perempuannya masih sangat kecil.
Bapak langsung mengunjunginya hari itu juga. Bapak masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Pada saat itu, Bapak berjanji kepada teman bapak itu bahwa Bapak akan menemukan orang yang bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa dia dan Bapak tidak akan memaafkan orang tersebut.
Dan…, keesokan harinya, Bapak tidak percaya dengan apa yang Bapak dengar di berita. Bapak tidak tahu harus berkata apa dan apa yang harus Bapak lakukan. Di berita dikatakan, Tuan adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi empat hari lalu. Berita itu juga mengatakan pernyataan Tuan kalau Tuan tidak menyangkal, Tuan adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi.
B.., Bapak.., Bapak tidak tahu harus bagaimana. Bapak percaya dengan Tuan dan Bapak tidak ingin sedikitpun kehilangan hormat terhadap Tuan.”, isak Pak Iman terbata-bata. Air matanya sekarang mengalir deras. Kuzan hanya bisa meratapi. Dia seperti sedang tersambar petir yang merupakan balasan atas tindakan yang sudah dia lakukan. “Bapak tidak menyalahkan Tuan. Bapak tidak perlu pembenaran karena atas alasan apapun, Bapak tidak akan memaafkan orang yang telah membuat teman Bapak lumpuh.
T.., tapi.., satu hal…, yang B.., Bapak sesalkan……. B.., Bapak tetap.., tetap…, tidak bisa……..”, Pak Iman berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia berusaha mengumpulkan ketegaran untuk melanjutkan kelimatnya.
“B.., bahkan.., di saat seperti ini pun, Bapak tetap tidak bisa menghilangkan hormat dan kepercayaan Bapak terhadap Tuan. Bapak percaya dengan Tuan, maka dari itu…, B.., Bapak…… Bapak tidak bisa memaafkan Tuan.
Kemarin siang Bapak sudah bicara dengan Paman Thomas. Setelah berbicara dengan Paman Thomas, akhirnya Bapak putuskan untuk berhenti dari restaurant. Bapak berhenti bukan karena Bapak membenci Tuan. Bapak tidak bisa memaafkan Tuan atas apa yang telah Tuan lakukan. Bapak tidak bisa terus bekerja dengan menyimpan perasaan ini. Bapak tidak mungkin terus bekerja untuk orang yang telah membuat teman Bapak menderita. Maka dari itu, Bapak harus berhenti. K.., karena.., karena Bapak tidak ingin rasa hormat Bapak terhadap Tuan sedikit demi sedikit hilang apabila Bapak terus bekerja di sini.
Dan resep ini… Ini adalah milik restaurant. Bapak sudah tidak berhak menggunakannya lagi. Saat pertama Nyonya mengajarkan resep ini, kalimat pertama yang Nyonya katakan adalah ‘rasa pada makanan bukan untuk dipelajari, tapi untuk didapatkan’.”
“Setelah ini, apa yang akan Bapak lakukan?”
“Entahlah. Mungkin sudah saatnya Bapak berusaha sendiri. Selama ini Bapak sudah banyak dibantu oleh Tuan, Paman Thomas, Nyonya dan Tuan Elwin. Bapak harap Bapak bisa membalas semua kebaikan Tuan dan mereka.”
“Sepertinya perbincangan Bapak dengan Paman Thomas berjalan baik.”
“Paman Thomas sudah sangat banyak membantu. Beliau banyak memberikan masukan dan nasehat untuk Bapak sehingga Bapak bisa mengambil keputusan.”
“Mungkin sudah saatnya juga bagiku untuk berusaha sendiri. Aku harus mengambil keputusan.”
“Apa yang akan Tuan lakukan?”
Dia sedikit berpikir sebelum menjawab pertanyaan Pak Iman. Perbincangannya bersama Pak Iman saat ini telah membuatnya mengerti arti dari ucapan ayahnya kemarin.
“Yang akan aku lakukan?... Aku sama seperti Bapak. Aku tidak menyalahkan Bapak atas keputusan yang Bapak ambil karena memang apapun alasannya, tidak ada yang perlu dibenarkan. Aku percaya dengan apa yang akan Bapak lakukan. Aku ingin Bapak juga percaya dengan apa yang akan aku lakukan.”
Aku akhirnya meninggalkan Pak Iman. Kami berdua tersenyum. Setidaknya, hanya itu yang bisa kami lakukan.
                Satu per satu apa yang dia miliki pergi dan hilang. Dia kembali masuk ke dalam mobil setelah memberikan ‘sedikit’ pesangon kepada dua karyawan ‘utusan’ yang ada di restaurant. Dua karyawan itu pasti diutus oleh karyawan-karyawan yang lebih senior untuk menagih gaji mereka untuk meminta pesangon. Tidak perlu berdebat, dia juga sepertinya sudah bisa memperkirakan hal itu, tanpa banyak bicara, Kuzan memanggil kedua karyawan itu lalu memberikan uang studio yang dikembalikan oleh Pak Hasan tadi kepada mereka. 50 juta rupiah untuk belasan karyawan sekaligus merupakan jumlah yang terhitung cukup tinggi karena banyak diantara mereka yang belum bekerja selama satu tahun, dan lebih dari setengahnya hanya bekerja sebagai waitress/pelayan, dan mereka berhenti secara sukarela, dan meminta pesangon, dan itu benar-benar gila. Tanpa perlu negosiasi, dia hanya minta kepada dua orang ‘utusan’ itu untuk menyampaikan pesannya kepada karyawan-karyawan yang lain, “Saya minta kalian jangan pernah kembali lagi ke sini!”
                Tujuan selanjutnya adalah studio fotografi miliknya yang terletak di daerah Setiabudi. Ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Dia akhirnya mengerti apa yang diucapkan ayahnya kemarin. ‘Terserah. Lakukan sesukamu. Ayah tidak peduli’ memiliki arti ‘Ya. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Ayah percaya kepadamu’. Ayahnya tersenyum karena tahu anaknya belum menyerah. Dia tersenyum karena tahu anaknya lebih hebat darinya. Ayahnya sering berkata ‘terserah’ atau ‘ayah tidak peduli’, tapi toh nyatanya dia masih mengirim uang untuk anaknya meskipun anaknya tidak minta, dia toh meminta anaknya untuk mengikuti jejaknya karena menganggap itu jalan yang terbaik, dan dia sendiri yang menjamin anaknya agar dibebaskan dari penjara. Ayahnya memberikan ‘kebebasan’ kepada Kuzan dan sebagai ayah, dia berusaha selalu ada untuk memenuhi apa yang anaknya butuhkan.
                Percakapan dengan Pak Iman telah membuka pikirannya. Pria itu benar. ‘Memberikan kepercayaan’ bukan berarti ‘angkat tangan’ dan menyerahkan semuanya kepada orang yang kita percayai. Kita tidak perlu selalu melakukan apa yang diputuskan atau apa yang diperintahkan. Meskipun kita tidak suka, mengorbankan apa yang kita suka dan tetap memberi dukungan, itu mungkin yang dimaksud dengan ‘memberikan kepercayaan’ versi Pak Iman.
                Studio fotografi, seperti yang diperkirakan, tidak berbeda dengan dua tempat sebelumnya, sepi dan tidak ada tanda-tanda yang kondusif. Kali ini lebih parah karena di pintu masuk studio terdapat rantai-gembok dan plakat kayu yang bertuliskan, ‘Tampat ini dilarang beroperasi’.
“Apa-apaan ini?”, ucapnya pelan sambil berusaha membuka gembok yang terkunci diantara lilitan rantai besi.
Dia berjalan ke salah satu warung kaki lima yang berada di sebelah studio. “Selamat siang. Saya mau tanya, kenapa studio fotografi ini dilarang beroperasi? Siapa yang melakukannya?”
Lalu seseorang yang ada di dalam warung itu mengintip dari dalam kios melalui lubang kecil, mirip seperti loket karcis tiket kereta api, “Warga yang memintanya. Mereka bilang tempat itu adalah tempat teroris. Dua hari yang lalu, RT sekitar yang menyegel tempat itu.”
Empat foto hasil karyanya terselip di semak-semak, di tempat parkir studio. Foto itu sepertinya jatuh dari jendela yang terbuka di lantai dua, ruangan tempat dia mencuci foto-fotonya.
“BRENGSEK!!!”

------------------------------

                Sempurna sudah usahanya selama bertahun-tahun. Hanya dalam waktu beberapa hari saja, semuanya hilang. Isu ‘teroris’ –yang entah datang darimana- berhasil menutup studio fotografinya. Tempat dia berkarya, mengekspresikan ‘kebebasan’, disegel secara sepihak oleh pihak yang menyebarkan isu tersebut. Hasil-hasil karyanya yang banyak menceritakan tentang realitas kehidupan, politik, dan sosial disita. Setidaknya dia tidak perlu memberi pesangon karena memang dia bekerja sendiri untuk usaha studio fotografinya ini.
                Tersisa empat foto. Foto pertama adalah foto seorang wanita, mungkin sebaya dengannya, sedang duduk di halte bus sambil merokok. Rambutnya yang panjang tidak bisa disembunyikan meskipun wanita itu mengenakan topi. Wanita itu memakai jaket kulit dan celana jeans robek-robek di bagian dengkul dan pahanya. Alih-alih seorang wanita, Dia lebih terlihat seperti seorang berandal dan preman. Foto kedua adalah seorang mahasiswi. Wajahnya sangat cantik, pakaiannya modis, anak orang kaya, dan pandai bergaul, di foto itu terlihat dia sedang berkumpul bersama teman-temannya, dia menjadi pusat perhatian teman-teman pria di sekitarnya. Namun, ada ekspresi aneh di wajah gadis itu, entah bagaimana menjelaskannya, tapi hal itu yang menarik Kuzan untuk memfoto gadis itu. Selanjutnya foto ketiga, lagi-lagi seorang wanita, seorang wanita yang sedang mengenakan kostum drama, sepertinya dia sedang berperan sebagai seorang ibu-ibu. Wajahnya murung karena gugup, make-up nya yang ‘sedikit’ memaksa agar terlihat seperti seorang ibu-ibu tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang bersih tanpa keriput, menunggu giliran perannya untuk naik ke atas panggung. Di tangannya tergenggam segepok kertas berisi skenario drama yang dia mainkan. Foto terakhir, wanita juga, adalah foto seorang siswi SMA yang mengenakan seragam sekolah lusuh. Kuzan memotonya saat wanita itu sedang memberikan selembar uang lima ribuan kepada seorang anak kecil yang sedang mengamen. Dia mendekap buku-buku bertemakan soal-soal latihan UAN di dadanya. Dari semua foto yang dia ambil, hanya si gadis SMA yang menunjukan ekspresi tersenyum dan menyenangkan. Semua foto itu dia ambil beberapa hari sebelum ‘kerusuhan’. Tema foto yang sedang dia ambil saat itu adalah inner beauty, permintaan dari salah satu majalah. Dia menjadikan wanita sebagai objek fotonya. Terakhir yang dia ingat, setelah mencuci film dengan chemical wetting agent, dia menggantung hasil foto itu di atas dryer yang ada di salah satu ruangan di lantai dua studionya.
                Kuzan berhenti di salah satu studio foto untuk membeli plastik, untuk menyampul keempat foto yang berhasil dia selamatkan. Beberapa rumah di sebelah studio tempat dia berhenti adalah markas OMK alias Organisasi Masyarakat Kebebasan, organisasi yang dia bangun dan ketuai. Tempat itu hancur berantakan. Sama seperti di studio fotonya, tempat di rantai dan gembok. Parahnya, police line mengitari halaman tempat tersebut.
                Hari sudah berganti malam, dia kembali ke rumah. Paman Thomas sudah menunggunya di pintu.
“Aku pulang.”, ucapnya. Paman Thomas tidak langsung membalasnya. Mukanya keringatan dan tampak bersemangat sekali, seperti orang yang habis main futsal berjam-jam. “A.., ada apa, Paman?”
“B.., berita… Akhirnya ada berita tentang mereka.”
Dia langsung melesat menuju televisi yang ada di ruang keluarga. Siaran TV Al-Jazeera sedang menayangkan sebuah berita tentang sekelompok relawan Indonesia yang tiba di Gaza, Palestina. Mereka adalah kelompok yang diberitakan diculik oleh salah satu kelompok gerakan separatis dalam misi kemanusiaan menuju Palestina. Setelah diberitakan mereka diculik beberapa bulan lalu, akhirnya salah satu TV lokal setempat meliput kedatangan mereka di Gaza, yang berarti mereka berhasil selamat dari penculikan yang diberitakan.
“H.., hebat!”
“Mereka sudah berjuang keras untuk bisa sampai. Tapi cobaan yang sesungguhnya baru akan dimulai.”
“Aku senang, Paman. Aku bangga dengannya. Akhirnya dia berhasil selangkah lebih dekat mencapai apa yang dia cari.”
“Paman yakin dia bisa menemukannya. Setidaknya dia sudah berani mengambil keputusan.”
Salah seorang pembawa berita sedang mewawancarai salah satu anggota kelompok tersebut. Dia menceritakan pengalaman mereka selama disekap oleh kelompok yang menculik mereka. Selama berbulan-bulan mereka diperlakukan seperti seorang tahanan penjara. Sebelum akhirnya markas kelompok tersebut terkena rudal sekutu dan mereka pun menyerah dan membebaskan semua tahanan. Namun, tetap saja, peristiwa ‘melarikan diri’ yang dramatis itu harus dibayar mahal karena kelompok relawan dari Indonesia itu harus kehilangan dua orang anggotanya yang tewas di tangan para penculik.
“Bagaimana denganmu, Kuzan? Apa yang akan kau lakukan setelah semua yang terjadi?”
“Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku sedang berlomba dengan’nya’.”
“Kau sudah bertemu dengan Pak Iman?”
“Ya. Aku mengerti dengan keputusan yang dia ambil. Dia tidak punya banyak pilihan.”
“Tapi kau punya.”
“Semuanya sudah berakhir, Paman. Bertahun-tahun aku membangunnya, semuanya berakhir seperti ini.”
“Apa kamu menyesal?”
Kuzan diam mendengar pertanyaan Paman Thomas. Dia melirik ke keempat foto yang ada di tangannya. “Tidak ada gunanya menyesal. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Kalau memang harus berakhir seperti ini, ya sudahlah.”
“Jangan pernah menyalahkan keadaan. Keadaan tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.”
“Ya, Paman. Ini keputusanku. Saat aku masuk kuliah dan mengikuti semua keinginan ibu, itu adalah keputusanku. Saat aku memulai dan menjalankan bisnis, itu keputusanku. Saat aku membangun organisasi dan melakukan demonstrasi, itu adalah keputusanku. Aku tidak pernah melakukannya karena ibu yang meminta, atau karena ayah yang menyuruh, atau karena anggota organisasi yang mendukung. Aku melakukannya karena aku ingin melakukannya. Aku melakukannya karena itu adalah keputusanku.”
“Itu adalah resikonya.”
“Semua keputusan memiliki resiko. Aku tidak bisa tahu apa itu ‘kebebasan’ kalau aku sendiri tidak bisa memutuskan jalan mana yang harus aku lalui.”
“Apa kau bisa menghadapi semua ini?”
“Lebih baik aku mati daripada menghindar dari resiko yang disebabkan oleh keputusanku sendiri.”
“Paman tidak bisa lebih mengharapkan jawaban selain itu darimu.”
“Aku akan bertahan sebelum menemukan apa yang aku cari selama ini.”
“Jadi, kau akan mengakhiri semua ini?”
“Ya. Aku akan mengakhiri semua ini…, dan memulai kembali semua dari awal.”